Menu Close

Indonesia perlu tingkatkan pendanaan tiga kali lipat untuk kendalikan tuberkulosis – inilah awal yang harus dilakukan

Ilustrasi pasien tuberkulosis. Myupchar/Wikipedia

Indonesia masih berjuang melawan tuberkulosis (TB), dengan jumlah kasus tertinggi kedua di dunia.

Pada 2021, sebuah penelitian memperkirakan Indonesia memiliki tingkat kejadian TB yang mengejutkan: 759 kasus per 100.000 orang–lebih dari dua kali lipat perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 yakni 354 kasus per 100.000 penduduk Indonesia. Bandingkan dengan rata-rata global sebesar 134 per 100.000 orang.

Tidak terpengaruh oleh tantangan yang ditimbulkan oleh TB, Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi kasus TB menjadi 190 per 100.000 orang pada 2024 dan menjadi 65 per 100.000 pada 2030.

Dengan jumlah kasus yang sangat besar dan target ambisius tersebut, negara ini sangat membutuhkan peningkatan pendanaan untuk memerangi TB. Penyakit ini menular dan berpotensi mematikan, tapi dapat dicegah.

Saat ini, kekurangan dana merupakan kendala besar di Indonesia dalam memerangi TB. Pendanaan yang memadai dan berkelanjutan akan memastikan ketersediaan sumber daya penting, alat diagnostik, obat-obatan, dan layanan kesehatan yang diperlukan untuk mencegah, mendiagnosis dan mengobati TB secara efektif.

Kurangnya dana berisiko menyebabkan lebih banyak orang jatuh sakit

Dikenal sebagai kesenjangan pendanaan TB, kurangnya pendanaan dapat menyebabkan kurangnya alat dan perlengkapan diagnostik, yang mengakibatkan diagnosis TB tertunda atau tidak akurat. Penundaan ini mempunyai konsekuensi yang serius.

Penelitian menunjukkan keterlambatan pengobatan TB meningkatkan penularan penyakit, sehingga menimbulkan risiko lebih besar bagi individu dan komunitas.

Di seluruh dunia, 1,6 juta orang meninggal karena TB pada 2021, menjadikannya penyebab kematian utama ke-13—pembunuh menular kedua terbesar setelah COVID-19.

Menurut strategi nasional Indonesia, negara ini perlu mengeluarkan dana Rp47,3 triliun (US$3 miliar) pada 2020 hingga 2024 untuk pengendalian TB. Namun ketersediaan anggaran pada periode tersebut hanya sekitar Rp15,7 triliun ($990 juta).

Indonesia juga kekurangan akses terhadap bantuan pendanaan untuk membayar langkah-langkah pengendalian ekstra tersebut.

Laporan Tuberkulosis Global WHO menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan US$429 juta (sekitar Rp6,7 triliun) untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TBC dan US$87 juta (Rp1,3 triliun) untuk perawatan TBC. Totalnya US$516 juta (Rp8,1 triliun). Namun mereka hanya mendapatkan dana sebesar US$111 juta (Rp1,7 triliun).

Faktanya, data WHO menunjukkan bahwa sejak 2009, Indonesia secara konsisten gagal memenuhi persyaratan pendanaan TB yang diperlukan, rata-rata hanya membiayai 41% dari kebutuhan program TB setiap tahunnya.

Kesenjangan pendanaan ini membatasi ketersediaan obat-obatan penting untuk pengobatan TB. Masalah ini sangat memprihatinkan, karena memunculkan jenis TB yang resistan terhadap obat, sehingga semakin mempersulit upaya pengobatan.

Pandemi berdampak pada pendanaan TB

Pandemi COVID-19 memperburuk kesenjangan pendanaan TB di Indonesia.

Selama pandemi, pemerintah harus mengubah prioritasnya dengan mengalokasikan kembali anggaran kesehatan untuk upaya pengobatan dan mitigasi COVID-19.

WHO mengatakan pendanaan TB di Indonesia menurun sekitar 8,7% antara tahun 2019 dan 2020.

Jika diteliti lebih dekat, muncul dua alasan signifikan terkait dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesenjangan pendanaan.

Pertama, kurangnya dana yang memadai untuk menutupi biaya layanan TB. Hal ini membatasi jangkauan dan dampak program.

Ada juga kecenderungan di antara pasien untuk mencari diagnosis dan pengobatan di rumah sakit, dibandingkan pusat layanan kesehatan primer dan klinik setempat. Hal ini menyebabkan beban keuangan yang lebih besar pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), karena biaya pengobatan di rumah sakit lebih mahal.

Kedua, kurangnya keterlibatan sektor swasta dalam diagnosis, pelaporan dan pengobatan. Ini semakin memperparah masalah dan menghambat kemajuan.

Apa yang harus kita lakukan sekarang?

Peningkatan pembiayaan dalam negeri untuk program TB sangatlah penting.

Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan anggaran nasional yang lebih besar untuk mencegah dan mengendalikan TB, serta melakukan penelitian terkait TB.

Integrasi program TB yang didanai dari eksternal ke dalam sistem Pelayanan Kesehatan Nasional akan menjamin keberlanjutan dan menyelaraskannya dengan kerangka pelayanan kesehatan nasional.

Penguatan sistem layanan kesehatan adalah hal yang terpenting, termasuk penguatan kapasitas dan infrastruktur pusat kesehatan dan klinik setempat, pelatihan para profesional layanan kesehatan, dan peningkatan layanan diagnostik dan pengobatan.

Selain itu, penjajakan jalur pendanaan yang inovatif—seperti pelibatan sektor swasta melalui kemitraan publik - swasta dan pemanfaatan mekanisme pendanaan internasional-–dapat menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk mendorong kemajuan.

Upaya menutup kesenjangan pendanaan TB sangatlah penting. Ini tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan pasien, tapi juga untuk menjaga kesejahteraan dan stabilitas sosio-ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Indonesia harus melakukan tindakan strategis untuk mengatasi tantangan ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now