Menu Close
Nanang Sudjana/CIFOR

Industri sawit ingkari komitmen antideforestasi, bagaimana menuntut pertanggungjawaban mereka?

Pada 2013, sejumlah perusahaan besar sektor sawit merilis komitmen antideforestasi dan perusakan kawasan gambut melalui kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).

Sayangnya, laporan terbaru dari organisasi nirlaba Earthqualizer menunjukkan bahwa komitmen belum terpenuhi. Laporan ini mengungkapkan industri sawit masih melakukan deforestasi dan perusakan gambut seluas 440 ribu hektare (setara tujuh kali lipat dari luas wilayah Jakarta) selama 2016-2021 di Indonesia. Kerusakan serupa juga terjadi di Malaysia dan Papua Nugini seluas 210 ribu hektare. Earthqualizer menjumlahkan angka ini menjadi 877 ribu hektar, karena bobot dua kali lipat untuk pembukaan lahan gambut yang lebih kaya karbon.

Sekitar 116 grup perusahaan bertanggung jawab terhadap perusakan hutan dan gambut masing-masing sekitar seribu hektare. Sementara, terdapat 25 grup perusahaan yang masing-masing berkontribusi jauh lebih besar – sekitar 7-35 ribu hektare.

Pelanggaran terhadap komitmen antideforestasi tersebut semestinya diikuti sanksi pembekuan transaksi dari perusahaan pembeli sawit (termasuk pengolah, perusahaan perniagaan, dan perusahaan produk konsumen) kepada perusahaan perkebunan. Sayangnya, komitmen ini belum sepenuhnya berjalan, sehingga transaksi sawit hasil deforestasi masih saja terjadi.

Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor sawit untuk berbenah memastikan transformasi bisnis yang tetap menjaga kelestarian hutan dan kawasan gambut. Kita membutuhkan sistem yang lebih ketat untuk mencapai tujuan tersebut, sekaligus menjaga kehidupan jutaan petani yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.

Pemupukan tanah pada perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Icaro Cooke Vieira/CIFOR, CC BY-ND

Memperbaiki implementasi komitmen

Pada 2019, Presiden Joko Widodo mulai melarang penggunaan hutan alam untuk perkebunan sawit. Larangan ini diperkuat oleh kebijakan moratorium perkebunan sawit baru selama 2018-2021.

Hasilnya, angka deforestasi jauh melambat selama 2019-2021.


Read more: Kerusakan hutan akibat sawit bisa dipulihkan melalui praktik "jangka benah", apa itu?


Kendati begitu, kebijakan pemerintah semestinya bukanlah langkah tunggal untuk memaksa industri sawit lebih lestari. Perusahaan dalam seluruh rantai pasok sawit juga harus menaati seluruh komitmen dan peraturan yang telah dibuat.

Para perusahaan harus memastikan produk sawit yang diperoleh berasal dari sumber-sumber (perkebunan) yang menerapkan praktik berkelanjutan. Mereka harus memiliki sistem pemantauan yang transparan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sistem ini juga harus memuat mekanisme respons apabila terjadi pelanggaran, misalnya pembekuan perdagangan, apabila ada perusahaan mitra yang terbukti merusak hutan ataupun gambut dalam rantai pasok mereka.

Seorang warga Lubuk Beringin, Zulita, menyadap pohon karet di kebunnya di desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Indonesia. Tri Saputro/CIFOR, CC BY-ND

Kendati begitu, sistem pemantauan ini juga membolehkan para pemasok minyak sawit untuk kembali berniaga selama mereka membuktikan komitmen mereka terhadap praktik berkelanjutan.

Salah satu yang perlu diperkuat adalah komitmen pemulihan hutan. Perusahaan pemasok sawit harus diwajibkan untuk menebus ‘dosa deforestasi’ mereka dengan memiliki dan melaksanakan rencana detail pemulihan hutan, termasuk metode dan jangka waktunya.

Namun, pemulihan lahan bukan sekadar penanaman pohon, melainkan juga perlindungan dan pengelolaan hutan yang telah dipulihkan. Aktivitas ini juga bukan cuma terkait hutan, tapi juga masyarakat di sekitarnya.

Karena itulah, perusahaan sawit harus melibatkan para pihak, terutama masyarakat setempat. Dalam rencana pemulihan ini, perusahaan dapat memasukkan strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis hasil hutan bukan kayu, misalnya kopi, ataupun kemiri.

Langkah ini juga sejalan dengan pemenuhan target pemerintah untuk mengadakan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare.

Keterlibatan semua pihak

Untuk meyakinkan publik bahwa industri sawit tengah melakukan perbaikan, seluruh pihak dalam rantai pasok sawit mesti berkomitmen untuk memulihkan hutan dan kawasan gambut.

Uang semestinya bukan menjadi persoalan. Sebab, berdasarkan perkiraan lembaga nirlaba The Forest Conservation Fund, ongkos pemulihan 877 ribu hektare hutan hanya mencapai US$ 35 juta per tahun (sekitar Rp 526 miliar).

Angka itu tergolong kecil jika dibandingkan nilai industri sawit yang diperkirakan mencapai US$ 63,7 miliar (Rp 954 triliun).. Rencana pemulihan hutan selama 25 tahun hanya menghabiskan 1,3% dari total nilai industri sawit.

Selain dari perusahaan, konsumen juga dapat berperan dengan membeli produk-produk dari perusahaan yang berupaya konsisten mematuhi komitmen antideforestasi. Komitmen tegas dibutuhkan seluruh pihak di rantai nilai industri sawit guna mendukung transformasi berkelanjutan sektor sawit.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now