Menu Close
Pelajar di Mataram Nusa Tenggara Barat berkampanye menolak menjadi sasaran pemasan industri rokok. Lentera Anak

Ini sebab mengapa isu kesehatan selalu kalah saat berhadapan dengan industri rokok

Presiden Joko Widodo kerap menyatakan keberpihakannya pada kepentingan publik dalam menyusun kebijakan, termasuk kesehatan.

Ketika menjadi pembicara dalam Sidang Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Juli tahun lalu, Jokowi mengatakan percepatan pemulihan ekonomi harus dilakukan dengan tetap mengutamakan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan.

Namun, apakah betul hal tersebut yang terjadi dalam menentukan kebijakan pengendalian tembakau? Selain belum meneken Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO, pemerintah Indonesia juga tidak kunjung menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Sementara itu, investasi industri rokok multinasional untuk produk tembakau baru berjalan terus, bahkan cenderung dipermudah.

Riset saya pada 2019 menunjukkan kuatnya pengaruh industri rokok dalam penyusunan kebijakan terkait dengan cukai tembakau di Indonesia. Lalu mengapa begitu sulit bagi pemerintah untuk lepas dari pengaruh industri rokok dalam pembuatan kebijakan?

Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi: pertama, adanya peran aktif industri rokok yang mempengaruhi kebijakan; kedua, persepsi masyarakat termasuk pemerintah yang masih menganggap partisipasi industri rokok sebagai hal yang normal; ketiga, minimnya pemahaman aparatur negara tentang prinsip dasar pencegahan benturan kepentingan dalam membuat kebijakan kesehatan.

Keterlibatan langsung industri rokok dalam pembuatan kebijakan

Sebagai produk kena cukai, Indonesia sebenarnya sudah mengakui bahwa industri rokok adalah industri yang memproduksi barang tidak normal dan berdampak negatif pada kesehatan.

Hal tersebut tertulis dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai yang menyatakan bahwa cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dan pemakaiannya dapat berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

Meski negara mengakui produk tembakau sebagai produk yang berdampak negatif, namun industrinya tidak serta merta menjadi ‘pesakitan’ dalam proses menentukan kebijakan cukai. Dalam undang-undang yang sama, untuk menentukan kebijakan cukai, pemerintah wajib mengundang industri yang memproduksi barang yang dikenai cukai.

Ketentuan yang sangat kontradiktif dengan tujuan pengenaan cukai yaitu pengendalian konsumsi. Pihak yang mendorong konsumsi dan menimbulkan dampak negatif justru diajak terlibat dalam pembahasan aturan pengendalian konsumsi.

Situasi ini berhasil dimanfaatkan oleh industri rokok untuk terlibat secara aktif dalam mempengaruhi kebijakan. Pada 2018, industri rokok berhasil memengaruhi kebijakan cukai dengan memanfaatkan tahun politik. Mereka menyuarakan penolakan kenaikan cukai dalam berbagai kesempatan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tekanan industri rokok tersebut akhirnya berhasil membuat pemerintah membatalkan aturan penyederhanaan layer cukai yang sudah ditetapkan pada 2017 dan memutuskan tidak menaikkan cukai pada 2019, tahun berlangsungnya pemilihan umum.

Membeli pengaruh lewat kegiatan CSR

Selain terlibat langsung dalam kebijakan, industri rokok juga mencoba membeli pengaruh secara tidak langsung lewat program Corporate Social Responsibility (CSR).

Sebagai industri yang memproduksi barang tidak normal, sejak 2004 Badan kesehatan Dunia (WHO) sudah menyatakan bahwa kegiatan CSR industri rokok adalah akal-akalan industri untuk mengaburkan fakta dampak negatif produk tembakau terhadap kesehatan dan lingkungan.

Namun hal tersebut tidak dipahami sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Iklan, promosi, sponsor, termasuk publikasi kegiatan CSR industri rokok dibiarkan mempengaruhi masyarakat Indonesia selama puluhan tahun.

Akibatnya masyarakat terlanjur percaya bahwa CSR industri rokok adalah murni niat baik industri, dan seperti pohon yang akarnya kokoh, kepercayaan ini tidak mudah untuk diubah. Sehingga citra baik industri rokok di mata publik mungkin akan bertahan lebih lama dari yang kita harapkan.

Selama pandemi, industri bahkan mampu memanfaatkan situasi sulit di masyarakat pada titik maksimal. Bantuan dan kegiatan CSR dari industri rokok justru ditujukan pada institusi pelayanan kesehatan dan aparat pemerintah. Bantuan tersebut mulai dari makanan, alat pelindung diri, mesin PCR, sampai dengan mobil ambulans.

Berbagai apresiasi kepada industri rokok pun hadir bersamaan dengan munculnya bukti ilmiah tentang adanya hubungan perilaku merokok dengan peningkatan risiko terpapar COVID-19. Sebuah anomali di sektor layanan kesehatan yang seolah biasa dan tidak apa-apa.

Membiarkan industri rokok melakukan publikasi kegiatan CSR bukan hanya memunculkan citra baik industri di mata publik, tapi juga dapat digunakan untuk menekan kebijakan pengendalian tembakau. Salah satunya aturan larangan iklan rokok di luar ruang.

Pada 2020 Bupati Karangasem pernah menerima surat dari manajer hubungan regional dan CSR PT. HM Sampoerna yang meminta pencabutan aturan larangan reklame iklan rokok. Surat tersebut diawali dengan pembukaan manis tentang program CSR Sampoerna di wilayah Karangasem. Sebuah bukti nyata bahwa kegiatan CSR bukan semata-mata lahir dari niatan baik industri, namun bagian dari agenda besar industri rokok dalam memberikan pengaruh di masyarakat dan pemerintah.

Perang proksi lewat pihak ketiga

Selain melalui keterlibatan langsung yang memang diperbolehkan oleh undang-undang, industri juga kerap menerapkan strategi perang proksi untuk memengaruhi kebijakan.

Dalam setiap periode penentuan tarif cukai, industri rokok berhasil memobilisasi berbagai suara mulai dari asosiasi industri, lembaga non-pemerintah, sampai politikus dari berbagai partai untuk ramai-ramai menentang kenaikan tarif cukai. Upaya tersebut ditujukan untuk semua pihak, baik untuk mengubah opini publik maupun pembuat kebijakan. Situasi ini tidak jarang membuat kebijakan cukai kurang efektif.

Cara seperti ini sudah lama dilakukan oleh industri rokok dan terjadi di hampir semua negara, yang membedakan hanya bagaimana pemerintah di negara tersebut merespons gangguan industri tersebut.

Merujuk pada laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) tentang indeks campur tangan industri tembakau di ASEAN, sejak 5 tahun terakhir (2015-2019) Indonesia selalu menempati urutan teratas dalam hal campur tangan industri rokok. Ini menjadikan Indonesia sebagai lahan subur bagi industri rokok untuk meraup untung dengan cara mempengaruhi kebijakan kesehatan.

Lemahnya kebijakan pencegahan dan transparansi

Hal lain yang masih lemah adalah pemahaman tentang bagaimana pemerintah seharusnya melindungi proses pembuatan kebijakan kesehatan. Selama ini proses tersebut belum merujuk pada prinsip good governance dalam penyusunan kebijakan. Misalnya seputar ketiadaan aturan pencegahan benturan kepentingan dan transparansi terhadapnya.

Lemahnya kebijakan pencegahan dan transparansi dimanfaatkan oleh industri untuk merekrut mantan pejabat pemerintah dan memberikan posisi, baik di dalam asosiasi industri maupun langsung dalam direksi perusahaan. Hal tersebut membuat industri lebih leluasa dalam mempengaruhi kebijakan. Praktik ini terjadi sudah cukup lama dan dibiarkan terus berlangsung sampai hari ini.

Bagi negara-negara anggota FCTC, pedoman Pasal 5.3 sudah dengan jelas mengatur bagaimana seharusnya interaksi dengan industri rokok dilakukan oleh setiap negara. Pedoman tersebut diterapkan demi mencegah gangguan industri terhadap kebijakan kesehatan. Bahkan definisi industri rokok dalam pedoman tersebut mencakup pihak ketiga yang turut bekerja untuk kepentingan industri. Namun sayangnya Indonesia bukanlah anggota FCTC.

Pentingnya peraturan benturan kepentingan

Saat ini Indonesia memang belum memiliki instrumen hukum yang melarang partisipasi industri rokok dalam pengembangan kebijakan. Campur tangan industri masih dianggap biasa dan tidak melanggar aturan formal, namun bukan berarti situasi tersebut harus terus dibiarkan.

Jika pemerintah memang benar-benar serius memprioritaskan kepentingan kesehatan, maka sudah saatnya kebijakan kesehatan di lindungi oleh sebuah aturan. Misalnya dengan membuat aturan pedoman penanganan benturan kepentingan (conflict of interest) dengan industri rokok di lingkungan pemerintahan. Sehingga tidak ada lagi keterlibatan industri rokok dalam pembuatan kebijakan kesehatan.

Jika tidak, urusan kesehatan masyarakat akan selalu dikorbankan, dan Indonesia akan terus tertinggal dalam hal keberpihakan terhadap kepentingan publik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now