Menu Close
Sosialisasi pencoblosan untuk penyandang disabilitas dengan contoh surat suara Braille di Bandar Lampung, Lampung. Ardiansyah/Antara Foto

Isu disabilitas dalam Pemilu masih terpinggirkan, capres masih terjebak paradigma lama

Rangkaian pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) telah usai. Masyarakat kini tengah menunggu hasil akhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Patut disadari bahwa selama musim kampanye dan lima kali debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), tidak ada satupun pasangan calon (paslon) yang memberikan gambaran perubahan untuk kebijakan disabilitas di Indonesia. Padahal jelas bahwa suara penyandang disabilitas tidak bisa diabaikan.

Buruknya pendataan pemilih disabilitas

Sebagai warga negara, para penyandang disabilitas juga memiliki hak sipil politik yang sama dengan warga yang lainnya. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih penyandang disabilitas sebesar 1,1 juta orang. Jumlah ini terdiri dari disabilitas fisik sebanyak 482.414, disabilitas sensorik sebanyak 298.749, disabilitas mental sebanyak 264.594, disabilitas intelektual sebanyak 55.421.

Data tersebut sebenarnya bisa dianggap rancu, entah karena metode pendataannya atau karena ketidakmampuan pendata memahami disabilitas. Faktanya, diperkirakan ada 97,06% dari 37.4 juta difabel yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Data KPU dinilai sangat jauh dari jumlah disabilitas keseluruhan. Belum lagi terancamnya pemilih pemula disabilitas yang tidak terdata. FORMASI (Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif) disabilitas mencatat sejumlah 81% pemilih pemula usia 17-21 tahun tidak terdaftar.

Selain persoalan metode pendataan yang diragukan, pemerintah juga dinilai tidak memberikan pemahaman disabilitas kepada petugas, sehingga banyak disabilitas yang terdata bukan sebagai disabilitas. Hal ini nantinya akan berdampak pada pemberian akses dan akomodasi pemilih di TPS setempat.

Pada pemilu 2019, Jumlah pemilih disabilitas yang besar tidak diikuti dengan penyediaan akses pada saat pemilihan. Ketiadaan akses menyebabkan penyandang disabilitas kesulitan untuk dapat menggunakan hak pilihnya.

Janji capres untuk disabilitas

Isu disabilitas ternyata belum menyentuh aspek yang menjadi fokus ketiga pasangan capres-cawapres. Selama sesi debat capres/cawapres, tidak ada satupun isu dikaitkan dengan penyandang disabilitas, dan hanya tampak pada isu khusus kesejahteraan sosial saja. Tidak ada satupun capres yang secara jelas memberikan gambaran mengenai arah kebijakan disabilitas.

Ini menunjukkan bagaimana disabilitas masih ditempatkan pada paradigma “ketunaan” yang memerlukan bantuan sosial.

Terkait kebijakan, belum satupun capres yang menjelaskan secara rinci terkait kebijakan disabilitas dan inklusivitas. Baik Anies, Prabowo, dan Ganjar belum menyasar persoalan mendasar disabilitas, yaitu stigma yang berdampak pada keberpihakan dan arah kebijakan serta pendataan disabilitas yang masih bermasalah.

Anies menyatakan bahwa disabilitas masuk ke dalam 28 simpul kesejahteraan sosial. Artinya paradigma beliau masih berkutat pada “charity based”, yang artinya fokus utamanya lebih kepada memberikan bantuan materi. Inilah mengapa selama ini program-program yang menyasar penyandang disabilitas mayoritas hanya sebatas pemberian bantuan sosial.

Meski demikian, Anies berani memberikan janji dengan kontrak politik kepada disabilitas dengan membuat Piagam Perubahan Berkeadilan bagi penyandang disabilitas.

Kontrak semacam ini sebenarnya juga pernah dibuat oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo ketika ia menjadi capres dalam Pemilu 2014-namanya Piagam Suharso. Piagam tersebut merupakan bentuk janji poltik berisi langkah-langkah yang harus dilakukannya.

Namun, setelah Jokowi tepilih, penyandang disabilitas seperti ditinggalkan, janji politik terkesan hanya slogan saja. Pelaksanaannya hanya berujung pada diterbitkannya UU Penyandang Disabilitas.

Capres Prabowo menyoroti pemberian akses pendidikan dan pekerjaan serta teknologi, namun luput melihat hambatan disabilitas dan dukungan yang perlu diberikan untuk pemberian akses tersebut. Meskipun begitu, Prabowo menggarisbawahi Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai basis kebijakan disabilitas, sehingga seharusnya arah kebijakannya sudah tidak lagi berbasis “charity”. Meski demikian, masih belum jelas program yang akan ia lakukan guna menjamin inklusivitas.

Sensitivitas Prabowo terhadap penyandang disabilitas juga mesti dipertanyakan. Ia sempat menyebut ingin membuat penyandang disabilitas “mendekati orang normal”. Ini jelas mengindikasikan praktik ableisme pada penyandang disabilitas. Pilihan penggunaan diksi untuk disabilitas masih menjadi hambatan sikap untuk penyandang disabilitas.

Sementara itu, Program Dana abadi yang diusung Ganjar justru dikhawatirkan melanggengkan “charity based” yang seharusnya sudah ditinggalkan dan beralih pada human right-based. Sementara program utama seperti Konsesi justru tidak banyak dibicarakan.

Dalam Pemilu kali ini, terlihat bahwa para paslon menawarkan bentuk program disabilitas model lama tanpa melihat basis hak penyandang disabilitas.

Menagih komitmen negara

Diperlukan upaya untuk menyusun metode pendataan yang komprehensif, inklusif, serta partisipatif. Termasuk pelibatan seluruh instansi teknis agar pendataan bisa dilakukan dan digunakan oleh semuanya.

Pelibatan penyandang disabilitas dalam setiap perencanaan pembangunan dan program bagi penyandang disabilitas merupakan upaya mengurangi hambatan stigma bagi penyandang disabilitas. Dengan perencanaan yang baik, maka akan dipastikan bahwa penganggaran disabilitas juga tepat sasaran.

Sejalan dengan upaya tersebut, tanggung jawab negara untuk penyandang disabilitas idealnya bermanifestasi pada tata kelola pemerintahan yang lincah dan adaptif terhadap paradigma baru berbasis hak. Sejurus dengan itu, pelayanan publik yang inklusif merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, janji politik pada saat kampanye terhadap penyandang disabilitas, ternyata tidak berbuah manis. Janji politik tidak dapat terlaksana, dan sekali lagi disabilitas hanyalah obyek untuk meraih suara. Penyandang disabilitas harus tetap bertindak dan bersuara kritis mengenai janji-janji politik pemimpin.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now