Menu Close
Dalam kondisi normal, proses pembuatan obat dari riset awal sampai beredar ke pasien butuh waktu bertahun-tahun. Pexels/Chokniti Khongchum

Izin darurat obat-obatan jarang diajukan ke BPOM, apa bedanya dengan izin normal?

Situasi pandemi COVID-19 membuat proses perizinan dan distribusi produk farmasi menjadi sorotan di masyarakat. Selama pandemi, topik mengenai regulasi merupakan isu yang paling banyak diberitakan oleh media masa.

Pandemi COVID-19 telah meningkatkan literasi kesehatan masyarakat terkait dengan penerapan protokol kesehatan dan juga soal perizinan obat-obatan.

Regulasi terkait penggunaan masker, pelaksanaan uji laboratorium hingga pemberian vaksin tidak hanya ditekankan lewat aturan pemerintah namun juga lewat imbauan di media massa. Adanya pandemi juga mengakibatkan proses izin edar produk farmasi menjadi tema yang sering dibicarakan di masyarakat.

Izin edar obat dan vaksin itu sangat penting karena menyangkut keampuhan, keamanan dan akses masyarakat ke obat dan vaksin yang diberi izin.

Meski belum ada biaya rata-rata untuk pengembangan obat baru, satu penelitian melaporkan perkirakan pengembangan satu jenis obat baru membutuhkan biaya sekitar U$314 juta-2,8 miliar (Rp 5-42 triliun) dan memakan waktu 8-10 tahun. Tapi karena pandemi, pengembangan vaksin COVID-19 dipercepat dan mendapatkan izin edar darurat, termasuk vaksin booster.

Izin Edar dan Emergency Use Authorization (EUA)

Pengembangan obat baru merupakan fase yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama.

Tidak jarang produk obat yang dikembangkan tidak berhasil menunjukkan bukti aman dan berkhasiat atau pun lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan obat yang sudah tersedia. Tanpa adanya jaminan balik modal, hanya industri farmasi dengan modal besar dan kemampuan riset mumpuni yang berani mengambil risiko ini.

Setiap produk obat, termasuk vaksin, suplemen atau pun obat tradisional yang didistribusikan di Indonesia perlu mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Produk obat harus mempunyai bukti khasiat yang memadai, memenuhi standar mutu termasuk standar proses produksi sesuai dengan ketentuan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), memiliki informasi produk yang lengkap dan tidak menyesatkan yang tertera pada label (kemasan) untuk dapat memperoleh izin edar.

Konsumen biasanya akan menemukan nomor izin edar atau nomor registrasi tertera pada kemasan produk. Adanya izin edar yang dikeluarkan BPOM diharapkan dapat menjadi suatu jaminan bahwa produk tersebut merupakan produk yang telah memenuhi standar mutu dan keamanan sehingga dapat digunakan oleh masyarakat luas.

Emergency Use Authorization (EUA) merupakan persetujuan penggunaan produk farmasi, termasuk obat dan vaksin dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Persetujuan khusus ini diberikan untuk obat yang belum mendapatkan izin edar atau obat yang telah mendapatkan izin edar tapi dengan indikasi penggunaan yang berbeda (indikasi baru) untuk kondisi kedaruratan masyarakat. Semua vaksin COVID-19 yang dipakai saat ini mengunakan mekanisme izin darurat ini.

Adanya EUA bertujuan memastikan dalam kondisi darurat obat termasuk vaksin tersedia dan dapat digunakan oleh masyarakat dengan tetap menjamin mutu, khasiat dan keamanannya.

Perbedaan antara EUA dengan izin edar normal dapat digambarkan secara sederhana pada gambar di bawah.

Perbedaan pengajuan izin penggunaan darurat dan izin normal untuk obat dan vaksin ke otoritas regulator obat (BPOM). Author provided

Proses pengembangan obat dan pemberian izin edar

Dalam proses pengembangan obat baru, pengawasan regulator, dalam konteks Indonesia dilakuan oleh BPOM, diperlukan dari tahap awal pengembangan obat hingga pengajuan kelengkapan dokumen.

Obat pengembangan baru harus melewati tahap uji pra-klinik dan uji klinik dimulai dari uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3 sebelum melewati proses registrasi. Uji pra-klinik dapat meliputi uji pada hewan, serta karakterisasi dalam skala laboratorium.

Sedangkan uji klinik melibatkan sukarelawan sebagai subjek dan obat harus dibuat dalam skala besar dengan fasilitas sesuai ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Uji klinik harus memenuhi syarat Cara Uji Klinik yang Baik dan lolos kaji etik dari komite etik.

Pengawalan BPOM untuk obat pengembangan baru dimulai ketika memasuki uji klinik. Walau komunikasi dari pengembang obat dengan regulator sebelum atau sesudah pra-klinik juga dapat dilakukan.

Setelah uji klinik dilakukan, obat pengembangan baru akan memasuki tahap registrasi obat untuk memperoleh nomor izin edar. Uji klinik berupa uji post marketing (fase 4) tetap diperlukan setelah pemberian izin edar untuk memantau produk jangka panjang dalam penggunaan sehari-hari.

Proses pengajuan izin edar dimulai dari registrasi produk. Untuk produk yang sebelumnya belum pernah diedarkan di Indonesia harus mengajukan permohonan registrasi baru. Obat yang diedarkan pertama kali ini dapat berupa produk dengan bahan aktif obat yang baru, belum pernah beredar sebelumnya dan umumnya dilindungi oleh hak paten (obat pengembangan baru) atau produk metoo.

Umumnya obat-obatan yang beredar di Indonesia merupakan produk metoo, yaitu produk obat dari bahan aktif obat yang telah dikembangkan, diuji khasiat dan keamanannya oleh industri farmasi lain di luar negeri. Obat-obatan ini memiliki bahan obat yang telah melewati masa paten kemudian diproduksi oleh industri farmasi di dalam negeri sebagai obat generik bermerek.

Obat paten juga dapat didistribusikan ke Indonesia dalam bentuk obat impor.

Perizinan produk farmasi dalam keadaan darurat

Kebijakan EUA baru dikeluarkan oleh BPOM pada 2020 akibat kondisi pandemi COVID-19.

Secara global, EUA bukan hal baru. Aturan EUA sudah dikeluarkan FDA (Badan Pengawasan Obat Amerika Serikat) pada 2004 untuk antisipasi penanganan wabah anthrax.

Pada 2009, adanya wabah flu burung menyebabkan perizinan darurat untuk obat ini kembali diberlakukan di Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan negara lainnya.

Dalam proses pengajuan izin edar dan EUA terdapat perbedaan proses. Untuk pengajuan EUA dimungkinkan data dokumen yang lebih fleksibel mengingat urgensi keadaan yang dihadapi.

Untuk memperoleh EUA ada beberapa kriteria suatu obat atau vaksin yang harus dipenuhi:

  1. Obat atau vaksin yang diajukan izin darurat terkait dengan penyakit yang telah ditetapkan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat oleh pemerintah

  2. Terdapat cukup bukti ilmiah terkait keamanan dan khasiat obat atau vaksin berdasarkan data yang memadai

  3. Obat atau vaksinnya memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta tata cara pembuatan obat yang baik

  4. Kemanfaatan obat atau vaksin ini lebih besar dari risiko berdasarkan kajian data

  5. Belum ada alternatif pengobatan yang memadai dan disetujui untuk kondisi kedaruratan di masyarakat.

Meski izin darurat lebih fleksibel dalam persyaratan, regulator (BPOM) tetap tegas dalam menjamin bahwa produk yang diedarkan tetap aman dan efektif digunakan oleh masyarakat. Karena taruhannya adalah keselamatan dan nyawa ratusan juta penduduk.


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sintha Ayu Nurfadilla yang telah mereview awal dan memberikan pandangannya terhadap tulisan ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now