Menu Close
Warga melintas di depan mural COVID-19 di Jakarta, 2 November 2021. Pemerintah Jakarta melonggarkan pembatasan kegiatan masyarakat termasuk di sekolah dan tempat kerja. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc

Jika diterapkan dengan baik, penutupan sekolah dan tempat kerja selama setahun pandemi di Jakarta bisa hemat hingga Rp 480 triliun

Sejak pandemi COVID-19 menghantam hampir seluruh dunia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pemerintah menerapkan kebijakan menjaga jarak fisik melalui penutupan sekolah dan tempat kerja untuk mencegah penularan virus corona yang lebih luas. Kedua tempat itu merupakan pusat pertemuan banyak orang selama berjam-jam dengan berbagai aktivitas sehingga menaikkan risiko penularan.

Pertanyaannya: sebenarnya berapa biaya yang bisa dihemat dan kematian yang bisa dicegah dari kebijakan menutup sekolah dan tempat kerja?

Riset pemodelan kami, dengan menggunakan data sekunder dan kebijakan pemerintah di provinsi Jakarta per Maret 2020, menunjukkan penutupan sekolah dan tempat kerja selama delapan minggu ketika sedang terjadi puncak gelombang pandemi diperkirakan bisa menghemat hampir US$ 34 miliar atau sekitar Rp 480 triliun dalam setahun, jika diikuti partisipasi tinggi dari masyarakat. Dalam durasi yang sama, dua kebijakan itu bisa mencegah sekitar 250 ribu kematian terkait COVID-19.

Dari studi ini, dalam konteks pengendalian pandemi, memperpanjang durasi penutupan sekolah dan tempat kerja akan meningkatkan penghematan dan jumlah kematian yang bisa dihindari. Walau level vaksinasi di Indonesia kini makin meningkat, kebijakan itu tetap relevan selama pandemi ini belum sepenuhnya bisa dikendalikan baik pada level nasional maupun global.

Biaya langsung dan tidak langsung

Salah satu perdebatan dalam kebijakan terkait pencegahan COVID-19 adalah apakah sebaiknya pemerintah fokus pada kesehatan, ekonomi atau kedua-duanya bisa berjalan beriringan. Praktiknya, jika pemerintah hanya fokus pada pemulihan ekonomi, angka kasus makin tinggi dan risiko kematian makin meningkat karena aktivitas ekonomi dan sosial longgar. Sebaliknya, jika pemerintah fokus pada kesehatan, dengan membatasi pergerakan orang, dampak ekonominya juga terasa.

Yang luput adalah perbandingan biaya pandemi dan dampak dari sebuah kebijakan, baik ada intervensi maupun tidak ada intervensi. Riset ini mengisi kekosongan studi terkait hal tersebut.

Secara umum ada ada dua jenis biaya terkait mitigasi pandemi COVID-19. Biaya pertama terkait langsung dengan perawatan kesehatan seperti biaya rawat jalan, perawat rumah sakit non-intensive care unit (non-ICU), dan perawatan di ICU. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi produktivitas yang hilang karena sakit dan kematian akibat COVID-19.

Riset ini memperkirakan biaya dan dampak dari strategi alternatif (penutupan sekolah dan tempat kerja) untuk mitigasi COVID-19 di Jakarta. Kami membandingkan baseline atau keadaan tanpa intervensi apa pun dengan adanya intervensi berupa penutupan total sekolah dan tempat kerja pada skenario selama 2, 4 dan 8 minggu. Dari penutupan beberapa minggu itu kemudian diproyeksikan biayanya dan kematian yang bisa dicegah dalam setahun.

Untuk memperkirakan total biaya pandemi dari semua skenario, kami memperhitungkan biaya perawatan kesehatan, biaya penutupan sekolah, dan produktivitas yang hilang karena penutupan tempat kerja dan sakit. Selain biaya, kematian yang dihindari dianggap sebagai ukuran dampak dari kebijakan.

Parameter yang digunakan untuk menghitung di antaranya upah per hari, periode infeksi, angka reproduksi penularan virus, masa inkubasi virus, tingkat kematian, ongkos perawatan, produktivitas yang hilang saat dirawat dan parameter lain yang relevan. Sejumlah parameter ini mempengaruhi jumlah biaya pandemi dan kematian yang bisa dihindari.

Untuk baseline, biaya rawat jalan per hari adalah US$ 24,2, lalu perawatan di rumah sakit US$ 162,11 per hari dan perawatan di ICU US$ 219,15. Angka ini merujuk pada ongkos serupa pada perawatan pasien tuberkulosis paru di Indonesia.

Pada level baseline atau tanpa penutupan sekolah dan tempat kerja, peneliti berasumsi bahwa wabah ini akan bertambah kasusnya dan kemudian menurun kasusnya secara alamiah setelah semua orang rentan terserang penyakit ini. Angka populasi sekitar 10,5 juta penduduk Jakarta digunakan untuk mensimulasi dampak dari serangan penyakit ini pada saat sekolah dan tempat kerja ditutup selama 2, 4, dan 8 minggu.

Penghematan biaya dan kematian lebih sedikit

Tanpa ada intervensi apa pun, kami memperkirakan jumlah pasien yang dirawat jalan hampir 600 ribu orang, dirawat di rumah sakit sekitar 165 ribu, dirawat di ICU sekitar 335 ribu dan kematian sekitar 328 ribu, selama setahun.

Dengan intervensi penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu, angka pasien rawat jalan sekitar 64 ribu, perawatan di rumah sakit hampir 20 ribu, masuk ICU hampir 42 ribu dan kematian hampir 78 ribu.

Sementara itu, dari total biaya mitigasi yang diperlukan terdapat perbedaan signifikan antara ada intervensi penutupan sekolah-tempat kerja dan tanpa intervensi. Tanpa ada intervensi, biaya perawatan mencapai US$ 1,7 miliar dan produktivitas yang hilang sekitar US$ 48 miliar, sehingga totalnya mencapai hampir US$ 50 miliar.

Sebaliknya, saat ada intervensi penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu, total biaya mitigasi pandemi mencapai US$ 16 miliar, selisih hampir 32% dibanding tanpa intervensi. Rinciannya biaya perawatan kesehatan sekitar US$ 210 juta (seperdelapan dari tanpa intervensi), ongkos penutupan sekolah US$ 83 juta, produktivitas yang hilang akibat penutupan tempat kerja US$ 4,4 miliar dan produktivitas yang hilang karena COVID-19 US$ 11 miliar (sekitar seperempat dari tanpa invervensi). Kabar baiknya lainnya, intervensi ini bisa mencegah kematian 250 ribu kasus.

Saat diproyeksikan setahun, penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu berpotensi menurunkan jumlah perawatan pasien di rumah sakit 88% dan kematian 76%. Hasil riset ini senada dengan riset sebelumnya di Kanada bahwa penutupan sekolah dapat menurunkan jumlah kasus pandemi influensa antara 28-52%. Di Prancis, liburan sekolah rutin mampu mencegah 16-18% kasus flu musiman. Hal serupa juga bisa terjadi di Inggris.

Kebijakan yang terukur

Dari riset ini bisa kita ketahui bahwa intervensi non-farmakologi dapat dipertimbangkan oleh pengambil keputusan untuk mengurangi risiko pandemi dari perspektif ekonomi, apalagi saat vaksinasi belum mencapai target minimal dan obatnya masih dalam tahap riset.

Walau kasus harian COVID di Indonesia saat ini relatif rendah, risiko penularan tetap tinggi karena masih ada 35% dari target vaksinasi yang belum menerima vaksin satu dosis pun. Dengan demikian, penutupan tempat kerja dan sekolah tetap relevan diambil dalam skala provinsi, kabupaten atau skala sekolah jika memang ditemukan cukup bukti level penularan virus cukup tinggi.


Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now