Menu Close
Daging merah atau daging putih, yang tidak berlemak itu yang lebih sehat. From shutterstock.com

Kadar kolesterol daging putih setara dengan daging merah. Benarkah?

Terlalu banyak makan daging merah yang berlemak katanya tidak baik bagi kesehatan. Dikatakan juga daging ayam dan daging tanpa lemak pilihan yang lebih baik. Wajar kita terkejut ketika ada berita baru yang menyatakan daging putih punya akibat sama buruknya dengan daging merah terhadap kadar kolesterol.

Laporan itu dipicu oleh sebuah makalah yang diterbitkan dalam The American Journal of Clinical Nutrition Juni 2019 lalu.

Studi itu menemukan bahwa daging putih tanpa lemak memiliki pengaruh pada kadar kolesterol sama dengan daging merah tanpa lemak. Ini bisa jadi berita baik untuk pecinta daging merah, tapi masalah ini perlu dibahas lebih lanjut untuk mendapat gambaran yang lebih jelas.

Bagaimana penelitian ini dilakukan?

Para peneliti memulai dengan membandingkan tiga macam diet: diet dengan sumber utama protein yang berasal dari makan daging merah (sapi dan babi), diet dengan unggas (ayam dan kalkun), dan diet makanan nabati (kacang-kacangan, biji-bijian dan produk kedelai).

Mereka ingin mengukur dampak pola-pola diet ini pada kategori lemak darah tertentu yang merupakan penanda risiko penyakit jantung. Mereka menguji lemak darah termasuk kolesterol lipoprotein densitas rendah (atau LDL, umumnya dikenal sebagai “kolesterol jahat”), apolipoprotein B (apoB), dan rasio total kolesterol dengan kolesterol lipoprotein densitas tinggi (atau HDL, umumnya dikenal sebagai “kolesterol baik) ”).


Read more: How to get the nutrients you need without eating as much red meat


Para peneliti juga ingin tahu apakah kadar lemak darah berubah banyak ketika pola diet dengan lemak jenuh tinggi, yang sebagian besar berasal dari produk susu dan mentega berlemak, atau ketika lemak jenuh mereka rendah.

Dalam mencari jawaban, 177 orang dewasa dengan kadar kolesterol darah dalam kisaran normal dipilih secara acak untuk menjalani dua pola makan berbeda: diet lemak jenuh tinggi (14% dari total asupan energi) dan diet lemak jenuh rendah (7% dari total asupan energi).

Dua kelompok ini selanjutnya dibagi lagi secara acak untuk mengikuti tiga diet terpisah masing-masing selama empat minggu: daging merah, daging putih, dan sumber protein nabati. Sumber protein utama dalam kelompok daging berasal dari daging merah dan putih tanpa lemak. Dalam diet nabati, protein berasal dari kacang-kacangan, biji-bijian, dan produk kedelai.

Setiap minggu, peserta menemui staf peneliti untuk mengumpulkan produk makanan mereka dan menerima konseling masalah diet khusus mereka. Peserta diminta untuk mempertahankan tingkat aktivitas fisik mereka dan menjaga berat badan mereka sestabil mungkin sehingga hasil dari faktor-faktor ini tidak bias.

Untuk menghilangkan efek perpindahan dari makan satu jenis protein ke yang berikutnya, peserta diberikan antara dua dan tujuh minggu jeda di antara setiap diet dan disuruh untuk kembali ke pola makan mereka yang biasa.


Read more: Organic, grass fed and hormone-free: does this make red meat any healthier?


Apa yang ditemukan?

Beberapa peserta berhenti di tengah penelitian, sehingga pada akhirnya peneliti hanya mendapatkan hasil dari 113 peserta.

Konsentrasi kolesterol LDL dan apoB dalam darah ditemukan lebih rendah setelah periode diet protein nabati, dibandingkan dengan periode daging merah dan putih. Ini tidak tergantung pada apakah peserta sebelumnya melakukan diet lemak jenuh tinggi atau rendah.

Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat lemak darah dari mereka yang makan daging merah jika dibandingkan dengan mereka yang makan daging putih.

Kita sering diimbau untuk membatasi konsumsi daging merah. From shutterstock.com

Makanan diet dengan lemak jenuh berkadar tinggi menyebabkan peningkatan signifikan kadar kolesterol LDL darah, APB, dan partikel LDL besar jika dibandingkan dengan diet latar belakang lemak jenuh rendah.

Jadi, semua sumber protein makanan serta tingkat asupan lemak jenuh memiliki efek signifikan pada kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol non-HDL, dan kadar apoB.

Bagaimana kita membaca temuan ini?

Meskipun tes diet hanya berlangsung masing-masing selama empat minggu, penelitian ini penting. Kita jarang melihat studi intervensi yang secara langsung membandingkan kegiatan makan berbagai jenis daging dan sumber protein dan dampaknya pada faktor risiko penyakit jantung. Ini sebagian besar karena adanya tantangan dan biaya penyediaan makanan agar orang mau mengikuti diet tertentu.

Sebagian besar penelitian sampai saat ini berbentuk studi kohort. Melalui metode penelitian ini, orang dikategorikan berdasarkan apa yang mereka makan, kemudian diawasi selama bertahun-tahun untuk melihat apa yang terjadi pada kesehatan mereka.

Salah satu ulasan dari studi kohort semacam ini tidak menemukan adanya risiko stroke yang lebih tinggi pada mereka yang makan lebih banyak unggas dibandingkan dengan lebih sedikit unggas, sementara ada studi lain yang menunjukkan risiko stroke yang lebih tinggi pada mereka yang makan lebih banyak daging merah dan olahan dibandingkan dengan pemakan unggas.


Read more: Should we eat red meat? The nutrition and the ethics


Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam penelitian ini. Pertama, para peneliti menggunakan daging merah dan putih yang paling tidak berlemak serta menghilangkan semua lemak dan kulit yang terlihat. Jika peserta makan daging berlemak, bisa jadi hasil penelitiannya berbeda.

Variasi yang signifikan dalam jeda diet (mulai dari dua hingga tujuh minggu) mungkin juga mempengaruhi hasil. Peserta dengan jeda yang lebih lama kadar kolesterol darahnya bisa berubah lebih banyak, dibandingkan dengan mereka yang memiliki jeda lebih pendek.

Terakhir, akan lebih baik bagi para peneliti untuk memasukkan di laporan semua 177 peserta yang ikut di awal. Mereka yang berhenti di tengah jalan seringkali memiliki karakteristik kesehatan yang berbeda, dan dengan tidak mengikutsertakan mereka di akhir mungkin menyebabkan hasil yang bias.

Studi jangka pendek ini tidak memberikan bukti apakah daging putih tanpa lemak lebih baik atau lebih buruk untuk kesehatan Anda.

Namun, temuan penelitian ini konsisten dengan rekomendasi dari Yayasan Jantung Australia untuk memasukkan berbagai makanan nabati dalam makanan kita, mulai dari makanan yang mengandung jenis lemak sehat dan jumlah lemak jenuh yang lebih rendah, dan khususnya, untuk memilih daging dan unggas tanpa lemak. -Clare Collins

Peninjauan anonim

Artikel ini menyajikan penilaian studi yang adil, seimbang, dan akurat. Dalam studi ini, mereka menunjukkan daging merah tanpa lemak dan daging putih tanpa lemak (dengan semua lemak yang terlihat dan kulit yang dihilangkan) memiliki efek yang sama pada kadar lemak darah.

Yang juga penting, sumber protein nabati (seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan produk kedelai) dapat menurunkan kadar lemak darah dibandingkan dengan daging merah dan putih, dan ini tidak tergantung pada apakah para peserta sebelumnya melakukan diet lemak jenuh baik rendah atau tinggi. Studi ini tidak meneliti dampak dari diet berbasis ikan pada lemak darah. -Evangeline Mantzioris


Read more: Three charts on: Australia's declining taste for beef and growing appetite for chicken


Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now