Menu Close
Kearifan ekologi lokal yang merupakan interaksi dari kebudayaan, kepercayaan adat, hingga kemampuan adaptasi Orang Suku Laut bisa hadapi dampak krisis iklim. Wengky Ariando, Author provided (no reuse)

Kearifan lokal bantu masyarakat adat beradaptasi terhadap dampak krisis iklim

Artikel ini merupakan bagian dalam serial untuk merayakan Hari Kelautan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Juni.


Masyarakat adat, yang jumlahnya sekitar 5% dari populasi dunia, merupakan salah satu kelompok paling rentan terhadap masalah sosial dan ekonomi, mulai dari kemiskinan, hak asasi manusia, hingga krisis iklim.

Padahal, kelompok ini memberikan kontribusi nyata bagi perlindungan keanekaragaman hayati serta menjaga keseimbangan ekosistem alam, baik daratan maupun lautan melalui pengetahuan tradisional yang mereka wariskan dari generasi ke generasi.

Penelitian saya pada Oktober 2018 sampai dengan Januari 2019 menemukan bahwa kearifan ekologi lokal yang diterapkan oleh masyarakat adat, Orang Suku Laut, di Lingga, Kepulauan Riau, bisa menjadi cara yang efektif untuk bisa beradaptasi dengan krisis iklim yang kini terjadi.

Orang Suku Laut dan perubahan iklim

Orang Suku Laut adalah masyarakat asli Melayu yang sudah hidup berpindah-pindah mengarungi laut (sea nomads) sejak abad ke-16.

Suku ini tersebar di pesisir timur daratan Pulau Sumatra dan Kepulauan Riau.

Populasi Orang Suku Laut tertinggi dapat ditemukan di Kabupaten Lingga, provinsi Kepulauan Riau. Mereka terdiri dari 30 kelompok, 806 kepala keluarga dan 3931 jiwa.

Orang Suku Laut ini terdiri dari tiga kelompok yaitu kelompok yang masih hidup berpindah- pindah (nomadic groups), kelompok semi menetap (semi-nomadic groups) dan kelompok menetap (sedentary groups) sejak awal tahun 1990an.

Peta lokasi Orang Suku Laut di Kabupaten Lingga.

Penelitian saya berusaha melihat interaksi antara kebudayaan, kepercayaan adat, dan kemampuan adaptasi dari suatu entitas masyarakat atau kearifan ekologi lokal Suku Laut dalam mengatasi krisis iklim dengan menggunakan pendekatan sains ilmiah dan teknologi.

Konsep kearifan ekologi lokal ini pertama kali dikenalkan oleh Firket Berkes, seorang ahli ekologi terapan Kanada dari University of Manitoba, pada tahun 1993.

Dalam konteks perubahan iklim, kearifan ekologi lokal digunakan untuk mengetahui sistem pengetahuan kompleks dari masyarakat adat saat mereka harus beradaptasi terhadap dampak dari krisis iklim.

Penelitian saya menemukan bahwa 80,18% Orang Suku Laut merasakan perubahan iklim membawa beberapa perubahan dalam kehidupan mereka.

Perubahan itu termasuk berkurangnya ketersediaan sumber daya alam akibat peristiwa cuaca ekstrem, lalu peningkatan suhu yang berdampak pada pola musiman, semakin rentannya mereka terhadap penyakit, kelangkaan sumber air bersih, dan mata pencaharian mereka.

Adaptasi perubahan iklim versi Orang Suku Laut

Orang Suku Laut memiliki cara berpikir yang holistik yang mempertimbangkan kebudayaan leluhur dan keseimbangan alam sebagai sumber kehidupan.

Penelitian saya membagi kemampuan beradaptasi Orang Suku Laut ke dalam tiga cara, yaitu praktik kebudayaan, kepercayaan adat, dan kemampuan adaptasi.

KEL Orang Suku Laut dalam Perubahan Iklim.

1) Praktik Kebudayaan

Orang Suku Laut memiliki praktik kebudayaan membuat prakiraan cuaca dengan melihat tanda-tanda alam, dari arah angin, pergerakan ikan atau burung, observasi langsung ke langit, arus laut, dan suhu laut.

Mereka juga memiliki praktik kebudayaan berpindah mengikuti perubahan musim tahunan untuk mengurangi ancaman hidrometeorologis (kemarau panjang dan badai laut).

Praktik kebudayaan dari Orang Suku Laut merupakan pengetahuan tradisional yang saat ini masih dilakukan dan bisa direplikasi oleh kelompok bukan-masyarakat-adat.

Kalender musiman Orang Suku Laut sangat dipengaruhi oleh pola curah hujan monsoon.

Orang Suku Laut mengenal adanya Musim Utara yang memiliki bencana hidrometeorologi tertinggi, Musim Timur dengan produktivitas perikanan yang tinggi, Musim Selatan adalah musim kemarau, dan terakhir Musim Barat yang disebut sebagai musim hujan.

Semua pola praktek kebudayaan Orang Suku Laut mengikuti perubahan musim ini.

2) Kepercayaan Adat

Dalam teori kearifan ekologi lokal, para ilmuwan memandang kepercayaan adat, yang menganut konsep tabu dan sistem ketuhanan seperti konsep agama lainnya, sebagai bagian dari praktik holistik masyarakat adat dalam manajemen lingkungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Salah satu kepercayaan adat yang masih digunakan Orang Suku Laut adalah pantang larang, sebuah tata aturan turun temurun yang digunakan untuk menumbuhkan kesadaran hukum adat dari Orang Suku Laut yang dikaitkan dengan sisi spiritual, misalnya pantang larang melaut, menebang pohon, menangkap jenis spesies tertentu.

Bagi nenek moyang Orang Suku Laut, pantang larang ini berkaitan dengan penggunaan ilmu dan pengasih yaitu berupa kemampuan magis seperti ilmu mengurangi intensitas hujan dan menghindari badai ketika di tengah laut.

Penerapan kepercayaan adat ini merupakan bentuk kearifan ekologi lokal yang dinamis dan reflektif. Kepercayaan ini juga mudah dihubungkan dengan spiritualitas dan tabu yang bertujuan untuk melindungi alam.

Kearifan ekologi lokal dari Orang Suku Laut merupakan tata aturan yang sudah ada turun temurun. Wengky Ariando, Author provided (no reuse)

3) Kemampuan Adaptasi

Studi ini menemukan bahwa kemampuan adaptasi yang terlihat dari Orang Suku Laut adalah bentuk arsitektural bangunan mereka dan praktik migrasi lokal.

Bangunan Orang Suku Laut memiliki gaya arsitektur vernakular, yaitu arsitektur yang menggunakan bahan-bahan lokal dan pengetahuan lokal yang terbentuk karena proses budaya dan adat yang lama.

Hal ini bisa dilihat dari rumah panggung tancap (Saphaw) dan Sampan Kajang mereka yang terbuat dari kayu Mentango atau Bintangur, yaitu pohon bertekstur keras yang tersebar di daerah tropis dan dataran rendah seperti di Kepulauan Riau.

Sedangkan, atap dan dinding rumah terbuat dari daun Mengkuang, sejenis pandan berduri yang dapat tumbuh di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil daerah tropis.

Rumah Saphaw yang terbuat dari daun Mengkuang yang banyak tumbuh di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil mampu kurangi dampak krisis iklim bagi Orang Suku Laut. Wengky Ariando, Author provided (no reuse)

Kemampuan adaptasi, seperti dalam menentukan bentuk arsitektural bangunan berbasis pengetahuan adat ini, telah teruji dapat mengurangi risiko keterpaparan Orang Suku Laut terhadap badai laut, kenaikan suhu udara, dan kondisi cuaca ekstrem karena mengadopsi prinsip ekologi dan berkelanjutan.

Selain itu, migrasi lokal dari satu pulau ke pulau lain ketika musim utara datang seperti terjadinya badai laut, juga menjadi kemampuan adaptasi dari Orang Suku Laut.

Pola migrasi musiman ini dapat ditemukan sebagai strategi adaptasi untuk iklim musim yang berbeda.

Migrasi ini dilakukan Orang Suku Laut untuk melindungi diri dari ancaman kekeringan, pasang naik, kejadian iklim ekstrem serta wabah penyakit dan konflik kelompok.

Rekomendasi dan Pengembangan

Penelitian saya juga menunjukkan bahwa 55% Orang Suku Laut menyadari bahwa mereka harus mengintegrasikan sains dan teknologi terapan beserta kearifan lokal mereka untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi mereka terhadap perubahan iklim.

Namun, masih ada beberapa tantangan Orang Suku Laut dalam menggunakan kearifan ekologi lokal untuk adaptasi perubahan iklim. Tantangan itu antara lain degradasi kepercayaan adat atau penurunan praktik berkaitan dengan kepercayaan adat, seperti ritual dan mantra yang sudah tidak dipakai lagi karena mereka sudah menganut agama baru (Islam atau Kristen).

Arah kebijakan pemerintah belum banyak memperhatikan kearifan ekologi lokal, serta situasi sosial, ekonomi dan politik baik tingkat lokal maupun nasional.

Rencana Aksi Nasional tentang Adaptasi Perubahan Iklim sebaiknya memasukkan kearifan ekologi lokal sebagai bentuk upaya adaptasi yang berbasis masyarakat.

Selain itu, harus ada riset lebih lanjut yang lintas disiplin ilmu tentang masyarakat adat dan perubahan iklim.

Rekomendasi lainnya adalah menggunakan skema Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau dikenal juga dengan Paditapa, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan bagi masyarakat adat terhadap agenda-agenda pembangunan yang dilaksanakan di atas wilayah adat.

Ini untuk memastikan masyarakat adat dapat mendapatkan haknya untuk menentukan arah pembangunan yang bersinggungan dengan tatanan dan wilayah adat untuk mencapai pembangunan sumber daya alam berkelanjutan berbasis masyarakat.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now