Menu Close

Ketua MK Anwar Usman diberhentikan: mungkinkah putusan tentang batas usia minimal capres-cawapres diubah?

CC BY80.6 MB (download)

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang perdana terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman, Selasa 31 Oktober 2023 kemarin.

Dalam persidangan ini, MKMK mendatangkan empat pelapor, yakni Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf, serta perwakilan dari 15 guru besar/akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).

Alasan pelaporan terhadap Anwar Usman adalah karena pelapor mencurigai adanya konflik kepentingan dalam tindakan beliau saat memutuskan perkara aturan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Mereka berpendapat bahwa putusan MK itu melanggar konstitusi.

Setelah melalui beberapa persidangan, MKMK memutuskan Anwar terbukti melanggar prinsip-prinsip Sapta Karsa Hutama: Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Anwar juga diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK.

Seperti apa tanggapan Akademisi mengenai putusan sidang MKMK tersebut?

Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Jamaludin Ghafur, Dosen hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII).

Jamal mengatakan putusan MKMK ini seharusnya bisa menjadi putusan yang memperbaiki citra lembaga MK di masyarakat. Kentalnya unsur pelanggaran etika yang terjadi di dalam MK membuat masyarakat sangat berharap MKMK mengambil langkah yang tepat.

Ketika ditanya apakah putusan sidang MKMK ini bisa mengubah putusan sidang perkara nomor 90 tahun 2023, Jamal berpendapat ini membutuhkan itikad baik dari seluruh stakeholder dalam pemilu untuk membahas hal mengenai batas usia minimal capres-cawapres ini.

Untuk membatalkan putusan sebelumnya, Jamal menyebutkan perlu proses panjang lagi apabila harus diajukan kembali ke MK sedangkan proses pemilu sudah berjalan. Proses ini akan memperpanjang proses pemilu dan bila terus berlarut bahkan bisa menyebabkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

Simak episode selengkapnya di SuarAkademia - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now