Menu Close
Foto udara hutan di Pulau Halmahera. (Eustaquio Santimano/Flickr)

Kisah Orang Tugutil: nomad terakhir Halmahera yang terhimpit raksasa tambang dan kayu

Awal November lalu, beredar sebuah video yang menggambarkan dua orang yang berani mengusir buldoser untuk melindungi hutan mereka.

Dengan judul yang menarik, “Viral, Suku Pedalaman di Halmahera Halau Buldoser untuk Lindungi Hutan,” video ditonton lebih dari 3 juta kali dan memancing komentar warganet.

Video yang diklaim menampilkan Orang Tugutil.

Dalam keterangannya, video tersebut menginformasikan bahwa dua orang itu adalah O’Hongana Manyawa, atau Orang Tugutil yang mendiami sebagian wilayah pulau tersebut.

Kami merasa bingung. Kami sebelumnya pernah menemukan video serupa dua tahun lalu.

Terlepas dari kebenarannya, video ini seperti memperpanjang daftar stereotipe masyarakat terhadap Orang Tugutil yang kerap dianggap sebagai pembunuh jahat, bahkan dianggap sebagai orang tidak berbudaya.

Apakah benar begitu?

Dua tahun lalu, kami, tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) mengadakan penelitian lapangan seputar Orang Togutil di Halmahera Timur. Selama 15 hari, kami mendatangi beberapa kelompok Orang Tugutil, mengobservasi titik-titik hunian mereka di luar maupun di dalam hutan, dan mewawancarai beberapa di antaranya.

Riset sosial demografi masyarakat adat yang kami lakukan bersama BPS pada 2021.

Kami mendapati bahwa kehidupan mereka semakin berubah karena terdesak oleh maraknya alih fungsi hutan akibat aktivitas pertambangan dan industri kayu. Namun, kami mengamati kehidupan mereka justru jauh dari stigma negatif yang beredar di masyarakat.

Mengenal Orang Tugutil

Berdasarkan diskusi kami dengan Syaiful Madjid, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Ternate, terungkap bahwa Orang Tugutil tersebar di empat daerah. Kehidupan mereka terpisah-pisah dalam 16 kelompok di Pulau Halmahera.

Di tengah upaya pemerintah provinsi untuk memukimkan Orang Tugutil, mereka tetap setia pada kehidupan subsisten mereka di hutan. Dalam dialek lokal, mereka menyebut diri mereka sebagai O’Hongana Manyawa atau Orang yang Tinggal di Hutan.

Artinya, mereka merupakan juga bagian dari Suku Tobelo, mayoritas suku yang ada di Pulau Halmahera. Selain O’Hongana Manyawa, Syaiful Madjid mengatakan bahwa ada Suku Tobelo lainnya O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir).

Lokasi penelitian tahun 2021. (Author provided), Author provided (no reuse)

Kami memilih Kabupaten Halmahera Timur sebagai lokasi penelitian karena menurut beberapa sumber, mayoritas Orang Tugutil berada di wilayah ini. Secara khusus kami melihat bahwa Orang Tugutil di Halmahera Timur dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama adalah Orang Tugutil yang masih tinggal di dalam hutan dan mayoritas kegiatannya banyak dilakukan di sana. Sementara kelompok kedua adalah Orang Tugutil yang sudah tinggal di perkampungan.

Alam khususnya hutan dan sungai adalah ruang Orang Tugutil memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti berburu, mengumpulkan makanan secara berpindah-pindah. Mereka berkebun secara sederhana dengan tanaman umbi-umbian seperti kasbi (singkong), batatas (keladi) dan nanas.

Sementara itu, kebutuhan protein hewani sehari-hari Orang Tugutil di hutan diperoleh dengan berburu hewan liar (rusa, babi, kuskus), telur burung gosong dan menangkap ikan atau udang di sungai.

Keterikatan Orang Tugutil terhadap alamnya–berdasarkan penelitian oleh M. Nasir Tamalane dari Universitas Khairun Ternate dan tim–ditunjukkan dengan konsep pohon kelahiran (tree of birth) dan pohon kematian (tree of death). Ketika ada kelahiran, Orang Tugutil akan menanam pohon sejenis duku (Lansium domesticum) dan seleguri (Sida rhombifolia). Sementara, untuk kematian jenis pohon yang ditanam adalah sejenis tanaman bambu (Bambusa glaucescens) dan nangka (Artocarpus heterophyllus).

Orang Tugutil cenderung tidak menebang pohon untuk kayu bakar, mereka memanfaatkan dahan dan ranting pohon yang jatuh.

Orang Tugutil tidak memiliki struktur hierarki kepemimpinan–berbeda dengan kelompok berburu dan meramu lainnya, seperti Orang Rimba. Studi etnologi oleh Mawikere dan Hura dari Institut Agama Kristen Negeri Manado mengungkapkan bahwa Orang Tugutil tidak mengenal struktur seperti kepala suku.

Berdasarkan penuturan Kepala Desa Lili di Halmahera Timur, Orang Tugutil mengenal o dimono atau laki-laki yang dituakan di dalam kelompok. Studi Mawikere dan Hura menyatakan bahwa setiap o tau moi (kesatuan rumah) di bawah kepemimpinan o dimono harus berusaha dan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan rohani anggota keluarganya.

Dilema perubahan Orang Tugutil

Keberadaan perusahaan tambang dan perusahaan kayu yang semakin ekspansif merebut zona jelajah Orang Tugutil. Daerah jelajah yang semakin berkurang menurunkan kualitas hidup mereka di dalam hutan. Akhirnya, secara bergelombang Orang Tugutil keluar dari hutan, bermukim seperti masyarakat pada umumnya.

Rumah Orang Tugutil
Tempat tinggal salah satu kepala keluarga Orang Tugutil di dalam hutan sekitar 3 jam berjalan kaki dari Desa Iga, Halmahera Timur. Rumah ini dihuni lima orang anggota rumah tangga dan berpindah sewaktu-waktu menuju lokasi di bagian hutan lainnya. (Author provided), Author provided (no reuse)

Kegiatan pertambangan dan penggalian adalah kontributor terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Halmahera Timur yaitu sebesar 37% pada 2021. Angka ini meningkat dari 24,95% pada 2016. Sebagian besar kegiatan pertambangan dan penggalian ini dilakukan di lahan yang sebelumnya berhutan.

Bagi Orang Tugutil yang masih tinggal di hutan, kebutuhan sehari-hari semakin sulit terpenuhi. Ruang hidup yang semakin sempit membuat interaksi dengan dunia luar tidak bisa dihindari. Walhasil, mereka semakin banyak mengalami intervensi dan ketergantungan dengan produk luar.

Kami berkesempatan mengunjungi Orang Tugutil di Lembah Gogaili, Desa Iga, Kecamatan Wasile Utara. Di sana, kami bertemu seorang anak yang sudah berpakaian lengkap berusia sekitar 15 tahun, sementara kedua orang tuanya pergi berburu.

Di hunian tersebut kami menemukan gula, garam dan minyak goreng ada di tengah dapur mereka, bahkan terkadang anak mereka yang sudah bermukim di kampung berkunjung membawakan sayuran yang dibeli di warung.

Kondisi senada juga terjadi bagi Orang Togutil di sekitar Dusun Afu dan Tebin-tebin. Menurut penuturan Kepala Desa Lili, hampir setiap hari penduduk dari sana turun ke desa, karena banyak saudara yang sudah keluar hutan. Mereka sudah jamak dengan beras, minyak, dam mie instan.

Sementara, Orang Togutil di Desa Makahar berinteraksi lebih terbatas dengan dunia luar. Berdasarkan keterangan dari staf Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Kepala Desa Lili, sebulan sekali mereka turun ke SP 6 (wilayah transmigrasi) untuk berbelanja beberapa barang terutama garam.

Orang Tugutil keluar hutan sebagian besar mengikuti program permukiman Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari Pemerintah. Mereka mendapatkan rumah dan pendampingan untuk bisa berasimilasi dengan lingkungan baru.

Rumah Orang Tugutil
Hunian Orang Tugutil di Desa Lili, Maba Utara, Halmahera Timur. (Author provided), Author provided (no reuse)

Namun, permasalahan baru muncul. Tidak semua dari mereka mampu beradaptasi dan berasimilasi. Meskipun tinggal di perkampungan warga, mereka masih tetap berkebun di dalam hutan. Terkadang mereka berhari-hari tidak pulang untuk tinggal di hutan.

Ada beberapa Orang Tugutil yang sudah keluar hutan, tapi belum memiliki kecakapan untuk mendapatkan uang. Sementara, mereka sulit pergi ke hutan karena semakin jauh. Mereka akhirnya membuat gubuk di pinggir jalan untuk meminta uang dan makanan bagi yang melintas.

Gubuk seperti ini banyak kami temui di pinggir jalan utama di Desa Dodaga. Mereka turun di pagi hari dan kembali lagi ke huniannya di sore hari. Seringkali anak-anak balita ikut menunggu uluran tangan di gubuk.

Tidak semua proses asimilasi gagal. Ada cerita sukses dari perempuan Tugutil bernama Loriana Tiak yang keluar dari hutan untuk menempuh pendidikan tinggi.

Loriana ini dipilih oleh Orang Tugutil dan bermukim di Desa Lili, Halmahera Timur. Keluarganya bekerja sama untuk membiayai kerabat Loriana hingga meraih gelar sarjana Pendidikan Kimia dari Universitas Manado. Seusai lulus, Loriana yang menjadi sarjana pertama dari Desa Lili memilih kembali ke kampung halaman.

Saat kami temui, Loriana menyatakan cita-citanya membangun desa dengan menjadi Sekretaris Desa perempuan pertama di sana. Di sela-sela pekerjaannya, Loriana juga menyediakan waktu untuk mengajar anak-anak di desa serta aktif memberikan pelayanan kepada warga desa maupun Orang Tugutil di hutan. Ada juga Orang Tugutil di Desa Dodaga yang berkuliah jurusan sastra Inggris, kembali ke desa untuk menjadi guru.

Pentingnya memangkas stigma

Orang Tugutil di Halmahera Timur memainkan peran penting sebagai penjaga terakhir hutan tropis di Indonesia, terletak pada rentang garis Wallacea. Sayangnya, dalam menghadapi tekanan perubahan gaya hidup dan ekstraksi sumber daya, Orang Tugutil menghadapi stigma. Masyarakat acap memposisikan mereka sebagai “liyan,” entitas yang di luar pemahaman umum masa kini.

Dokumentasi tim saat penelitian di dalam hutan di Halmahera Timur. (Author provided), Author provided (no reuse)

Situasi ini menyulitkan bagi Orang Tugutil untuk diterima dan dipahami oleh masyarakat luas. Meskipun mereka berjuang untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan tradisi, pandangan negatif terus menghambat usaha mereka.

Penting bagi kita untuk melibatkan diri secara lebih mendalam, mendengarkan cerita mereka, dan memahami nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Hanya dengan pemahaman yang lebih baik dan kolaborasi yang kuat, kita dapat bersama-sama menjaga keanekaragaman hayati dan warisan budaya Orang Tugutil.

Kebijakan asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah juga harus terus ditingkatkan. Pelaksanaannya perlu mengutamakan pandangan dan kebiasaan hidup Orang Tugutil sehingga mereka lebih mudah beradaptasi dengan zaman yang berubah.


Jaslan Muchlis, SKM dari Maba, Instansi Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur, berkontribusi sebagai narasumber dalam artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now