Menu Close
Setiap riset yang melibatkan subjek manusia pasti akan punya risiko. IERP

Komite Etik Penelitian dalam riset ilmu sosial di Indonesia kurang populer, apa dampaknya?

Penelitian di bidang ilmu sosial seringkali melibatkan manusia sebagai subjek riset, baik dalam skala besar dalam penelitian kuantitatif maupun skala lebih kecil dalam riset kualitatif.

Setiap penelitian yang melibatkan manusia pasti akan memiliki risiko. Selain akan berdampak pada responden, pelibatan ini juga berpotensi mempengaruhi hasil penelitian.

Sebagai contoh, dalam penelitian mengenai kesehatan reproduksi perempuan, peneliti dapat menanyakan mengenai riwayat kehamilan responden, termasuk apakah mereka pernah mengalami keguguran.

Pertanyaan sensitif seperti ini bisa menimbulkan beban emosional dan psikologis, karena responden harus mengingat pengalaman pribadi pada masa lalu.

Sementara itu, data Islamic World Science Citation Center (ISC) menunjukkan bahwa jumlah penelitian ilmu sosial di Indonesia melonjak sekitar 25 kali lipat dari 2000 ke 2016.

Ini adalah tren positif yang perlu dipertahankan mengingat penelitian ilmu sosial seringkali berupaya menginvestigasi permasalahan kompleks, dan bukti ilmiah dari penelitian ilmu sosial kerap menjadi bahan pertimbangan pembuatan kebijakan.

Akan tetapi, ada satu aspek yang sering luput dari banyaknya penelitian di bidang ilmu sosial di Indonesia: etika penelitian dan perlindungan subjek manusia. Ekosistem riset Indonesia perlu memperkuat etika riset untuk memitigasi risiko penelitian ilmu sosial yang menggunakan subjek manusia.

Peran Komite Etik Penelitian dalam mitigasi risiko riset ilmu sosial

Dalam dunia penelitian, Komite Etik Penelitian (KEP) adalah badan yang bertugas mengkaji etika riset atas rencana penelitian dan memastikan riset berjalan sesuai dengan peraturan, kebijakan, norma, dan prinsip etika yang berlaku. Komite ini yang menerbitkan klirens etik suatu riset.

KEP sudah lama menjadi bagian dari infrastruktur penelitian pada ilmu kesehatan, akan tapi hal itu belum lazim dalam ilmu sosial.

Saat ini, basis data Kementerian Kesehatan mencatat ada 195 KEP yang bergerak di bidang kesehatan. Sementara, basis data yang sama untuk KEP ilmu sosial tidak tersedia karena belum adanya payung hukum yang mengatur KEP ilmu sosial sebagaimana KEP kesehatan. Sebagai peneliti ilmu sosial, kami juga kerap kesulitan mencari KEP yang berfokus pada ilmu sosial, sehingga kami selalu mengajukan klirens etik ke KEP kesehatan.

Ahli demografi Mayling Oey Gardiner dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dalam buku Ethics in Social Science Research in Indonesia menyebutkan “Hanya sedikit lembaga yang memiliki panduan etika penelitian. Lebih sedikit lagi yang memiliki badan etika, dan lebih sedikit lagi yang memiliki panduan khusus untuk etika penelitian subjek manusia”.

Dalam riset Mayling pada 2018, dari 160 universitas di Indonesia yang disurvei, hampir separuhnya tidak mempunyai komite etik. Sedangkan dari jumlah Komite Etik Universitas yang ada di Indonesia, hampir separuhnya tidak mempunyai badan resmi untuk menangani pelanggaran etika dan menjaga akuntabilitas komite.

Komite Etik Penelitian di bidang ilmu sosial tampak kurang populer karena mispersepsi bahwa penelitian ilmu sosial tidak seberisiko penelitian bidang kesehatan karena minimnya bahaya fisik yang mungkin terjadi.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti penelitian ilmu sosial bebas risiko.

Kebalikannya, setiap riset yang melibatkan subjek manusia pasti akan punya risiko, bukan hanya pada responden tapi juga risiko yang potensial mempengaruhi hasil risetnya.

Contoh, saat peneliti menyelidiki mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di samping pentingnya meninjau kembali jenis pertanyaan, perlu juga peneliti memastikan bahwa wawancara dilakukan secara privat, tanpa sepengetahuan pasangan dari responden.

Hal ini karena kekhawatiran akan reaksi pasangan jika mengetahui responden tengah berbicara kepada pihak luar mengenai kekerasan yang dialami.

Guna menghindari hal ini, peneliti dapat membatasi jumlah pertanyaan sensitif atau menyusun ulang pertanyaan agar responden lebih nyaman saat menjawab. Hal lain yang bisa dilakukan adalah membuat prosedur lanjutan (seperti sesi konseling) jika diperlukan.

Ini adalah alasan mengapa peneliti perlu berupaya untuk meminimalkan risiko — agar rasio manfaat dan risiko dapat dijustifikasi, dan terdapat distribusi yang adil antara manfaat penelitian dan beban partisipasi yang ditanggung oleh subjek.

Prinsip etika penelitian dan perlindungan subjek manusia

Belmont Report, sebuah laporan yang kerap menjadi acuan dalam menjalankan penelitian subjek manusia, menyebutkan bahwa ada tiga prinsip etika utama yang penting untuk diperhatikan dalam penelitian: (1) penghormatan terhadap individu (respect for persons), (2) kebermanfaatan (beneficence), dan (3) keadilan (justice).

Dalam prinsip pertama, peneliti harus menjelaskan informasi relevan mengenai penelitian kepada calon subjek sebelum meminta persetujuannya untuk berpartisipasi. Sementara prinsip kedua, peneliti perlu menerapkan prosedur untuk memitigasi risiko seperti prosedur perlindungan privasi dan kerahasiaan data.

Dan dalam prinsip terakhir, peneliti perlu memastikan tidak ada unsur eksploitasi, manipulasi, paksaan, maupun penyalahgunaan keadaan (undue influence) dalam proses rekrutmen subjek.

Proses peninjauan independen oleh KEP adalah sebuah cara untuk memastikan ketiga prinsip di atas terpenuhi, serta kepentingan peneliti dan subjek manusia dihormati.

Selain itu, peninjauan juga penting untuk dilakukan guna melindungi peneliti dari risiko yang mungkin muncul dari kegiatan penelitian seperti gugatan hukum di pengadilan.

Ketika KEP tidak dilibatkan dalam proses peninjauan dan peneliti bertanggung jawab untuk meregulasi protokol penelitian mereka sendiri, terdapat potensi konflik kepentingan yang menimbulkan risiko terhadap subjek dan peneliti. Hal ini karena posisi dan tuntutan terhadap peneliti dapat memunculkan bias yang mungkin mendorong peneliti untuk cenderung fokus menyelesaikan penelitian dan mengabaikan potensi bahaya untuk subjek.

Isu etika riset di tengah pandemi dan penggunaan internet

Pandemi COVID-19 telah memunculkan isu aspek etika penelitian. Saat pemerintah mewajibkan menjaga jarak dan membatasi bepergian, banyak ilmuwan sosial yang mengubah metode pengumpulan data menjadi survei daring atau telepon.

Pada saat bersamaan, internet sebagai alat atau subjek penelitian juga memiliki berbagai tantangan etika tersendiri.

Sebagai contoh, pada penelitian konvensional, identitas pribadi (personally-identifying information) seperti nama individu adalah rahasia yang perlu peneliti jaga. Akan tetapi, standar yang sama belum tentu berlaku untuk nama individu yang terpampang di sosial media.

Terlebih lagi, semakin populernya penelitian ilmu sosial yang menggunakan big data menambah isu etika yang perlu disiasati.

Big data akan meningkatkan kemungkinan aspek kehidupan seseorang tercatat rapih dalam sebuah dataset; bagaikan rekam jejak komprehensif mengenai kehidupan seseorang. Individu tersebut mungkin tidak pernah menyadari dan memberikan persetujuan.

Perkembangan ini menggarisbawahi perlunya melakukan eksplorasi akan persoalan etika yang bisa muncul dari penelitian di ranah digital, baik itu terkait privasi, rekrutmen subjek penelitian, persetujuan (consent), ataupun isu lainnya.

Dalam merespons tantangan etika penelitian, beberapa lembaga mulai mendirikan KEP yang dilengkapi dengan anggota berkeahlian ilmu sosial.

Salah satunya adalah Komite Etik Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI yang mulai beroperasi sejak Agustus 2021.

KEP ini berdiri sebagai upaya FEB UI melengkapi infrastruktur perlindungan subjek manusia dalam penelitian ilmu sosial dan meningkatkan standar etik penelitian di lingkungan FEB UI.

KEP LPEM FEB UI juga bertujuan merespons perkembangan global di bidang penelitian yang diwarnai oleh banyaknya donor dan jurnal internasional yang mewajibkan persetujuan etik sebagai syarat pemberian dana atau publikasi.

Dalam melakukan tinjauan, KEP LPEM FEB UI mengacu pada prinsip-prinsip Belmont Report dan regulasi lokal yang relevan seperti Pedoman Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional.

Kami berharap akan melihat lebih banyak universitas dan lembaga riset di Indonesia yang mendirikan KEP di bidang ilmu sosial ke depan, untuk mendorong praktik penelitian yang baik dan benar.

Lanskap yang paling ideal adalah ketika penelitian ilmu sosial memiliki regulasi, pedoman, sistem, dan infrastruktur pendukung sebagaimana penelitian ilmu kesehatan di Indonesia. Hal ini penting agar publik dapat merasakan manfaat optimal dari kegiatan penelitian.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now