Menu Close
Pemandangan kota Ambon. Konflik berkepanjangan di wilayah itu membuat pertumbuhan ekonomi Maluku tidak seoptimal seharusnya. Shutterstock

Konflik lokal dan ekonomi: pelajaran dari Maluku

Hampir 20 tahun berlalu sejak Indonesia menghadapi krisis sosial ekonomi yang juga diwarnai oleh konflik-konflik internal. Kajian terbaru yang saya lakukan menunjukkan bahwa perekonomian Maluku (termasuk Maluku Utara) dapat mencapai pertumbuhan yang jauh lebih tinggi - 60,3% lebih tinggi di tahun 2011 dalam estimasi saya — jika konflik internal di awal era reformasi tersebut tidak terjadi.

Indikator ekonomi yang digunakan, produk domestik bruto per kapita, dapat diterjemahkan menjadi pendapatan per kapita. Ini artinya jarak 60,3% tersebut bisa diartikan sebagai perkiraan dampak terhadap pendapatan per kapita di tahun 2011 tersebut. Karena indikator ini juga menggambarkan kinerja ekonomi secara umum, kesenjangan tersebut juga berkait dengan kegiatan bisnis dan pasar yang lebih rendah, yang juga berarti kesempatan kerja yang lebih rendah.

Pada periode 1998-2000, Provinsi Maluku (merujuk pada batas lama sebelum 1999) mencatat angka kematian yang paling tinggi yang disebabkan oleh konflik internal dibanding konflik daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan angka kematian hampir mencapai 5.000 jiwa, Maluku menyumbang separuh dari total 9.399 angka kematian dari konflik-konflik lokal di seluruh Indonesia di periode tersebut. Ditambah lagi, konflik tersebut juga menyebabkan ratusan ribu orang tercerabut dari rumahnya.

Akan tetapi, belum pernah ada perhitungan dampak konflik perekonomian Maluku sebelum kajian ini.

Cara menghitung kerugian

Menghitung kerugian yang disebabkan oleh konflik tidak mudah terutama karena menurunnya perekonomian di Maluku mungkin saja disebabkan oleh krisis finansial Asia, dan bukan oleh konflik lokal. Karena itu, kajian ini melakukan perkiraan dengan menggunakan perekonomian Maluku “sintetis” yang dirumuskan berdasar perekonomian provinsi-provinsi lain yang sama-sama merasakan krisis ekonomi tetapi tidak mengalami konflik berdarah seperti yang terjadi di Maluku.

Provinsi-provinsi tersebut dipilih bukan berdasarkan penilaian subjektif yang acak tetapi berdasarkan oleh data.

Setelah mengeluarkan provinsi-provinsi yang juga mengalami konflik tingkat tinggi, maka saya menemukan bahwa perekonomian per kapita Maluku di masa sebelum konflik dapat diwakili oleh kombinasi antara empat provinsi: Bengkulu, Sumatra Utara, Jambi, dan Sulawesi Selatan. Perbandingan perjalanan perekonomian antara Maluku sekarang dengan Maluku sintetis menunjukkan bagaimana konflik mempengaruhi perekonomian lokal.

Pada tahun 1999, kesenjangan antara Maluku sintetis dan Maluku aktual melebar ke angka yang lebih besar dari besaran perekonomian Maluku aktualnya (artinya perekonomian Maluku aktual kurang dari separuh apa yang bisa dia capai jika tak ada konflik). Kesenjangan menyempit di tahun 2000, tetapi melebar lagi di 2001-2003 sehingga Maluku aktual tidak menunjukkan tanda-tanda bisa mengejar Maluku sintetis.

Pada 2011, kesenjangan antara dua Maluku ini meningkat hingga 60,3%. Garis ini menguatkan pandangan bahwa kekerasan yang terus-menerus, termasuk insiden di tahun 2004, menjadi alasan mengapa perjalanan perekonomian riil Maluku terpengaruh cukup dalam.

Perkiraan kasar untuk 2016 menunjukkan tak banyak yang berubah dalam hal kesenjangan antara Maluku aktual dengan sintetis. Ini memperlihatkan kondisi Maluku aktual semakin stabil dalam 5 tahun terakhir tetapi tren perekonomian Maluku tetap tidak dapat mencapai potensinya bila tidak ada konflik.

Produk Regional Bruto per kapita: Maluku dan Maluku sintetis, 1975–2011 (dalam jutaan rupiah dengan harga-harga 1993)

Kajian ini menelaah faktor-faktor lain lebih dalam karena metodologinya tidak bisa menjelaskan secara langsung penyebab dari kesenjangan. Menilik wilayah-wilayah konflik lain di Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa skala dan lama konflik di Maluku telah membuat provinsi tersebut tak mampu memulihkan diri lebih cepat.

Kepercayaan bisnis yang menurun menghambat pertumbuhan

Telaah lanjutan ini melihat kondisi-kondisi yang mempengaruhi kinerja perekonomian Maluku, yang disebut sebagai penentu pertumbuhan, dibandingkan dengan versi sintetisnya.

Pada periode antara 1985-1998, kondisi antara yang sintetis dan aktual memang tidak persis sama. Tetapi tidak banyak fluktuasi di antara keduanya. Setelah konflik 1999, nilai relatif dari industri manufaktur dan infrastruktur menurun sedikit dibanding versi sintetisnya. Tetapi nilai relatif investasi dan pertambangan turun cukup tajam.

Tren ini memperlihatkan kepercayaan bisnis yang menurun tajam. Ini terutama ditunjukkan oleh fakta bahwa nilai relatif infrastruktur pelan-pelan kembali ke posisi pra-krisis setelah lima tahun. Infrastruktur didanai uang negara sebagaimana ditunjukkan oleh belanja modal pemerintah yang melesat. Tetapi investasi di sektor swasta, yang berdampak pada kegiatan perekonomian swasta, turun cukup jauh dan tidak bisa kembali pada masa sebelum konflik dan krisis.

Satu pelajaran penting dari kajian ini adalah mengakui potensi dampak dari konflik lokal di Indonesia. Ini penting menimbang persaingan elite politik lokal bisa meningkatkan ketegangan politik yang bisa berlanjut melewati kegiatan politik seperti pilkada.

Menurut laporan Cutura dan Watanabe (2004), konflik di Maluku Utara juga dipengaruhi oleh persaingan politik antara Kesultanan Ternate dan Tidore yang telah berusia panjang yang juga mempengaruhi ketegangan politik yang mewarnai pemilihan gubernur saat itu.

Banyak alasan untuk menghentikan konflik secepatnya

Meskipun telaah saya tidak bisa menyimpulkan bahwa angka-angka yang saya dapatkan didorong oleh konflik penuh kekerasan, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perekonomian Maluku mungkin saja pulih lebih cepat jika kekerasannya tidak berlangsung sedemikian lama. Konflik berkepanjangan, ditambah dengan tingkat kekerasan yang menonjol di seluruh provinsi, berdampak pada kinerja perekonomian di Maluku.

Maka, satu implikasi dari kajian ini adalah bahwa penting untuk bukan hanya mencegah konflik, tetapi memastikan ketika konflik meletus, dia tidak berlangsung lama.

Menangani konflik dengan cepat penting untuk memulihkan kepercayaan bisnis dan investasi swasta dan mencegah dampak jangka panjang pada perekonomian lokal.

Tetapi ada satu bahaya jika pemerintah pusat melakukan intervensi. Campur tangan pemerintah pusat bisa saja membuat konflik horisontal (perseteruan yang terbatas di daerah) menjadi konflik vertikal (konflik daerah dengan pusat). Maka, intervensi apa pun untuk menghentikan konflik daerah membutuhkan keterlibatan para tokoh masyarakat.


Versi lengkap dari artikel ini diterbitkan Desember 2017 di Bulletin of Indonesian Economic Studies.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now