Menu Close
President Joko Widodo mengunjungi Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow.
Presiden Joko Widodo. Ria Novosti/The Kremlin

Kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina lebih tentang keuntungan domestik, bukan kepentingan global

Banyak politikus dan tokoh publik di Indonesia yang mengklaim bahwa Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, layak mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) atas kunjungannya ke Rusia dan Ukraina baru-baru ini.

Para pendukung Jokowi meyakini bahwa ia berhak atas penghargaan itu karena telah menjadi pemimpin pertama di kawasan Asia yang mengunjungi Moskow dan Kyiv sejak konflik Rusia-Ukraina pecah pada Februari lalu.

Banyak yang berharap kunjungan tersebut dapat memfasilitasi dialog antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodmymyr Zelenskyy, langkah yang sebelumnya juga sudah dilakukan oleh banyak pemimpin negara namun gagal.

Nyatanya, pertemuan tersebut gagal dalam mewujudkan perdamaian.

Hanya sehari setelah Jokowi meninggalkan Kyiv, rudal Rusia menghantam kota Serhiivka di wilayah selatan Odesa, Ukraina, dan menewaskan 16 orang. Tak lama berselang, Kremlin mengklaim kuasa penuh atas wilayah Luhansk di Ukraina timur.

Sejak awal adanya rencana misi diplomatik Jokowi ke dua negara tersebut, banyak pakar yang sudah meragukan kapasitas Indonesia dalam menjadi perantara perdamaian dan menghentikan invasi Rusia. Benar saja, dalam banyak aspek, terlihat bahwa Jokowi hanya menggunakan momentum ini demi kepentingan politik pribadinya dan menarik perhatian domestik.

Lupakan urusan global, ini tentang kepentingan domestik

Hasil pertemuan Jokowi dengan Putin dan Zelenskyy bagi kepentingan global memang belum jelas. Namun, paling tidak, misi tersebut dapat mengakomodasi kepentingan domestik Indonesia – serta Jokowi sendiri.

Pertama, Indonesia ingin mengamankan pasokan gandumnya dari Rusia dan Ukraina.

Sebagai salah satu negara yang mengimpor gandum dari Ukraina dalam jumlah besar, Indonesia membutuhkan pasokan gandum yang stabil untuk menjaga produksi makanan berbasis gandum, khususnya untuk mie instan.

Sebagai negara dengan permintaan mie instan terbesar kedua di dunia setelah Cina, kenaikan harga mie instan di Indonesia tentunya berpotensi menjatuhkan legitimasi Jokowi di dalam negeri.

Kedua, Indonesia perlu membuktikan citra kepemimpinannya dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group 20 (G20) tahun ini.

Jokowi kembali mengundang Putin dan Zelenskyy untuk menghadiri KTT G20 di Bali pada November ini. Ia ingin kembali menegaskan bahwa Indonesia dapat mengakomodasi kepentingan negara-negara Barat namun tetap menjaga hubungan baik dengan Rusia.

Undangan kepada kedua pemimpin negara tersebut merupakan wujud kebijakan politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia, yakni merangkul semua pihak untuk menjaga keseimbangan, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan besar. Banyak pakar dan analis Hubungan Internasional yang mengkritik pendekatan ambivalen Indonesia terhadap konflik Rusia-Ukraina itu, karena dianggap tidak konsisten dengan prinsip anti penjajahan dan anti agresi Indonesia.

Jika Putin dan Zelenskyy benar-benar menghadiri KTT G20, dilengkapi dengan kehadiran para pemimpin negara Barat, Jokowi bisa mendapatkan momentum untuk membangun legacy dalam sejarah politik luar negeri Indonesia.

Ketiga, kunjungan tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi Jokowi dan pemerintahannya untuk menarik perhatian khalayak dalam negeri.

Sebagian besar media dan pemberitaan di Indonesia cenderung memuji Jokowi, bahwa ia telah membuat keputusan yang berani dalam upaya mempromosikan perdamaian – termasuk seruan untuk menerima Penghargaan Nobel Perdamaian.

Publik di media sosial beramai-ramai mengekspresikan rasa bangga terhadap Jokowi, sampai-sampai pihak yang mengkritisi pun di-bully dan disebut “tidak patriotik”.

Diplomat senior yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (AS), Dino Patti Djalal, di-bully oleh warganet setelah menyatakan keraguannya atas kunjungan tersebut.

Biro Pers Sekretariat Presiden merilis puluhan foto dan sebuah video yang kontennya dirancang untuk audiens Indonesia, menghadirkan sisi kemanusiaan dan ketulusan Jokowi sebagai seorang pemimpin yang ingin mewujudkan perdamaian.

Oleh karena itu, sulit untuk mengesampingkan anggapan bahwa tujuan Jokowi menemui Putin dan Zelenskyy tidak lebih untuk menarik perhatian publik di Indonesia dibandingkan untuk kepentingan global.

Misi yang layak dipuji, namun meragukan

Indonesia memang punya pengalaman menjadi mediator dalam konflik yang terjadi di Asia Tenggara, tetapi tidak di luar kawasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemimpin negara besar seperti Putin mau mendengarkan seruan damai Jokowi.

Sejauh ini, misi Jokowi untuk menengahi gencatan senjata kelihatannya tidak berhasil.

Di Kyiv, pertemuan Jokowi-Zelenskky tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan selain perjanjian bebas visa – warga Indonesia dapat mengunjungi Ukraina, dan sebaliknya, tanpa visa selama 30 hari.

Indonesian President Joko Widodo and Ukrainian President Volodymyr Zelenskyy
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kyiv, Ukraina. Laily Rachel/Indonesia's Presidential Secretariat Office

Sayangnya, dalam konferensi pers setelah diskusi tertutup, Jokowi mengaku menerima pesan pribadi dari Zelenskyy untuk disampaikan kepada Putin. Tak lama kemudian, Sekretaris Pers dari Kantor Presiden Ukraina membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa jika Zelenskyy memiliki pesan kepada seseorang, dia akan menyampaikannya dalam briefing publik harian.

Pada prinsipnya, sebuah pesan rahasia – khususnya antara para pemimpin negara – harus tetap menjadi rahasia. Dengan pernyataan demikian, Jokowi berpotensi kehilangan kepercayaan dari Ukraina.

Jokowi tidak punya alasan untuk mengklaim soal pesan tersebut, kecuali ia ingin memperkuat kredibilitasnya dan terlihat sebagai negosiator handal di depan rakyat Indonesia.

Di sisi lain, Kremlin justru mengklaim adanya pesan tersebut, namun mengatakan bahwa “itu bukanlah pesan tertulis”. Situasi ini dapat semakin memperburuk kredibilitas Jokowi sebagai perantara perdamaian dan memantik perpecahan antara Ukraina dan Indonesia.

Para pakar di Ukraina berpendapat bahwa misi utama kunjungan Jokowi hanya untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang mulai berpengaruh di arena global.

Akun Twitter resmi Zelenskyy, yang biasanya ia gunakan untuk menyampaikan terima kasih secara terbuka kepada banyak pemimpin negara, sama sekali tidak menyebutkan perihal kunjungan Jokowi. Ini mencerminkan kewaspadaan Ukraina tentang posisi ambivalen Indonesia dalam perang ini.

Sementara itu, kunjungan ke Moskow justru membawa hasil yang lebih bermanfaat bagi Indonesia, di antaranya adalah komitmen kerja sama dalam proyek energi nuklir dan kereta api.

Namun, Putin tampaknya memanfaatkan kunjungan Jokowi untuk strategi public relations-nya. Ia mengungkit hubungan historis antara Uni Soviet dan Indonesia, serta menyoroti kunjungan delegasi Muslim Rusia ke Indonesia baru-baru ini. Momen nostalgia dan isu agama merupakan bahasan yang dapat menarik lebih banyak simpati dari masyarakat Indonesia, yang sebagian besar memang sudah cenderung bersimpati pada Rusia.

Bahkan ketika Jokowi menyampaikan masalah krisis pangan dunia, Putin berdalih bahwa krisis tersebut disebabkan oleh sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara Barat pada Rusia – respons yang sudah dapat diprediksi.

Pernyataan Jokowi tentang komitmen Putin terhadap ketahanan pangan tidak sesuai dengan pernyataan Putin yang menegaskan bahwa Rusia siap untuk hanya memasok produk pertaniannya ke negara yang ‘bersahabat’, seperti Indonesia.

Kesimpulannya, sulit untuk mengatakan bahwa kunjungan tersebut akan berdampak positif dalam jangka pendek dalam kaitannya dengan perang di Ukraina.

Indonesian President Joko Widodo visits Russian President Vladimir Putin in Moscow.
Presiden Joko Widodo berjabat tangan dengan Presiden Vladimir Putin dalam kunjungannya ke Moskow. Ria Novosti/The Kremlin

Bagaimana kelanjutannya?

Jokowi telah beberapa kali menekankan bahwa Indonesia tidak memiliki kepentingan apapun selain mewujudkan perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Tetapi, tanpa upaya perdamaian lanjutan, seperti penunjukkan utusan khusus untuk menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina, perdamaian akan tetap sulit dicapai.

Legacy Jokowi di dalam negeri mungkin akan aman jika harga pangan stabil, tetapi legacy beliau dalam kancah politik luar negeri, terutama jika ingin dianggap sebagai pemimpin global seperti Sukarno, masih diragukan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now