Menu Close
Mahasiswa dari Queensland University of Technology (QUT) di Australia melakukan Tari Jaranan di Surabaya sebagai bagian dari program musim panas kampus tersebut pada tahun 2018. (ANTARA FOTO/Moch Asim)

Maraknya penutupan program bahasa Indonesia di berbagai kampus Australia akan lemahkan hubungan kedua negara

Universitas adalah aktor penting dalam hubungan Australia dengan Indonesia.

Institusi pendidikan tinggi Australia menerima ribuan mahasiswa Indonesia dalam berbagai program dan membantu mewujudkan hubungan yang memperkuat relasi kedua negara.

Tidak hanya itu, kampus di Australia juga berkontribusi besar melalui pengadaan program bahasa Indonesia yang membantu mahasiswa mereka mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia tingkat lanjut.

Itulah mengapa keputusan dari La Trobe University di Melbourne baru-baru ini untuk menutup program bahasa Indonesia mereka adalah kabar yang menyakitkan.

Keputusan tersebut terjadi meskipun sudah ada kampanye tahun lalu yang menentang. Penutupan ini juga menyusul penutupan program bahasa Indonesia di berbagai kampus lain seperti di Western Sydney University di New South Wales.

Kampus-kampus tersebut menyebutkan penutupan ini didorong oleh keterbatasan keuangan akibat COVID-19 dan turunnya jumlah mahasiswa internasional.

Namun, penutupan ini juga akibat minimnya dukungan dari pemerintah pusat dan negara bagian di Australia untuk berbagai program sastra dan budaya, terutama bahasa negara-negara Asia.

Akibat tutupnya program bahasa Indonesia, kampus di Australia berpotensi kehilangan aset akademik maupun kebudayaan.

Berbagai universitas kami membangun citra dan reputasi di kawasan ini lewat akademisi yang mengajar dan meneliti tentang budaya, sejarah, ekonomi, dan masyarakat Indonesia. Sementara itu, lulusan kampus Australia yang belajar bahasa dan budaya Indonesia juga merupakan salah satu duta sosial-budaya terbaik Australia untuk Indonesia.

Keputusan yang tidak bijaksana

Saya mengalami kekecewaan ini secara langsung karena saya pernah mengajar di suatu kampus yang juga memutuskan untuk membuat keputusan penutupan yang tidak bijaksana semacam ini, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Di akhir 2014, saya bergabung dengan University of New South Wales hanya setahun setelah mereka menutup program bahasa Indonesia pada kampus mereka di Sydney (program tersebut masih berjalan di kampus Canberra).

Sebagai seorang dosen, saya sangat frustrasi ketika menjumpai mahasiswa yang sangat bersemangat untuk belajar tentang Indonesia, tapi tidak memiliki kesempatan mempelajari bahasanya.

Beberapa mahasiswa memang bisa mengambil kursus alternatif dari Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) – konsorsium pendidikan tinggi yang menawarkan kesempatan untuk belajar di Indonesia.

Namun, program ACICIS saat ini dilaksanakan secara daring akibat COVID-19, dan sebagian besar pun hanya berjangka pendek.

Mahasiswa ACICIS menghadiri orientasi sebelum memulai program kunjungan negara di Indonesia pada awal 2020, sebelum pandemi. Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies, ACICIS, Author provided (no reuse)

Semangat tinggi dan momentum yang dibawa oleh mahasiswa setelah selesai menjalani program ACICIS, lalu pulang ke Australia, dengan mudah menghilang karena tidak ada kesempatan untuk melanjutkan pembelajaran bahasa mereka di kampus.

Selain itu, saya juga terkadang frustrasi ketika melakukan supervisi proyek riset tentang Indonesia karena yang paling jauh yang bisa dilakukan mahasiswa adalah mengandalkan sumber sekunder dalam bahasa Inggris.

Ketidakmampuan mereka untuk membaca sumber berbahasa Indonesia membuat interaksi mereka dengan negara tersebut cukup dangkal dan terlalu bergantung pada karya akademisi lain.

Minimnya visi dan komitmen

Berbagai penutupan program bahasa Indonesia ini menunjukkan minimnya visi dan kepemimpinan dari manajemen universitas di Australia.

Tapi, ini juga menunjukkan bahwa berbagai insentif yang saat ini ditawarkan oleh pemerintah Australia belum cukup bagi kampus untuk mempertahankan berbagai program bahasa mereka.

Dalam kebijakan baru Australia tentang pendanaan pendidikan tinggi yang bernama “Paket Lulusan Siap Kerja” (Job-Ready Graduates Package), misalnya, mata kuliah bahasa dimasukkan sebagai prioritas pendidikan – meskipun tidak lagi didaftarkan secara spesifik sebagai “bahasa strategis nasional” seperti sebelumnya.

Perjanjian pendanaan melalui “Skema Hibah Persemakmuran” (Commonwealth Grant Scheme) milik pemerintah pusat juga mewajibkan universitas untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan menteri pendidikan Australia terkait rencana penutupan program bahasa.

Walau ada berbagai aturan tersebut, niat dari pemerintah Australia untuk mencegah penutupan program bahasa strategis sekaligus mempertahankan ikatan budaya dengan Indonesia nampaknya sangat minim.


Read more: Axing protection for national strategic languages is no way to build ties with Asia


Pada tahun ini, misalnya, Australia telah menyaksikan penutupan program bahasa Cina dan Jepang oleh Swinburne University of Technology di Melbourne. Kini, La Trobe University juga memutuskan menutup program bahasa Indonesia mereka, menyusul keputusan serupa dari Western Sydney University.

Untungnya, Murdoch University telah menunda penutupan program bahasa Indonesia mereka.

Murdoch University berharap tingginya permintaan pengajaran bahasa Indonesia di berbagai sekolah di Australia Barat - di mana jumlah mata pelajaran tersebut tumbuh pesat berkat dukungan pemerintah negara bagian - pada akhirnya akan mendorong siswa untuk tertarik belajar bahasa Indonesia saat mereka kuliah.

Membangun relasi Australia-Indonesia bukanlah hal yang rumit

Saat ini, pemerintah Australia sedang mengadakan konsultasi dengan ahli pendidikan, mahasiswa, dan universitas untuk merumuskan strategi pendidikan internasional mereka yang baru.

Diskusi yang tengah berjalan menunjukkan adanya kebutuhan bagi universitas untuk tidak hanya membuat mahasiswa mereka lebih beragam, tapi juga menawarkan pengalaman belajar yang “khas Australia”.

Bagian dari pengalaman khas ini, misalnya, adalah kedekatan Australia dengan Indonesia. Ini memberikan peluang bagi mahasiswa Australia untuk bisa secara kritis mempelajari berbagai isu yang penting bagi kawasan Indo-Pasifik.

Sekelompok mahasiswa ACICIS belajar membuat batik mereka sendiri di Yogyakarta pada tahun 2019. Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies, ACICIS, Author provided (no reuse)

Universitas tidak semestinya menggunakan pandemi sebagai alasan untuk menutup program bahasa Indonesia mereka – pendaftar program tersebut tentunya akan memiliki jumlah yang lebih sedikit ketimbang, misalnya, mata kuliah wajib tahun pertama yang diajarkan dalam kelompok yang besar.

Bahkan, program bahasa di Swinburne University memiliki jumlah pendaftar yang sangat banyak, yang berarti penutupan program mereka tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemampuan finansial.

Sebaliknya, manajemen kampus mereka mengindikasikan adanya rencana memprioritaskan mata kuliah sains dan teknologi. Namun, seharusnya mereka bisa melakukan ini tanpa mengorbankan program bahasa dan budaya.

Membangun hubungan yang kuat dengan Indonesia bukanlah hal yang rumit. Aspek penting dalam membangun relasi erat dengan negara lain adalah kemampuan warga Australia untuk memahami dan berinteraksi dengan bahasa maupun budaya masyarakat tersebut.

Ketika universitas Australia menutup program bahasa mereka, artinya mereka mengabaikan peran kelembagaan mereka yang krusial dalam mempromosikan ikatan kuat dengan Indonesia. Di masa depan, ini bisa melukai hubungan Australia-Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now