Menu Close
Ilustrasi restorasi karang. (Shutterstock)

Melihat lebih dekat masyarakat pesisir ‘melawan’ pemanasan laut dengan memulihkan karang

Tulisan ini adalah bagian kedua dari serial peliputan mendalam berbasis sains yang didukung hibah Environmental Reporting from Asia-Pacific Island Countries oleh Internews’ Earth Journalism Network. Bagian pertama dapat dibaca di sini.

Sukding, penghuni kawasan konservasi perairan Gili Matra mengisahkan kenangan pahitnya merusak terumbu karang di perairan dangkal sebelah timur Gili Air–satu dari tiga pulau Gili Matra di Nusa Tenggara Barat. Saat itu, dia–yang masih kecil dan belum memahami manfaat terumbu karang—diajak sang ayah untuk merintis budi daya rumput laut.

Alih-alih meraup cuan, usaha Sukding dan ayahnya gagal total. Terumbu karang di tempat yang dirusaknya juga tak pernah tumbuh lagi, sehingga area tersebut sepi dari ikan-ikan.

Yang tinggal adalah penyesalan. Semakin ke sini, Sukding menyadari bahwa kehidupan masyarakat Gili Matra sangat tergantung dengan ekosistem karang yang sehat. Apalagi kawasan ini juga kondang dengan keelokan terumbu karangnya.

Saat puncak musim liburan (Juli-Oktober), kawasan ini dipadati wisatawan sampai seribu orang per hari. Kebanyakan dari mereka datang untuk menikmati keindahan terumbu karang Gili Matra dengan snorkelling ataupun diving. Sekitar 52% dari penduduk, berdasarkan data Desa Gili Indah 2019 (tidak dipublikasi), bergantung pada sektor pariwisata yang meliputi hotel, restoran, toko, hingga jasa tur.

Situasi kini berbalik. Sukding aktif terlibat dalam berbagai aktivitas pemulihan terumbu karang di Gili Matra. Bersama belasan warga, Sukding beberapa kali membuat terumbu buatan, sampai menyelam untuk memasang terumbu tersebut di kedalaman laut. “Saya juga menjaga agar aktivitas saya dan teman-teman di sini tidak menghancurkan karang,” ujar Sukding, nelayan sekaligus pelaku jasa pariwisata yang kini berusia 42 tahun.

Beberapa tahun belakangan, kawasan Gili Matra diramaikan dengan aksi restorasi ekosistem terumbu karang yang berbasis masyarakat. Misalnya, pemulihan karang dengan penanaman karang sehat langsung di ekosistem karang alami oleh Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Gili Matra. Ada juga kelompok Yayasan Gili Matra bersama, organisasi lokal yang didedikasikan untuk penelitian konservasi perairan di Gili Matra.

lokasi pembibitan karang proyek restorasi di Gili Matra. (Cakra/Yayasan Gili Matra Bersama)

The Conversation Indonesia pun berkesempatan mengamati salah satu lokasi restorasi di sebelah timur Gili Matra oleh Yayasan Gili Matra Bersama. Di kedalaman lima meter di bawah permukaan laut, kami menyelam untuk melihat fasilitas nursery alias pembibitan berupa empat tiang besi yang terikat di atas pemberat. Selayak pohon, masing-masing tiang memiliki dua hingga tiga ‘dahan’ dengan potongan karang-karang kecil yang tergantung nan berjajar rapi.

Tak jauh dari situ, tampak pula beberapa terumbu buatan berbentuk rangka baja segi enam dan persegi panjang yang dipadati karang berukuran lebih besar. Kami juga melihat terumbu tersebut dipadati karang-karang berbentuk panjang seperti jari. Ada pula yang melebar seperti telapak tangan.

Direktur Yayasan, Cakra Adiwijaya, mengatakan pekerjaan restorasi oleh lembaganya dimulai pada tahun 2021. Mereka menggunakan spesies karang sehat jenis Acropora–terkenal dengan pertumbuhannya yang pesat untuk memulihkan ekosistem karang. Sepekan sekali, mereka rutin membersihkan karang sembari mengumpulkan data spesies lain di sekitarnya, seperti ikan kerapu, penyu sisik, dan hiu sirip putih.

“Seminggu sekali kami melakukan penyelaman untuk menjaga proyek kami dan melakukan survei. Kami perlu memastikan pertumbuhan karang kami sehingga dapat memperkaya ekosistem karang di Gili Matra,” kata Direktur Yayasan, Cakra Adiwijaya, dalam wawancara kepada The Conversation Indonesia, Agustus lalu.

Menurut studi oleh peneliti karang Universitas Padjadjaran, Tries Blandine Razak, Gili Matra adalah kawasan yang marak proyek pemulihan ekosistem karang. Selama 2004 - 2020, ada sekitar 18 aktivitas restorasi karang di Gili Matra.

Pegiat penelitian konservasi dan restorasi ekosistem perairan, Yayasan Gili Matra bersama. (Cakra/Yayasan Gili Matra Bersama), Author provided (no reuse)

Cakra mengatakan, usaha restorasi banyak dilakukan warga karena kesehatan dan luas tutupan karang di Gili Matra semakin menurun. Tiga kejadian pemutihan karang massal karena pemanasan suhu laut pada 1998, 2010, dan 2016 membuat luas karang di kawasan konservasi ini menyusut hingga tinggal 247 ha. Tekanan juga bertambah karena pariwisata massal yang berlangsung di Gili Matra sejak dekade 1990-an.

Walau begitu, usaha pemulihan karang yang dilakukannya berkejaran dengan waktu. Riset terbaru oleh tim yang dipimpin peneliti dari University of Edinburgh, Laurence De Clippele, mengungkapkan perubahan iklim dapat mengakibatkan pemutihan karang parah (annual severe bleaching) di 161 dari total 196 kawasan konservasi laut di Indonesia setiap tahun.

Gili Matra adalah salah satu lokasi yang diprediksi terkena pemutihan parah tahunan paling awal, yaitu 2026.

Pemulihan di tengah pemanasan

Pemanasan laut akibat perubahan iklim amat memengaruhi hewan karang, apalagi yang masih kecil seperti yang tumbuh di lokasi restorasi.

Cakra menceritakan pada Juni lalu, dia mendapati terumbu karang di salah satu titik restorasi mati karena penyakit skeletal eroding band. Penyakit ini memiliki gejala karang memutih lalu disertai bintik-bintik hitam-–diduga akibat tak tahan panas.

Foto karang yang terkena penyakit ‘skeletal eroding band’ di lokasi penumbuhan karang Han’s Reef Gili Air Lombok pada Mei 2023. (Cakra/Yayasan Gili Matra Bersama)

Saat itu, menurut Cakra, suhu rata-rata bulanan di perairan Gili matra mencapai 30°C atau lebih tinggi dari suhu rata-rata sekitar 28°C.

“Jadi dia (karang) stres dulu karena suhu terus dia kena penyakit,” tutur Cakra.

Para peneliti Yayasan Gili Matra pun memutar otak. Hingga terpikirlah satu solusi yakni pemindahan terumbu buatan ke lokasi yang lebih dalam.

Cara ini dianggap Cakra dapat dilakukan karena timnya mengamati karang yang sakit berada di perairan dangkal, sekitar lima meter di bawah permukaan laut. Lokasi ini lebih banyak menerima panas matahari.

Sementara itu, karang di tempat yang lebih dalam (sepuluh meter di bawah permukaan) cenderung sehat. Cakra menduga ini terjadi karena lokasi tersebut menerima panas matahari lebih sedikit.

Pakar terumbu karang dari Universitas Mataram, Imam Bachtiar, mengapresiasi maraknya usaha masyarakat di kawasan Gili Matra untuk memulihkan karang. Namun dia mengingatkan, usaha restorasi kebanyakan menggunakan terumbu karang berjenis acropora yang cepat bertumbuh. Kelemahannya, jenis ini sangat rentan terhadap panas.

Gili Matra juga ditinggali jenis karang yang tahan panas seperti Montipora dan Stylophora. Namun, Imam mengatakan keduanya merupakan spesies yang pertumbuhannya lambat, sehingga kurang cocok untuk proyek restorasi.

“Kalau bleaching tahunan, karang (yang dipulihkan) tidak sempat tumbuh, Kita tidak bisa transplantasi. Akan mati semua. Satu-satunya cara adalah mencari galur karang tahan panas,” ujar Imam.

Alternatif sumber rezeki

Selain memulihkan karang, masyarakat Gili Matra juga mengupayakan pencarian sumber penghidupan alternatif untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap sektor pariwisata.

Usaha tersebut terpecut saat pandemi COVID-19, yang dimulai oleh para perempuan.

Warga dusun Gili Air, Rohanisa, 30 tahun, menceritakan saat itu sektor pariwisata sedang tiarap karena pembatasan sosial.

Pada tahun 2020, kunjungan wisatawan ke Gili Matra turun hampir 80%, sesuai data pemerintah setempat.

Warga desa kemudian beramai-ramai kembali melaut untuk memenuhi kebutuhan. Imbasnya, pasokan ikan melimpah tapi harganya menjadi murah.

Bak gayung bersambut, Dusun Gili Air kedatangan pekerja dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program–Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) yang tengah merencanakan program ekonomi berkelanjutan di Gili Matra.

COREMAP-CTI adalah program pelestarian karang dan pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia yang dikerjakan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Kelompok Putri Bahari sedang menjalani pelatihan pengolahan ikan menjadi abon oleh COREMAP CTI. (COREMAP-CTI)

Petugas itu menyarankan masyarakat menggagas ekonomi alternatif untuk menopang pendapatan rumah tangga selain dari pariwisata. Setelah berdiskusi dengan ibu-ibu dari Gili Matra, lahirlah ide untuk membuat usaha produksi abon ikan.

COREMAP-CTI kemudian membantu pelatihan pengolahan ikan menjadi abon bagi perempuan dusun Gili Air. Mereka, bersama pemerintah Kabupaten Lombok Utara, juga turut menyediakan peralatan pengolahan ikan. Akhirnya dimulailah produksi abon oleh belasan perempuan Gili Air pada 2021.

Hingga saat ini, belasan perempuan di Gili Matra mampu mengolah 35 kg ikan menjadi abon setiap dua kali dalam sepekan. Produk mereka dikirimkan ke berbagai daerah, dari Lombok sampai ke Jakarta.

“Kebanyakan permintaannya dari pesanan,” ujar Rohanisa, yang juga Ketua kelompok produsen abon yang bernama Putri Bahari ini.

Kini, sektor pariwisata di Gili Matra kembali ramai. Namun, kegiatan produksi abon masih berjalan. Aktivitas mereka juga tak bergantung dari hasil tangkapan nelayan Gili Matra.

Andaipun pasokan dari nelayan seret, para perempuan akan mencari pasokan ikan alternatif di pasar sekitar pesisir Lombok Utara.

Kegiatan pengolahan rumput laut Sandu Care Nusa lembongan Bali. (Ni Luh Putu Wira Astuti)

Selain di Gili Matra, usaha serupa juga dilakukan warga kampung produsen rumput laut di Nusa Lembongan, Bali. Nusa Lembongan termasuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Nasional Nusa Penida– yang diprediksi akan mengalami pemutihan karang pada 2030.

Inisiator usaha ini adalah Ni Luh Putu Wira Astuti. Bersama suaminya, Luh memulai usaha pengolahan rumput laut menjadi sabun dan pembersih tangan organik sejak akhir 2019.

Selain untuk menyiasati perubahan lingkungan, usaha ini juga bertujuan untuk menyerap produksi rumput laut petani dengan harga yang pantas di Nusa Lembongan. “Harga rumput laut bisa turun karena fluktuasi harga karena tengkulak. Kalau panen mereka (tengkulak) menurunkan harga,” tutur Luh.

Luh telah memasarkan produknya ke luar daerah seperti Bali dan Yogyakarta. Saat ini, usaha yang bernama Sandu Care tersebut dapat memproduksi 60 - 120 liter sabun per hari.

Dia mengharapkan produk sabun organiknya terus berkembang agar menambah pekerjaan alternatif bagi warga Nusa Lembongan, sekaligus menolong petani rumput laut. “Kami mengarah ke skincare semua: sunscreen. day cream, moisturiser, dan sebagainya yang ramah lingkungan agar melindungi kekayaan bahari Nusa Penida,” kata Luh.

Direktur organisasi pemantauan karang Reef Check Indonesia, Derta Prabuning, mengamini usaha yang dilakukan perempuan di Gili Matra dan Nusa Lembongan merupakan bagian penting strategi masyarakat untuk beradaptasi apabila terumbu karang tak bisa dipulihkan lagi.

Langkah ini juga dilakukan di beberapa wilayah seperti Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Meskipun tidak mengalami lonjakan pariwisata yang sama, penduduk di pulau masih mengandalkan ekosistem karang sebagai rumah berharga bagi ikan, sumber makanan, penjaga kualitas air, dan pencegahan erosi.

“Kalau memang restorasi gak mencukupi, kena bleaching dan mati, butuh langkah selanjutnya yaitu masuk ke adaptasi di level sosial ekonomi,” kata Derta.

Koordinator Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang Wilayah Kerja Gili Matra, Martanina, mengatakan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan menjadi salah satu fokus pemerintah agar masyarakat meraup berkah kawasan konservasi selain pariwisata.

Selain pengolahan ikan, dia mengatakan pemerintah—melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan—juga memberi bantuan kapal dan alat tangkap untuk membantu nelayan kecil Gili Matra mencari ikan. Para nelayan juga mendapatkan pelatihan perikanan berkelanjutan dan rehabilitasi karang.

“Harapan kami, masyarakat dapat melakukan secara mandiri pengawasan, monitoring, dan pemeliharaan terumbu karang untuk membantu pemerintah mengelola kawasan konservasi pulau Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan,” ujar dia.

Terlepas dari segala inisiatif yang dilakukan masyarakat, Sukding berharap pemerintah tetap merumuskan solusi jangka panjang, tidak hanya bantuan jangka pendek, untuk mencegah kerusakan ekosistem karang di Gili Matra akibat perubahan iklim.

“Saya tidak punya banyak pengetahuan tentang bagaimana menghadapi situasi ini dalam jangka panjang. Tapi yang jelas kami ingin cucu-cucu kami terus menikmati terumbu karang yang sehat dan mendapatkan manfaat darinya, seperti yang saya lakukan ketika saya masih kecil. ” dia berkata.

Jurnalis lepas Moyang Kasih Dewimerdeka turut berkontribusi sebagai penulis dalam artikel ini.

Sukding (warga Dusun Gili Air); Cakra Adiwijaya (Direktur Yayasan Gili Matra Bersama); Martanina (Koordinator Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang Wilayah Kerja Gili Matra); Derta Prabuning (Direktur Yayasan Reef Check Indonesia); Ni Luh Putu Wira Astuti (pendiri Sandu Care); dan Rohanisa (Ketua Kelompok Putri Bahari Gili Matra) turut diwawancara untuk kepentingan penulisan artikel ini.

-

(CATATAN EDITOR: Paragraf 14 telah mengalami perbaikan pada 13 November 2023 Pukul 14.47 WIB. Sebelumnya tertulis “Riset terbaru oleh tim yang dipimpin peneliti dari University of Edinburgh, Laurence De Clippele, mengungkapkan perubahan iklim dapat mengakibatkan pemutihan karang parah (annual severe bleaching) di 161 dari total 196 kawasan konservasi laut di Indonesia setiap tahun.” Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.)

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now