Menu Close
(Wibisono Ari/Shutterstock)

Mengapa debat kusir polusi udara Jakarta harus diakhiri dan kita fokuskan usaha bersama pada 3 hal ini

Udara kota Jakarta dan sekitarnya memang benar-benar kotor. Ini merupakan fakta kita temui, bukan hanya dari hasil pengukuran kualitas udara, tapi dari lonjakan kasus gangguan pernapasan di masyarakat enam bulan belakangan.

Walau begitu, ada saja dalih yang dilontarkan pemerintah untuk mengelak dari tanggung jawab mereka untuk mengendalikan polusi udara. Misalnya, pemerintah mengatakan alat ukur kualitas udara yang digunakan pihak swasta tidak memenuhi standar. Terbaru, pemerintah DKI Jakarta juga berencana menghentikan kegiatan stasiun pengukuran udara yang tidak berizin bersama Kepolisian.


Read more: Mengatasi polusi udara Jakarta secara efektif: belajar dari Beijing


Salah satu pihak non-pemerintah yang mengukur kualitas udara juga berupaya membela diri. Perdebatan ini kemudian dikipas-kipasi oleh lembaga lainnya sehingga situasi kian panas.

Sayangnya, perdebatan ini membuat kita sedikit berpaling pada masalah sebenarnya, yaitu bagaimana memperbaiki kualitas udara di Indonesia, khususnya Jabodetabek. Sebab, pengukuran kualitas udara hanya salah satu dari sekian banyak langkah yang harus kita lakukan.

Lantas, apa yang seharusnya pemerintah dan masyarakat lakukan untuk mengatasi debat kusir yang tak berujung soal polusi udara serta bertindak bersama? Ada setidaknya tiga hal, menurut saya, yang bisa dilakukan.

1. Informasi udara yang terbuka

Keterbukaan informasi adalah fondasi dalam mengatasi polusi udara. Sayangnya, acap kali data kualitas udara versi pemerintah dan maupun lembaga non-pemerintah seolah saling bertentangan.

Hal ini menciptakan ketidakpastian dan perdebatan yang tak berujung.

Petugas sedang mengurus sensor kualitas udara di Jakarta. (Jakarta.go.id)

Jika dicermati, permasalahan pertama dari situasi ini adalah stasiun ukur yang masih sedikit. Berdasarkan situs pemantauan kualitas udara versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ispu.menlhk.go.id, hanya ada 17 stasiun ukur milik pemerintah di wilayah Jabodetabek, dari total 68 stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan mahalnya pengadaan alat dan kesiapan sumber daya untuk dapat mengoperasikan dan merawatnya.

Pihak lainnya kemudian mencoba mengisi keterbatasan tersebut dengan pemasangan ratusan sensor berbiaya murah (low-cost sensor) di Jabodetabek.

Sayangnya, publik masih belum mendapatkan informasi sejauh mana sensor ini lulus uji kinerja berdasarkan standar di Indonesia. Kita juga tidak mengetahui bagaimana proses kalibrasi dan pemeriksaan berkala di laboratorium dan uji kolokasinya (tes kinerja sensor dan pembandingan datanya dengan alat sensor utama di lapangan).

Tanpa informasi seputar hasil pengujian di atas, akan sulit bagi kita memastikan kesahihan data hasil pengukuran sensor-sensor berbiaya murah tersebut.

Selain itu, penempatan sensor berbiaya murah harus memperhatikan persyaratan pemasangan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Misalnya, dengan memperhatikan stabilitas aliran udara jika ditempatkan di rumah-rumah ataupun tiang penyangga lainnya. Sebab, pemasangan sensor di lokasi yang dekat sumber polutan lainnya, seperti pembakaran sampah terbuka atau di lokasi yang kerap terpapar asap rokok, juga bisa mempengaruhi validitas datanya.

Untuk itulah keterbukaan informasi seputar data hasil sensor pemerintah ataupun non-pemerintah amatlah penting. Pemerintah harus mengakui bahwa stasiun pengukuran udara mereka terbatas. Sementara, pihak non-pemerintah juga harus memastikan alat mereka kredibel untuk mengukur kualitas udara dan publik mendapatkan informasi memadai soal ini.

Harapannya, data-–dari alat ukur yang valid dan lulus uji standar–-bisa diakses publik dan dapat dibandingkan secara langsung dalam forum bersama yang terbuka.

Forum ini perlu dibuat untuk sebagai bentuk kerja sama lintas sektor mengatasi polusi udara, bukan cuma pemerintah ataupun swasta saja. Kerja sama bahkan tak hanya dilakukan untuk perbandingan data, tapi juga pengujian dan pemasangan alat ukur bersama-sama.

2. Menelusuri jejak pencemar

Langkah selanjutnya adalah identifikasi sumber polutan dengan lebih akurat.

Polusi udara tidak hanya berasal dari sektor transportasi. Fokus penanganan hanya pada satu sumber polusi merupakan pemikiran yang sempit sehingga membatasi upaya kita untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.

Data menunjukkan rata-rata konsentrasi partikel debu berukuran 2,5 mikron (PM2.5) di Pulau Jawa melebihi baku mutu udara tahunan. Partikulat yang mengandung logam berat, black carbon, dan sulfur tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan transportasi.


Read more: Dampak polusi udara bagi kesehatan mental kita: dari depresi hingga bunuh diri


Selain PM2.5, PLTU yang tersebar di Pulau Jawa juga melepaskan gas SO2 atau sulfur dioksida–emisi yang juga dihasilkan sektor industri dan transportasi.

Walau begitu, kita masih membutuhkan kajian ilmiah terkait seberapa besar emisi dari sektor ini memengaruhi kualitas udara Jakarta.

Pemerintah dapat bekerja sama dengan para akademikus untuk membuat kajian ini agar penanganan polusi udara lebih terarah dan efektif langsung ke sumbernya.

3. Evaluasi komprehensif: memberikan insentif untuk perubahan

Setelah mengidentifikasi, langkah berikutnya adalah mengevaluasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar udara dengan menggunakan pendekatan reward and punishment atau penghargaan dan hukuman.

Contoh salah satu zona rendah emisi di Glasgow, Skotlandia. (Thomas Nugent/Geograph), CC BY-SA

Pemerintah dapat memberikan penghargaan dan insentif bagi sektor-sektor yang terbukti dapat meredam pencemaran udara. Berbagai insentif untuk kendaraan listrik dapat menjadi langkah awal untuk penerapan kebijakan reward ini.

Sebaliknya, pemerintah harus menegakkan peraturan, memberi sanksi ataupun disinsentif bagi sektor-sektor yang berkontribusi terhadap pencemaran udara. Sebagai contoh, kota-kota di Eropa telah menerapkan zona rendah emisi yang memberlakukan larangan kendaraan beremisi tinggi di wilayah pusat kota.

Pemerintah Jakarta sebenarnya sudah menerapkan kebijakan serupa di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Kendati demikian, kebijakan ini masih belum efektif. Penerapannya juga perlu diperluas ke kawasan-kawasan padat kendaraan lainnya.

Selain mengkaji ulang kebijakan, pemerintah perlu mempertimbangkan faktor ISPA saat mengevaluasi kualitas udara di suatu daerah. Proses ini penting agar kita bisa melihat kembali: sejauh mana indeks kualitas udara pemerintah sudah mencerminkan keadaan sebenarnya?

KLHK mengklaim kualitas udara terus membaik. Padahal, bersamaan dengan itu, angka infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)–yang diduga akibat perburukan kualitas udara–justru naik.

Ini terjadi terutama di musim kemarau. Setiap nilai konsentrasi rerata harian dari PM2.5 yang melebihi baku mutu akan berakibat terhadap kesehatan masyarakat.Salah studi di Jakarta juga menjelaskan hubungan kualitas udara berkaitan dengan penyakit pernafasan (ISPA).


Read more: Bias kota dalam solusi mobil listrik mengatasi polusi udara Jakarta


Selain melihat kesesuaian indeks, evaluasi juga penting untuk menentukan seberapa efektif langkah pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan. Kajian semacam ini telah dilakukan di Quito, Ekuador, oleh tim peneliti dari Ekuador, Belanda, dan Amerika Serikat pada 2018.

Kita perlu mendesak penilaian yang lebih holistik dan komprehensif terhadap kualitas udara dan lingkungan. Peningkatan angka dalam IKU tidak boleh menjadi jaminan bahwa udara yang kita hirup benar-benar bersih. Penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari polusi udara terhadap ekosistem dan kesehatan manusia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now