Menu Close
BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal.
Penambang sulfur di wilayah Kawah Ijen, Jawa Timur. Beragam jenis pekerjaan informal membuat pekerja kerap tak terlacak BPJS Ketenagakerjaan. Denis Moskvinov/shutterstock

Mengapa pekerja informal kerap luput dari BPJS Ketenagakerjaan? Ini strategi untuk memperluas jaminan sosial.

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini kami terbitkan ulang sebagai bagian kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.


Isu soal kemiskinan dan kerentanan menjadi salah satu dari lima topik yang dianggap paling mendesak oleh para responden dalam Survei Agenda Warga yang diadakan sepanjang paruh kedua 2023. Utamanya, isu mengenai keamanan kerja dan jaminan sosial menjadi bahasan yang banyak mendapat sorotan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan telah mencanangkan target 70 juta peserta aktif pada 2026. Jumlah ini sekitar dua kali lipat dari jumlah peserta aktif saat ini yang sebanyak 35,86 juta.

Optimisme BPJS Ketenagakerjaan ini tentu patut didukung, meskipun menghadapi tantangan berat khususnya dalam menggaet peserta di sektor informal.

Sebanyak 59,31% tenaga kerja Indonesia adalah pekerja Informal. Jumlah ini setara dengan 80,24 juta orang. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 6,5 juta dari total pekerja informal yang terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Tulisan ini hendak memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya BPJS Ketenagakerjaan melindungi pekerja informal di Indonesia.

Penyebab pekerja informal tak terlindungi BPJS

Pekerja informal di Indonesia mencakup berbagai kelompok orang yang bekerja tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Contohnya bervariasi. Mulai dari pekerja kontrak, pekerja rumah tangga, pekerja mandiri (petani dan nelayan), pekerja seni, juru parkir, pemandu wisata, tenaga pendidikan di pesantren, pedagang kaki lima, hingga pekerja kemitraan (ojek online).

Mereka biasa disebut sebagai kelompok Bukan Penerima Upah (BPU) oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Jika mengikuti definisi Badan Pusat Statistik (BPS), tiga ciri utama dari BPU ini adalah pekerjaan mereka bersifat mandiri, tidak berbadan hukum, dan memiliki sistem pembayaran yang tidak tetap. Akibatnya, pekerja informal seringkali tidak memiliki akses ke jaminan sosial atau perlindungan tenaga kerja yang sama dengan pekerja formal.

Beberapa faktor dan permasalahan membuat BPU belum terlindungi oleh BPJS ketenagakerjaan.

Mengapa tenaga informal tak terlindungi BPJS Ketenagakerjaan
Olahan penulis, Author provided (no reuse)

Pertama, sektor informal belum semua diakui, diatur, dan dilindungi secara resmi oleh regulasi pemerintah. Sektor informal ini seringkali tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, tidak memiliki izin usaha, dan tidak masuk dalam sistem perpajakan. Akibatnya, mereka tidak terjangkau oleh program perlindungan sosial yang disediakan oleh negara.

Sampai saat ini, data pasti tentang jumlah dan sebaran pekerja informal ini masih menjadi tanda tanya. Berbeda dengan pekerja formal, pekerja informal jauh lebih dinamis dan sulit dipetakan. Pekerja informal bisa berpindah-pindah pekerjaan dan lokasi bekerja dalam waktu yang sangat cepat.

Ketiadaan data pekerja informal ini tentu menyebabkan absennya data semesta BPJS Ketenagakerjaan yang pasti dan akurat.

Kedua, sebagian pekerja informal memiliki penghasilan yang rendah dan tidak pasti. Akibatnya, menyisihkan uang untuk membayar iuran jaminan sosial masih belum menjadi prioritas bagi mereka.

Meskipun Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan bahwa pekerja informal miskin ini haruslah dilindungi dengan cara didaftarkan dan dibayarkan iurannya oleh negara, sulit menjangkau para pekerja ini karena sektor informal yang belum teregulasi dan terdata dengan baik.

Meskipun pekerja mandiri bisa mendaftarkan dirinya sendiri untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, tapi sosialisasi tentang ini masih sangat kurang.

Ketiga, kesadaran yang masih minim. Dengan penghasilan yang umumnya rendah-meskipun tidak semua-kesadaran pekerja informal akan pentingnya memprioritaskan jaminan sosial juga rendah.

Banyak yang menganggap jaminan sosial tenaga kerja hanya diperuntukkan bagi pekerja formal. Padahal, pekerja informal juga berhak mendapatkan manfaat dari program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT).

Keempat, program jaminan sosial biasanya mensyaratkan dokumen administratif seperti kartu tanda penduduk (KTP), nomor pokok wajib pajak (NPWP), nomor rekening, dan bahkan masih ada yang harus datang ke kantor cabang secara langsung untuk mengisi formulir pendaftaran.

Proses ini seringkali terlalu panjang bagi pekerja informal yang waktunya sudah habis untuk bekerja. Bagi pekerja informal yang tidak memiliki NPWP, misalnya, ia tetap bisa menjadi peserta, tapi kelak tidak bisa mencairkan JHT jika ia memiliki saldo lebih dari Rp50 Juta dan tidak bisa mendapatkan manfaat tambahan BPJS Ketenagakerjaan lainnya.

Kelima, mobilitas fisik dan perpindahan pekerja informal dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan lain yang cukup tinggi karena sangat bergantung dengan permintaan pasar. Contohnya pekerja proyek, kuli panggul, tukang las (welder) di galangan kapal, hingga penjual bendera yang marak setiap Agustus atau pedagang musiman saat Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

Hal ini menyebabkan BPU yang sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sekalipun, lebih banyak menjadi peserta yang non-aktif dan hanya membayar iuran beberapa kali, setelah itu menghilang. Pada Februari 2023, peserta BPJS Ketenagakerjaan non-aktif ini mencapai 35,67% karena seringnya pekerja informal berpindah kerja atau bahkan menjadi pengangguran sehingga tidak lagi mampu melanjutkan iurannya.

Keenam, sosialisasi yang masih minim. Mengingat manfaat yang sangat besar dan iuran yang cukup terjangkau, sosialisasi program jaminan sosial tenaga kerja kepada 80 juta pekerja informal ini semestinya menjadi prioritas BPJS Ketenagakerjaan.

Tentu BPJS Ketenagakerjaan perlu mendapat dukungan dari kementerian dan lembaga lain untuk melakukan sosialisasi ini, seperti dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan pemerintah daerah.

Strategi memperluas kepesertaan

Strategi memperluas kepersetaan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal
Olahan penulis, Author provided (no reuse)

Idealnya, setiap pekerja secara aktif dan sadar mendaftarkan dirinya menjadi peserta jaminan sosial. Jika ia bekerja untuk orang lain atau perusahaan, pemberi kerja wajib mendaftarkan mereka. Jika ia pekerja mandiri atau informal, ia bisa mendaftarkan dirinya sendiri.

Namun demikian, bukan berarti BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa proaktif untuk menjangkau pekerja informal. Beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk menjangkau pekerja informal antara lain:

Satu, BPJS Ketenagakerjaan harus secara aktif melakukan pendekatan, sosialisasi, dan membangun relasi dengan organisasi, komunitas, dan paguyuban pekerja informal.

Meskipun pekerja informal sangat cair dan dinamis, keberadaan mereka sebagian bisa dideteksi melalui komunitas yang menaunginya, seperti paguyuban pedagang kaki lima, pasar tumpah, pedagang pasar, ojek online, pangkas rambut, dan lain-lain. Estimasi jumlah dan sebaran pekerja informal di suatu wilayah dengan lebih akurat bisa dilakukan lewat perkumpulan ini.

Dua, BPJS Ketenagakerjaan di setiap kantor wilayah (kanwil) perlu membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan paguyuban pekerja informal secara terus menerus. Tidak hanya sosialisasi secara normatif, tapi perlu dilakukan pengawasan dan komunikasi yang kontinu untuk memudahkan pembaharuan data dan sebaran pekerja informal secara berkala, mengingat turnover pekerja yang sangat tinggi.

BPJS Ketenagakerjaan bisa membangun relasi baik ini dengan menjadi sponsor aktif acara-acara paguyuban dan komunitas pekerja informal, sehingga kehadirannya lebih terasa oleh komunitas pekerja informal.

Tiga, melalui dua strategi di atas, BPJS Ketenagakerjaan akan mampu menyusun profil pekerja informal secara empiris (bottom-up market analysis) untuk setiap kanwil dan cabang. Sebab, setiap wilayah memiliki sektor informal yang berbeda-beda karakteristiknya. Hal ini penting untuk menetapkan target kepesertaan secara bottom-up setiap tahunnya.

Empat, BPJS Ketenegakerjaan perlu mengubah pola akuisisi calon peserta yang acak dan kompetitif menjadi lebih sistematis dan kolaboratif–yang dapat diwujudkan dengan menerapakan ketiga startegi di atas.

Selama ini, setiap agen kepesertaan di lapangan berlomba untuk mendapatkan peserta baru di sektor formal dan informal. Dalam upaya meningkatkan antusiasme agen, BPJS Ketenagakerjaan biasanya mengadakan Kompetisi Agen Terbaik setiap tahunnya dengan hadiah (reward) tertentu. Akibatnya, persaingan akuisisi peserta menjadi sangat kompetitif. Tak jarang, setiap agen saling menutup informasi dan hanya fokus pada target akuisisinya masing-masing.

Tentu saja masih ada banyak alternatif dan strategi lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah (selaku regulator) dan BPJS Ketenagakerjaan (selaku operator jaminan sosial) untuk melindungi seluruh pekerja informal di Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan dapat terus melanjutkan dan memperkuat “strategi 345” yang selama ini dijalankan.

Lebih teknis, BPJS Ketenagakerjaan perlu memperluas penggunaan dan pemanfaatan aplikasi JMO, menambah manfaat jaminan sosial, pemilahan database melalui sinkronisasi data dengan BPJS Kesehatan dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri hingga pelibatan pemerintah daerah secara lebih masif adalah strategi lain yang harus terus diperkuat.

Selain itu, hadirnya Instruksi Presiden No 4 Tahun 2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial 2023-2024, semestinya mempercepat institusi terkait untuk melakukan perluasan cakupan kepesertaan bagi masyarakat miskin ekstrem, termasuk menuntaskan regulasi tentang penerima bantuan iuran (PBI) jaminan sosial tenaga kerja. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 bahkan memberikan target pelaksanaan PBI (khusus untuk jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian) ini pada 1 Januari 2024.

Kita berharap, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan dapat menjangkau dan memberikan hak konstitusional ini kepada sebanyak mungkin pekerja informal yang masih belum terlindungi. Tentu upaya perluasan cakupan jaminan sosial untuk pekerja informal di atas membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

Apakah menggunakan dana iuran peserta untuk membiayai “kampanye” ini dianggap cukup baik dan bijaksana? Atau diperlukan regulasi dan dukungan pembiayaan lain dari pemerintah agar BPJS Ketenagakerjaan mampu mencapai target perluasan kepesertaannya dengan lebih cepat? Saran dan masukan dipersilakan!

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now