Menu Close

Mengapa penting persiapan menyusui sebelum bayi lahir? Juga hindari suapi makanan tambahan di bawah 6 bulan

Menyusui adalah salah satu cara yang paling efektif untuk memastikan kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir.

Bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif memiliki risiko terjadinya stunting (bayi kerdil). Anak yang tidak disusui secara eksklusif berisiko 3 kali lipat lebih tinggi terjadinya stunting, dari pada anak yang disusui secara eksklusif.

Inilah mengapa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF sangat merekomendasikan pemberian ASI eksklusif, yakni ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan hingga berusia 6 bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain, termasuk air putih.

Setelah 6 bulan, bayi mulai bisa diberikan makanan pendamping ASI (MPASI), namun sangat disarankan untuk tetap mendapatkan ASI hingga 2 tahun atau lebih.

Sayangnya, dalam praktiknya, komitmen pemberian ASI ekslusif sering kali sulit terwujud. Ini karena kurangnya edukasi menyusui yang didapat oleh para calon ibu ketika masa kehamilan.

Aturan bagus, praktik tanya besar

Pada kenyataanya, ternyata banyak bayi di seluruh dunia yang belum mendapatkan ASI eksklusif. Secara global, 2 dari 3 bayi tidak disusui secara eksklusif selama 6 bulan.

Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah berusaha mengikuti rekomendasi WHO dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif. Peraturan ini telah diikuti oleh peraturan yang secara otonom diterbitkan di berbagai kota atau kabupaten.

Tetap saja, peraturan tersebut belum diiringi oleh praktik yang sesuai di lapangan.

Di Indonesia, hanya 1 dari 2 bayi di bawah usia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif pada 2020, dan hanya sedikit (5%) anak yang masih diberi ASI pada usia 23 bulan.

Artinya, hampir separuh dari seluruh anak Indonesia tidak mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan selama dua tahun pertama kehidupan.

Menurut data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, cakupan ASI eksklusif di Indonesia secara berurutan dari tahun 2017 hingga 2019 adalah 35,7%, 68,74%, dan 67,74%. Persentase pemberian ASI eksklusif tertinggi berada di Nusa Tenggara Barat (86,26%) dan urutan terakhir adalah Papua Barat (41,12%).

Angka tersebut menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum memenuhi target pemerintah sebesar 80% dan belum mencapai target global 70% pada 2030.

Risiko bila bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif

Menurut penelitian di Indonesia timur, ASI eksklusif dapat melindungi anak-anak, terutama yang berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, supaya terhindar dari stunting.

Tak hanya pada sisi anak, ibu yang tidak menyusui bayinya juga menghadapi beberapa resiko, seperti lebih berpeluang besar terkena kanker endometrium, kanker ovarium, dan kanker payudara.

Meningkatnya kasus penyakit tersebut berkontribusi pada meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi di suatu negara. Pengeluaran dana negara di sektor kesehatan juga akan meningkat akibat dari tingginya angka kesakitan ibu dan bayi.

Data juga menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 40 persen bayi di Indonesia yang sudah diperkenalkan pada MPASI terlalu dini, yaitu sebelum mereka mencapai usia 6 bulan. Makanan yang diberikan, seperti pisang, seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, bahkan berisiko membahayakan mereka karena tidak sesuai dengan perkembangan sistem pencernaan di usianya.

Dari sisi medis, pemberian makanan terlalu dini sebelum bayi berusia 6 bulan dapat meningkatkan risiko infeksi telinga, infeksi tenggorokan, atau infeksi sinus pada saat usia 6 tahun.

Studi pada 272 bayi di Bangladesh menunjukkan bahwa bayi yang telah mendapatkan MPASI sebelum umur 6 bulan, berisiko 3 kali lebih tinggi mengalami diare dan 2 kali lebih tinggi terkena infeksi saluran pernapasan akut, dibandingkan dengan bayi yang disusui secara eksklusif.

Peran penting edukasi menyusui

WHO menyatakan bahwa edukasi pentingnya menyusui terbukti efektif dalam meningkatkan cakupan ASI eksklusif.

Studi terhadap 268 penelitian menunjukkan bahwa edukasi menyusui terbukti efektif dalam meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif. Dampak terbesar terjadi di negara berkembang, yakni dapat meningkatkan 6 kali lipat cakupan ASI eksklusif dengan adanya intervensi edukasi menyusui.

Implementasi edukasi menyusui dapat dilakukan dengan berbagai cara, bisa dipilah berdasarkan waktu (sebelum melahirkan, sesudah melahirkan atau keduanya), model penyampaian (personal atau kelompok), lokasi (rumah, komunitas atau fasilitas kesehatan), dan pemberi edukasi (perorangan, kader atau konselor menyusui yang tersertifikasi).

Selama masa kehamilan, edukasi tersebut dapat berupa konseling dan pemberian informasi melalui berbagai sarana.

WHO merekomendasikan 7 kontak edukasi menyusui, yakni pada saat usia kehamilan 28 minggu, usia kehamilan 36 minggu, persalinan, dalam 24 jam pertama setelah melahirkan, dalam 7 hari setelah melahirkan, dalam 2 minggu setelah melahirkan, dan hingga nifas hari ke-39.

Penelitian di Cina dengan lebih dari 500 responden menunjukkan bahwa ibu yang tidak mendapatkan edukasi menyusui saat hamil cenderung berhenti menyusui sebelum bayinya berusia 6 bulan.

Sementara itu, studi di Malaysia dengan 421 responden menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan edukasi menyusui selama hamil berpeluang 8 kali lebih tinggi untuk menyusui secara eksklusif dibandingkan ibu yang tidak mendapatkan edukasi menyusui selama hamil.

Edukasi menyusui pada saat hamil atau sebelum melahirkan terbukti efektif dalam membantu mempersiapkan ibu secara praktis dan mempromosikan inisiasi menyusui setelah melahirkan.

Jika seorang calon ibu telah mendapatkan edukasi menyusui, maka ia akan mampu memberikan asi secara maksimal setelah melahirkan, serta mampu mengadapi berbagai permasalahan yang sering terjadi pada proses menyusui, seperti persepsi ketidakcukupan ASI, bayi enggan menyusu, lecet pada puting dan bengkak pada payudara.

Sebagai contoh, ketika ibu dapat melakukan teknik menyusui dengan benar, maka ibu akan terhindar dari puting lecet dan bengkak, serta bayi akan mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga pertumbuhannya akan meningkat sesuai kurva. Sering kali ibu merasa ASI-nya kurang juga diakibatkan pengeluaran ASI yang tidak optimal karena teknik menyusui yang tidak tepat.

Selain melibatkan ibu hamil, edukasi menyusui ini harus juga menyasar orang-orang dekat seperti ayah, orang tua, dan mertua yang memiliki “kekuasaan” untuk mempengaruhi kelancaran pemberian ASI selama enam bukan pertama bayi lahir. Karena bagaimana pun, budaya memberi makanan tambahan sebelum bayi berusia enam bulan masih kuat di masyarakat karena rendahnya literasi kesehatan terkait manfaat ASI ekslusif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now