Menu Close
Data statistik sering dianggap sebagai lebih unggul dibanding data kualitatif. Pexels/Burak The Weekender

Mengapa statistik dianggap lebih unggul dalam perumusan kebijakan? Ilmu sosial-humaniora juga punya peran penting dalam menjembati gap kebijakan publik

Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia, dibantu oleh para mitra pembangunan, giat mendorong produsen ilmu pengetahuan seperti lembaga riset dan universitas untuk menggunakan kebijakan berbasis bukti sebagai satu ukuran emas dalam proses perumusan kebijakan publik.

Banyak pihak sepakat bahwa perumusan kebijakan publik memang mestinya berlandaskan pada data dan informasi yang diperoleh secara empiris, ketimbang hanya mengandalkan intuisi dan prasangka.

Meski memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan dengan mengedepankan rasionalitas dan ilmu pengetahuan, kebijakan berbasis bukti memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kebijakan berbasis bukti cenderung menganakemaskan bukti-bukti yang dilahirkan dari disiplin ilmu eksakta. Ilmu ini dinilai lebih mampu mengkuantifikasikan suatu persoalan secara matematis dan terukur.

Konsekuensinya, studi-studi dan pendekatan ilmu sosial yang lebih kritis dan emansipatif dalam disiplin ilmu sosial-humaniora, yang berkelindan secara strategik dalam perumusan kebijakan publik, cenderung dianaktirikan. Sebab, proses pembacaan dan pemahaman bukti dalam disiplin ilmu sosial-humaniora membutuhkan waktu dan tidak bisa dipahami begitu saja oleh pemangku kepentingan.

Bahkan, jenis bukti tersebut sering dipandang bukan sebagai bukti oleh sebagian pengambil kebijakan. Hal ini telah menjadi perdebatan panjang oleh beberapa ilmuwan eksakta, yang menilai karya-karya ilmu sosial sebagai “pseudo-sains”.

Padahal, mengacu pada pandangan filsuf Jerman Wilhelm Dhiltey, ilmu sosial humaniora masuk ke dalam kategori sains yang mengartikulasikan cara pikiran manusia bekerja melalui serangkaian hal. Sebagai homo socius (makhluk sosial), manusia digerakkan oleh pikiran dan dari hal itu perlu kajian sosial humaniora.

Kekuasaan statistik dan teknikalisasi problem

Selain dianggap lebih ilmiah, bukti yang tersaji melalui statistik dan angka juga cenderung lebih mudah diterima, karena dianggap memiliki akurasi yang lebih terukur. Watak semacam itu memang menjadi karakter utama para perencana dan pengambil kebijakan publik di Indonesia.

Sosiolog Inggris Nikolas Rose menyebut kejadian itu sebagai teknikalisasi permasalahan (rendering technical), yaitu upaya menyederhanakan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan teknis yang bertujuan untuk mengelola dan menguasai suatu bukti.

Tania Murray Li, antropologi dari Universitas Toronto Kanada, juga meminjam konsep tersebut untuk menjelaskan fenomena kepengaturan yang dilakukan negara terhadap masyarakat petani kakao di Lauje, Sulawesi Tengah.

Dengan teknikalisasi permasalahan, para pengambil kebijakan merasa mampu memecahkan kompleksitas masalah sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan melalui pembacaan terhadap statistik dan angka semata.

Padahal, hal itu juga perlu diimbangi dengan menyelam lebih jauh ke dalam realitas sosial yang berlapis yang seringkali mustahil dikuantifikasikan melalui angka.

Persoalan tersebut semakin problematis mengingat bukti-bukti yang diproduksi dalam proses produksi pengetahuan tidak pernah netral. Produksi pengetahuan selalu dilingkupi oleh dimensi kekuasaan dan kepentingan.

Akibatnya, perumusan kebijakan publik kerap dinilai sebagai buah dari kesepakatan politik di antara para pemimpin yang sedang berkuasa atau lebih sesuai dengan keinginan sekelompok orang yang berkepentingan —- biasanya adalah mereka yang akan terdampak langsung dari suatu kebijakan.

Contohnya adalah peran penting sebuah lembaga riset di Jakarta yang memproduksi ilmu pengetahuan yang dijadikan oleh pemerintah Orde Baru sebagai alat legitimasi rezim pembangunanisme.

Orde Baru dan lembaga riset tersebut memiliki hubungan yang saling menguntungkan: lembaga riset itu menggunakan kedekatannya dengan rezim Soeharto untuk memperluas pengaruh studinya. Sementara, rezim Soeharto menggunakan hasil studi lembaga riset itu untuk memenuhi standar keilmuan rumusan kebijakan pemerintah yang menggelorakan watak pembangunanisme.

Kekuasaan dan pengetahuan

Filsuf Prancis, Michel Foucault, merupakan salah satu ilmuwan yang fokus pada kajian kekuasaan yang bertumpu pada pengetahuan dan kekuasaan memanfaatkan pengetahuan. Di sisi lain, dia menunjukkan bagaimana kekuasaan juga mereproduksi pengetahuan dengan mewujudkannya sesuai dengan intensi sang pemilik pengetahuan.

Mempertimbangkan dimensi kekuasaan yang melekat pada proses perumusan kebijakan berbasis bukti, produksi bukti lewat penelitian tidak cukup jika hanya didekati dengan pendekatan positivistik yang cenderung melihat segala sesuatu secara netral, hitam putih, dan apa adanya.

Contohnya, sejumlah akademisi-aktivis pro-lingkungan menilai bahwa kesaksian dua akademisi dari Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan PT Semen Indonesia dalam persidangan kasus tambang semen di Kendeng, Jawa Tengah, telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua ahli itu menerapkan metodologi sedemikian rupa untuk melegitimasi praktik pertambangan semen di Kendeng sebagai sesuatu yang tidak memberikan dampak destruktif pada lingkungan. Dalam kaidah akademik, bukti yang dihadirkan oleh keduanya barangkali memiliki justifikasi ilmiah.

Namun, bukti tersebut rupanya berbeda dengan bukti yang dipegang oleh masyarakat lokal dan akademisi-aktivis pro-lingkungan. Mereka meyakini bahwa praktik pertambangan, bagaimana pun bentuknya, akan mengancam kelangsungan hidup masyarakat.

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana landasan bukti diproduksi secara berbeda tergantung pada kepentingan masing-masing kelompok. Dalam situasi tersebut, terlihat siapa kelompok yang akan diuntungkan dan dirugikan dalam proses produksi bukti melalui kegiatan penelitian. Kehadiran penguasa, pemilik modal, dan para penyandang dana (donor) sangat memengaruhi proses tersebut.

Masalah di atas menunjukkan bahwa kerja-kerja penelitian rentan hanya akan menjadi mesin anti-politik demi memenuhi keinginan penguasa dan lembaga pemberi dana. Penelitian tidak memperhitungkan dimensi kekuasaan dan kelompok masyarakat mana yang akan diuntungkan atau dirugikan.

Dimensi ekonomi politik dan kekuasaan

Kebijakan berbasis bukti perlu lebih sensitif dalam melihat dimensi kekuasaan dan aspek ekonomi politik dalam proses perumusan kebijakan. Hal itu hanya bisa dibaca jika kita memiliki pemahaman yang baik pada ilmu sosial-humaniora yang memang menyediakan kerangka untuk melihat bukti secara lebih kritis.

Hal itu juga memberikan peluang untuk tidak mengabaikan aspek ekonomi politik dalam proses perumusan kebijakan, sebab kebijakan publik sendiri dibuat dalam konteks politik jangka pendek.

Misalnya saja, kendati menyelesaikan persoalan pandemi, apa motif para pengambil kebijakan membuka lahan sawah baru (food estate) di Kalimantan Tengah pada masa genting seperti saat ini?

Pengambilan keputusan atas penyediaan kebutuhan stok pangan melalui food estate sejak era Orde Baru hingga Pasca Reformasi seringkali mengalami kegagalan lantaran tidak berhasil mengefektifkan penggunaan lahan. Sebaliknya, proyek ini justru menyeret permasalahan lainnya, seperti risiko lingkungan, ekonomi, dan kesehatan.

Kebijakan itu semata-mata mengamini asumsi bahwa pengambilan keputusan memang memihak pada bukti matematis.

Pendeknya, kultur numerikal jangan sampai menggerogoti upaya kita mendebat perumusan kebijakan publik yang produktif —- hingga membuat kita buta data. Pendekatan kritis dalam ilmu sosial-humaniora perlu diletakkan sejajar dengan disiplin lain yang lebih mampu mengkuantifikasikan bukti.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now