Menu Close
UMKM sampah plastik

Mengatasi perubahan iklim butuh peran UMKM, tapi kemampuan mereka perlu ditingkatkan

Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) mengakui bahwa selama tiga dekade terakhir, upaya mengatasi perubahan iklim dari sisi bisnis masih berfokus kepada peran korporasi besar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Global ke-28 atau COP 28, UNFCCC mendorong transformasi juga dilakukan untuk meningkatkan kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam mengatasi perubahan iklim.

Sejauh ini, kajian global menggarisbawahi kebijakan lingkungan belum berhasil mengoptimalkan peran UMKM dalam mengatasi perubahan iklim. Dengan asumsi skala ekonomi korporasi yang jauh lebih besar, pemerintah cenderung lebih berfokus terhadap korporasi besar. Padahal, UMKM tak hanya menyumbang sekitar separuh dari total emisi gas rumah kaca dunia bisnis, tapi juga lebih terdampak terhadap perubahan iklim dan lonjakan harga energi.

Di sisi lain, rezim penguasa di negara yang kaya akan sumber daya alam cukup lunak dalam menegakkan aturan lingkungan kepada korporasi besar karena memberikan kontribusi pajak dan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Upaya menuntut korporasi memperbaiki manajemen lingkungan mereka mungkin lebih dipandang sebagai risiko kehilangan potensi ekonomi bagi para konservatif dan populis di konteks negara tersebut.

Di Indonesia, sebuah studi menunjukkan bahwa transformasi UMKM mengatasi perubahan iklim masih menjadi retorika saja. Masalah yang mengemuka adalah tidak terhubungnya rantai nilai antara korporasi besar dan UMKM dalam mengatasi perubahan iklim. Ini tidak lepas dari tidak jelasnya instrumen kebijakan untuk kolaborasi korporasi dan UMKM mengatasi perubahan iklim.

UMKM: kunci daur ulang plastik

Menurut laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2022, negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia memang masih memprioritaskan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berisiko merusak lingkungan. Kebijakan manajemen lingkungan di Indonesia terlalu terfokus kepada korporasi besar karena kontribusi korporasi terhadap PDB jauh lebih signifikan dibandingkan UMKM.

Padahal, UMKM adalah aktor sentral dalam pengolahan limbah plastik. Produksi plastik berkontribusi melepaskan gas rumah kaca karena mengandalkan bahan bakar fosil. Limbah plastik–yang tidak bisa diurai di alam–turut menyumbang emisi ketika mereka terkena radiasi matahari atau terpecah menjadi mikro-plastik di lautan.

Di Indonesia, berdasarkan analisis data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 80% struktur ekonomi PDB lima tahun terakhir ditopang konsumsi masyarakat.

Industri makanan dan minuman adalah industri penting yang menyuplai konsumsi masyarakat ini. Berdasarkan kajian dari McKinsey pada 2022, pelaku industri makanan dan minuman ini dikuasai segelintir korporasi besar. Jumlah perusahaan besar tersebut kurang dari 20%, tapi menguasai lebih dari 50% pangsa pasar Indonesia.

Banyak dari produk makanan dan minuman ini dikemas dengan plastik.

Ketika sampai kepada limbah plastik, sebagian korporasi besar enggan berpartisipasi mendaur ulang plastik yang mereka hasilkan. Sebab, mereka menganggap industri daur ulang memiliki potensi konsumen yang kecil dan keuntungannya tidak besar biar gampang dicerna. Ditambah lagi, di Indonesia, belum banyak inovasi teknologi daur ulang sampah yang efisien link text.

Sementara, bagi pelaku UMKM, daur ulang limbah plastik membawa potensi ekonomi yang besar. Menurut laporan USAID 2022, para pelaku UMKM di Indonesia justru mendominasi aktivitas pengolahan limbah–tapi kapasitas mereka masih sangat kecil.

Selama 5 tahun terakhir, PDB industri pengolahan sampah masih jauh tertinggal 100 kali lipat dari industri makanan dan minuman.

Data tersebut menunjukkan bahwa dengan pertumbuhan dan besarnya skala industri makanan dan minuman, besar pula potensi sampah yang tidak dapat terdaur ulang oleh industri pengolahan limbah yang ada.

Kesenjangan kemampuan UMKM vs. industri besar

Ada kesenjangan antara pelaku UMKM dan korporasi besar dalam mengelola bisnis yang ramah lingkungan. Kesenjangan tersebut ada dalam aspek manajemen operasional, sumber daya manusia (SDM), strategi, dan finansial.

Dalam sisi SDM, para sarjana yang baru lulus lebih memilih berkarir di Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau perusahaan produksi barang konsumsi ketimbang di UMKM daur ulang limbah. Akibatnya, di tengah kelangkaah SDM yang terdidik, sulit bagi UMKM untuk meningkatkan produktivitasnya.

Selain itu, korporasi makanan dan minuman terkemuka menggunakan robot dan kecerdasan buatan untuk mengelola produksi mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi manajemen finansial dan manajemen strategi mereka.

Sementara, sebagian pengumpul sampah skala kecil di kota-kota besar masih mengandalkan perhitungan manual yang sarat kesalahan. Pelaku UMKM dalam industri daur ulang mempunyai modal dan kemampuan terbatas untuk memulai manajemen keuangan berbasis digital dan automasi.

Pelaku UMKM ini sebenarnya dapat menjadi aktor kunci dalam rantai nilai sampah kemasan. Bagi para pebisnis informal pengolahan sampah, pemberdayaan anggota keluarga dan sedikit pembelanjaan modal usaha dapat membantu menekan biaya produksi dan memberikan keuntungan yang optimal dalam memungut dan mengolah limbah sampah.

Namun, bagi korporasi besar tersebut, mereka akan enggan berkolaborasi jika tidak difasilitasi oleh payung hukum dan insentif aturan yang jelas dari pemerintah kota atau kabupaten dengan kewenangan pengelolaan sampah ada di tangan mereka.

Rekomendasi pembenahan UMKM

Kajian kebijakan manajemen dan kebijakan lingkungan terkini menekankan pentingnya unsur 3C (concern, capacity, conditions) dalam mempercepat transformasi UMKM untuk mengatasi persoalan sampah dan perubahan iklim global.

Concern menggarisbawahi kolaborasi pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk agenda peran UMKM dalam isu sampah dan emisi karbon. Pemerintah di Indonesia perlu lebih banyak memfasilitasi diskusi terpumpun (focus group discussion/FGD) dalam menetapkan peta jalan kebijakan meningkatkan peran UMKM dalam perubahan iklim di Indonesia.

Tantangan yang perlu diatasi adalah perubahan persepsi pemerintah dari hanya mencapai pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan yang inklusif.

Capacity menekankan kolaborasi multipihak dalam meningkatkan kemampuan UMKM mengatasi masalah kebijakan sampah dan perubahan iklim. Sebagai contoh, korporasi besar bisa lebih meningkatkan transfer kapabilitas UMKM dalam manajemen lingkungan dan bisnis.

Hal ini penting, karena UMKM tersebut ada dalam rantai nilai manajemen lingkungan korporasi tersebut.

Dalam aspek conditions, pengambil kebijakan kunci terkait dapat menciptakan payung hukum yang jelas untuk kemitraan korporasi besar dan UMKM untuk mengatasi perubahan iklim. Kolaborasi tersebut akan terlaksana apabila mereka dijamin dengan payung hukum dan insentif yang tepat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now