Menu Close

Menyorot arah kebijakan luar negeri Malaysia di bawah pemerintahan Anwar Ibrahim

Perdana Menteri Malaysia Dato Seri Anwar Ibrahim. Rommy Pujianto/Antara Foto

Politik luar negeri (polugri) Malaysia mengalami perkembangan yang signifikan sejak Perang Dunia II (1939-1945) dan awal Perang Dingin (1947). Pada masa-masa itu, kebijakan polugri Malaysia dipengaruhi oleh situasi geopolitik yang kompleks, terutama akibat persaingan antara Amerika Serikat (AS) (Blok Barat) dengan Blok Soviet (Blok Timur).

Selama Perang Dingin, Malaysia memutuskan untuk bersikap pro-Barat dan menjadi bagian dari strategi antikomunisme global yang dipimpin oleh AS. Kebijakan polugri Malaysia mulai menjadi lebih netral sejak menjalin hubungan diplomatik dengan Cina tahun 1974.

Polugri Malaysia kemudian, hingga kini, lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan dari dalam negeri dan situasi regional, seperti berdirinya ASEAN pada tahun 1967 dan Deklarasi Kuala Lumpur tahun 1971 yang menegaskan komitmen terhadap zona perdamaian, kebebasan, dan netralitas dalam kerangka ASEAN.

Sejumlah keputusan tersebut membawa dampak jangka panjang bagi hubungan Malaysia dengan negara-negara Barat dan arah kebijakan luar negerinya.

Dalam 50 tahun terakhir, Malaysia mampu menjaga keseimbangan dalam menjalin hubungan dengan AS maupun Cina serta fokus pada kerja sama di ASEAN dan dengan para negara tetangga, meskipun arah kebijakannya kerap mengalami perubahan di setiap kepemimpinan.

Hari ini, kepemimpinan Perdana Menteri Anwar Ibrahim kembali memunculkan pertanyaan tentang arah terkini kebijakan politik luar negeri Malaysia.

Amerika atau Cina?

Di bawah pemerintahan Najib Razak (2009-2018), arah kebijakan luar negeri Malaysia cenderung mengadopsi kebijakan dengan penekanan pada hubungan dengan negara-negara Barat, terutama AS.

Setelah pemerintahan Najib berakhir pada 2018, Mahathir Mohamad kembali ke bangku kekuasaan pada 2019. Dia memfokuskan kebijakan polugri Malaysia ke kepada Asia Timur, terutama ke Cina dan Jepang, sebagai bagian dari strategi “Look East 2.0”.

Kini, di bawah pemerintahan PM Anwar, tampaknya Malaysia secara praktik akan lebih condong ke Beijing ketimbang ke Washington.

Dalam kunjungannya ke Beijing April lalu, dan pertemuannya dengan Presiden Cina Xi Jinping, Anwar memberi sinyal bahwa Malaysia dan Cina kini tengah memperkuat aspek investasi, terutama dalam bidang teknologi hijau, ekonomi digital, dan pertanian modern, melalui penandatanganan 19 kesepakatan.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kiri) bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping dalam kunjungan diplomatiknya ke Beijing. Akun X resmi Anwar Ibrahim

Namun, secara normatif, Malaysia akan tetap berupaya untuk menemukan keseimbangan di tengah dua kekuatan besar–AS dan Cina–dan realistis terhadap dinamika politik global. Pendekatan semacam ini menjadi kunci dalam kebijakan luar negeri Malaysia yang cenderung fleksibel dan pragmatis.

Malaysia tentunya tidak ingin terjebak dalam perangkat naratif global, seperti perang dagang AS versus Cina, yang mungkin menghambat pengejaran kepentingan nasionalnya.

Selain itu, Malaysia terlihat menerima pandangan Cina tentang konsep “rumah bersama” di Asia-Pasifik dengan lebih positif daripada pandangan Barat. Meski begitu, pemerintah Malaysia juga tetap menegaskan bahwa Cina tidak boleh mendominasi kawasan tersebut.

Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun Malaysia memahami narasi Cina, tetap ada batasan dan kepentingan strategis yang harus dilindungi.

Sikap terhadap krisis Myanmar

Hubungan diplomatik antara Malaysia dan Myanmar dapat dianalisis dengan melihat konteks sejarah. Kedua negara ini memiliki sejarah kolonial yang mirip karena sama-sama pernah dijajah Inggris. Malaysia juga cenderung mendukung Myanmar secara politik, salah satunya dengan mendukung masukan Myanmar dalam keanggotaan ASEAN pada tahun 1997]

Namun, kudeta militer di Myanmar pada tahun 2021 yang menggulingkan pemerintahan demokratis di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi telah menggoyahkan hubungan diplomatik Myanmar dengan Malaysia dan anggota ASEAN lainnya seperti Indonesia.

Anwar telah dengan tegas meminta adanya intervensi yang konkret dalam konflik di Myanmar oleh ASEAN. Menurutnya, prinsip non-intervensi–yang selama ini dianggap membuat penyelesaian konflik Myanmar oleh ASEAN menjadi lamban–jangan sampai membuat ASEAN jadi menutup mata dan diam saja melihat praktik pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Myanmar.

Anwar juga menjadi salah satu pemimpin negara ASEAN yang paling kritis terhadap krisis di Myanmar. Awal tahun ini, ia sempat bertemu dengan mantan PM Thailand Prayuth Chan-o-cha (yang saat itu masih menjabat) dan dengan tegas meminta partisipasi lebih konkret dari Bangkok, mengingat posisi geografis Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar.

Dalam pertemuan diplomatiknya dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., Anwar mengusulkan agar negara-negara ASEAN diberikan lebih banyak fleksibilitas untuk berinteraksi secara informal dengan junta Myanmar guna mempermudah penyelesaian krisis.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kanan) berbincang dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dalam kunjungan Anwar ke Filipina. Astro Awani

Di bawah pemerintahan Muhyiddin Yassin–pendahulu Anwar–kebijakan luar negeri terhadap Myanmar lebih berfokus pada krisis kemanusiaan. Kini, di tangan Anwar, ada indikasi kuat akan adanya pendekatan yang lebih proaktif, terutama dengan mengajak ASEAN untuk membuka diri bernegosiasi dengan junta Myanmar. Hal ini disebabkan kritik-kritik keras saja terbukti gagal dalam menyelesaikan isu Myanmar.

Sikap terhadap sengketa Laut Cina Selatan

Dalam isu sengketa Laut Cina Selatan, Malaysia di bawah kepemimpinan Anwar terus menyatakan keberatannya terhadap klaim Cina atas sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Anwar juga teguh mempertahankan hak kedaulatan Malaysia atas sebagian wilayah LCS yang mencakup bagian utara Kalimantan.

Terbaru, Kementerian Luar Negeri Malaysia menyatakan penolakan tegas atas Peta Standar Cina Edisi 2023, yang dirilis pemerintah Cina pada 25 Agustus lalu. Peta tersebut mencakup klaim sepihak atas wilayah LCS yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia di negara bagian Sabah dan Sarawak–satu daratan dengan Pulau Kalimantan.

Meski demikian, Anwar pun tetap berhati-hati saat berurusan dengan Cina. Pemerintah Malaysia mengakui bahwa sengketa LCS adalah masalah yang sangat kompleks dan sensitif, sehingga harus ditangani secara damai dan rasional melalui dialog berdasarkan hukum internasional.

Terlepas dari sengketa LCS, Anwar menegaskan Malaysia tidak akan memihak blok global manapun dan bahwa Malaysia tidak bisa mengabaikan pentingnya Cina sebagai tetangga dan negara yang hebat dalam hal perdagangan.

Perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia

Salah satu aspek dari kebijakan luar negeri Malaysia adalah regulasi yang berkaitan dengan perlindungan pekerja migran di Malaysia, terutama pekerja dari Indonesia sebagai tetangga dekatnya.

Anwar telah bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Kuala Lumpur untuk membahas masalah ini, terutama mengenai perjanjian bilateral untuk memastikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Perempuan pekerja migran korban kapal karam yang dideportasi dari Malaysia bertemu keluarganya di Terminal Kedatangan Penumpang Pelabuhan Pelindo Dumai, Riau, Rabu 1 November 2023. Aswaddy Hamid/Antara Foto

Namun, situasi pekerja migran di negara ini jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan.

Meningkatnya migrasi pekerja di ASEAN telah mulai menciptakan struktur sosial yang saat ini dipengaruhi oleh eksploitasi kapitalis (dalam konteks pandangan Marxis terhadap proses produksi) selama booming ekonomi pada tahun 1980-an, ketika negara-negara Tiger Asia (Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan) berkembang, kemudian memengaruhi negara-negara di Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia.

Pekerja migran kemudian menjadi komoditas yang digunakan untuk pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam sektor manufaktur dan ekspor. Sebuah studi oleh Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organization/ILO) terhadap pekerja migran di Malaysia, Thailand, dan Singapura, menemukan bahwa 29% dari responden disebutkan berada dalam kategori “kerja paksa_” dengan 80% di antaranya berasal dari Indonesia, diikuti oleh Filipina dan Kamboja.

Situasi pekerja migran Indonesia sangat rumit. Hampir 2 ribu orang Indonesia telah meninggal dunia akibat penyalahgunaan dan kekerasan saat bekerja di Malaysia.

Selain itu, saat ini Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pekerja migran berbiaya rendah tertinggi, yang ditempatkan dalam sektor-sektor seperti konstruksi, pekerjaan rumah tangga, dan pertanian, melalui agen-agen yang menarik mereka sebagai “barang dagangan.”

Walaupun Anwar sudah berjanji akan mempromosikan peraturan untuk meningkatkan kualitas hidup pekerja migran (termasuk pekerja migran dari Indonesia) dalam negeri, janji-janji ini belum ditepati.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now