Menu Close

Meratifikasi konvensi pengendalian tembakau WHO (FCTC) dapat membantu Indonesia kurangi impor dan lindungi petani lokal

Sebanyak 300 mahasiswa Universitas Indonesia melakukan aksi teatrikal dengan menggunakan rokok raksasa di depan Balai Kota Jakarta, Jakarta. Mereka menuntut pemerintah serius dalam menjalankan perda no.2 tahun 2005 tentang larangan merokok di ruang publik. ANTARA/Rosa Panggabean/08

Meskipun Indonesia memiliki 60 juta perokok dan merupakan negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia, Indonesia adalah salah satu dari sembilan negara yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Konvensi yang berada di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ini bertujuan untuk menekan konsumsi tembakau di negara yang menandatanganinya.

Keengganan Indonesia untuk meratifikasi konvensi tersebut didorong oleh banyak alasan. Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa ratifikasi konvensi tersebut akan membahayakan petani tembakau lokal dengan jumlah konsumsi tembakau yang turun.

Namun, riset kami menunjukkan bahwa justru impor tembakau yang menjadi ancaman utama bagi petani tembakau lokal.

Penelitian kami terhadap keempat negara yang telah mengesahkan FCTC - Bangladesh, Mozambik, Pakistan, dan Zimbabwe - menunjukkan bahwa perjanjian ini justru mengontrol impor tembakau dan juga mengurangi konsumsi tembakau secara keseluruhan.

Temuan riset

Kami melakukan riset pada 2019 dengan menganalisis data pertanian tembakau di Indonesia sejak 1990-2016.

Kami menemukan bahwa Indonesia sangat bergantung pada produk tembakau impor (terutama daun tembakau Virginia dari Cina, Brazil, dan Amerika). Dan hal ini mengancam petani lokal.

Ketika produksi lokal tumbuh stagnan dengan pertumbuhan rata-rata 1,65% selama 27 tahun, impor tembakau ke Indonesia telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1990.

Tingginya impor dapat menurunkan permintaan produk tembakau lokal yang merugikan petani tembakau lokal.

Saat Indonesia masih berjuang untuk mengontrol impor tembakau lokal yang mengancam petani lokal, beberapa negara dengan jumlah produksi tembakau yang besar seperti Zimbabwe, Mozambik, Pakistan, dan Bangladesh justru telah berhasil meningkatkan produksi tembakau lokal setelah meratifikasi FCTC. Impor tembakau pada negara-negara ini berkurang setelah perjanjian tersebut ditandatangani.

Setidaknya ada dua cara bagaimana FCTC dapat mengontrol impor tembakau.

Pertama, FCTC mendukung adanya pajak tembakau tinggi, termasuk tarif bea impor. Tarif bea impor yang lebih tinggi dapat membatasi impor tembakau.

Kedua, FCTC mengurangi konsumsi tembakau lokal. Ketika permintaan terhadap tembakau lokal menurun, impor tembakau juga akan ikut turun karena turunnya permintaan terhadap rokok akan menurunkan permintaan terhadap impor daun tembakau. Studi kami terhadap keempat negara telah membuktikan hal ini.

Kisah empat negara

Terlepas dari produksi tembakau lokal yang relatif tinggi, keempat negara yang kami amati berhasil mempertahankan rasio impor-ekspor mereka tetap rendah.

Rokok di Zimbabwe menjadi tidak terjangkau sekitar tahun 2014 dan 2016 setelah implementasi pajak tembakau dinaikkan. Tingginya pajak tembakau menurunkan konsumsi rokok, yang pada akhirnya juga menurunkan impor.

Hal tersebut juga berlaku di Mozambik, negara pengekspor tembakau. Mozambik berhasil menaikkan harga rokok hingga 85% setelah menandatangani FCTC. Meningkatnya harga rokok menyebabkan turunnya permintaan tembakau lokal, dengan demikian mengurangi permintaan tembakau impor.

Bangladesh terkenal dengan program pertanian alternatifnya. Petani tembakau Bangladesh mengganti tembakau dengan tanaman pangan seperti kentang, melon, dan buncis. Bangladesh menandatangani FCTC pada tahun 2005. Sejak saat itu, mereka telah mengurangi prevalensi merokok secara signifikan dari 28,2% ke 23% setelah menerbitkan Peraturan Pengendalian Tembakau tahun 2005 seusai ratifikasi. Regulasi tersebut memberlakukan pajak tembakau yang lebih tinggi dan mengurangi konsumsi. Turunnya konsumsi ini membuat impor tembakau turun.

Pakistan meratifikasi FCTC pada 2004 dan menjalankan konvensi tersebut dengan ketat. Dari beberapa negara yang kami amati, Pakistan adalah satu-satunya negara yang melaksanakan kebijakan lingkungan bebas asap, peringatan kesehatan, dan kampanye anti tembakau secara menyeluruh.

Langkah-langkah tersebut memungkinkan Pakistan mengurangi penggunaan tembakau dari 22,7% pada 2005 hingga 20,1% pada 2016. Penurunan ini memudahkan Pakistan dalam mengontrol kenaikan impor tembakau karena permintaan terhadap tembakau lokal dan impor di Pakistan menurun. Impor tembakau Pakistan hanya sekitar 1.7% dari konsumsi tembakau lokal pada tahun 2016.

Rekomendasi

Kurangnya kontrol terhadap konsumsi tembakau telah membebani perekonomian Indonesia. Meningkatnya konsumsi tembakau telah mengakibatkan tingginya impor tembakau.

Meratifikasi FCTC dapat memperbaiki hal ini. Penelitian kami terhadap keempat negara yang telah mengesahkan konvensi tersebut menunjukkan bagaimana negara-negara ini dapat mengontrol konsumsi tembakau dan mengurangi impor tembakau mereka pada saat yang sama.

Mengesahkan FCTC adalah salah satu cara paling efektif dalam mengurangi impor tembakau karena FCTC mewajibkan peningkatan pajak tembakau termasuk tarif bea impor tembakau.

Dengan meratifikasi FCTC, Indonesia tidak hanya membantu petani tembakau lokal melalui pemberlakuan tarif impor, namun juga mengontrol konsumsi tembakau.

Nadira Amalia dari University of Malaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Nadila Taufana Sahara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now