Menu Close

Mulus tanpa bulu: ekspektasi tak masuk akal pada tubuh perempuan

Roman Samborskyi/Shutterstock

Saat berselancar di platform X (dulunya Twitter) beberapa waktu lalu, saya menemukan unggahan viral berisi tangkapan layar obrolan sepasang kekasih. Si laki-laki meminta pasangannya, si perempuan, untuk mencukur bulu kaki dan tangannya. Si laki-laki menganggap bahwa perempuan sudah sewajarnya memiliki tubuh mulus tanpa bulu tubuh.

Bulu tubuh adalah rambut yang tumbuh pada tubuh manusia kecuali rambut kepala, alis, dan bulu mata. Walaupun perlakuan terhadap bulu tubuh berbeda dari satu budaya dan era, keyakinan bahwa bulu pada tubuh perempuan harus dihilangkan sebagai standar keperempuanan lebih dominan. Keyakinan semacam ini perlu dikoreksi.

Membersihkan bulu di tubuh bukanlah hal yang salah. Namun, menganggap bahwa ketiadaan bulu, terutama di kaki dan ketiak, menjadi daya tarik penting perempuan adalah suatu paham yang keliru.

Sejarah pembersihan bulu tubuh

Praktik penghilangan bulu tubuh atau hair removal bisa ditelusuri sejarahnya dari zaman kuno, termasuk Mesir, Mesopotamia, Yunani, dan Roma.

Sebagai contoh, dalam budaya Arab kuno hingga abad pertengahan para perempuan akan mencukur bulu tubuh mereka menggunakan gula yang dipanasi bersama perasan lemon dan air. Sedangkan dalam budaya Mesopotamia kuno, orang-orang akan mencukur bulu tubuh mereka setiap tiga hari hingga menjadi sangat bersih.

Dalam budaya barat kontemporer, seperti di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Barat lain, membersihkan bulu tubuh dianggap sebagai hal normatif. Ini karena perempuan kulit putih dianggap menarik ketika tidak ada bulu terutama di bagian kaki dan ketiak.

Sementara, perempuan yang memiliki bulu tubuh dicap sebagai kurang menarik, kurang pandai, kurang bisa bersosialisasi, lebih agresif, kuat, dan aktif dibanding mereka yang tidak memiliki bulu tubuh.

Agresif, kuat, dan aktif pada dasarnya merupakan kata sifat yang bermakna positif. Namun ketiganya seringkali dilekatkan dengan aspek maskulinitas. Walhasil, ketika dimiliki oleh perempuan, konteksnya menjadi negatif karena sifat tersebut dianggap seharusnya tidak ada pada perempuan. Masih cukup banyak budaya, termasuk di Indonesia, yang meyakini bahwa perempuan seharusnya bersikap feminin-tidak agresif, lemah, dan pasif.

Bulu tubuh perempuan normal dan natural

Memiliki bulu tubuh adalah salah satu tanda kematangan pada tubuh perempuan. Saat memasuki tahap pubertas antara usia 8 sampai 13 tahun, bulu akan tumbuh menebal di beberapa area tubuh perempuan. Jumlah bulu tersebut akan semakin meningkat sampai perempuan berada pada tahap menopause antara usia 45 hingga 55 tahun dan menurun setelah melewati tahap tersebut. Artinya, keberadaan bulu tubuh tersebut normal dan natural, serta menunjukkan kematangan perempuan secara seksual.

Jika menengok evolusi manusia, seharusnya laki-laki akan tertarik dengan perempuan yang matang secara seksual. Hanya, masyarakat modern rupanya tidak mengaitkan feminitas perempuan pada kematangan seksual tersebut, tetapi lebih pada kemudaan. Laki-laki juga seringkali berekspektasi bahwa perempuan haruslah muda dan feminin.

Dalam budaya populer, perempuan muda seringkali dianggap lebih seksi. Selebritas asal Amerika Serikat, Britney Spears, misalnya, dalam video musiknya “Baby One More Time,” atau personel girlband JKT48 dan AKB48 dalam setiap video mereka, semuanya ditampilkan secara muda, mulus, dan tanpa bulu tubuh.

Inilah yang membuat perempuan merasa tidak nyaman dengan tubuh berambutnya, dan merasa perlu untuk mencukur bulu tubuh tersebut agar terlihat muda dan menarik. Ini menunjukkan betapa perempuan “dipaksa” menyesuaikan dengan ekspektasi sosial.

Bulu tubuh tidak berkaitan dengan hasrat seksual

Saya mencoba memasukkan kata kunci “wanita dan bulu tangan” di mesin pencarian Google. Judul-judul artikel yang muncul menginformasikan bahwa perempuan yang memiliki bulu tangan lebat dianggap mempunyai gairah seksual yang tinggi.

Narasi yang banyak dipercaya tersebut adalah mitos. Perempuan yang memiliki bulu tubuh lebat belum tentu memiliki hasrat seksual tinggi. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan untuk sekadar membuktikan klaim tersebut. Narasi tersebut justru hanya memandang perempuan sebagai objek seksualitas semata.

Selanjutnya, ketika saya menelusuri kata kunci “wanita Indonesia dan bulu kaki”, yang muncul di hasil pencarian adalah artikel dengan narasi cara menghilangkan bulu kaki dan iklan produk pencukur atau perontok bulu. Dalam narasi ini, perempuan dilihat sebagai objek ekonomi. Mirip narasi bahwa perempuan harus berdandan agar bisa nampak cantik.

Jika ditarik ke belakang, pada 1915, perusahaan Gillete mengeluarkan produk pertama alat cukur yang dibuat khusus untuk perempuan bernama Milady Décolleté. Gillete menyatakan secara eksplisit mengenai betapa pentingnya perempuan bercukur demi kecantikan dan daya tarik.

Sejak saat itu, mulai bermunculan berbagai produk dan jasa untuk membersihkan tubuh perempuan dari bulu yang tidak diinginkan. Dari alat cukur manual sampai yang otomatis, krim perontok bulu, hingga salon-salon yang menawarkan jasa membersihkan bulu tubuh perempuan, menggunakan wax ataupun laser.

Perempuan Indonesia tidak luput dari narasi tersebut. Ada berbagai produk pembersih bulu yang ditawarkan tidak hanya muncul di media mainstream, tapi juga media baru.

Narasi bulu tubuh laki-laki

Dalam bukunya “The Last Taboo: Women and Body Hair”, Karin Lesnik-Oberstein menegaskan bahwa bulu tubuh perempuan dianggap sebagai hal tabu, sehingga sebaiknya tidak diperlihatkan atau dibicarakan, dilarang dan dibatasi oleh aturan-aturan sosial.

Hal ini berbeda dengan narasi bulu tubuh pada laki-laki. Bila laki-laki lebih memilih perempuan yang mulus tanpa bulu, perempuan sebaliknya, lebih menyenangi laki-laki yang memiliki bulu tubuh.

Laki-laki diekspektasikan memiliki bulu pada tubuhnya seperti bulu wajah (jenggot dan kumis), dada, punggung, kaki, dan tangan, karena narasi bulu tubuh pada laki-laki lebih positif.

Laki-laki yang memiliki jenggot dianggap atraktif dan memiliki kemampuan mengasuh anak yang baik. Selain itu, jenggot dan kumis pada laki-laki dianggap sebagai simbol kematangan seksual, maskulinitas, agresi, dan dominasi. Sehingga tidak heran ada kecenderungan pada laki-laki untuk menunjukkan bulu tubuhnya.

Counter narasi bulu tubuh perempuan

Kampanye dan gerakan aktivisme seperti #MeToo, #TimesUp, dan #loveyourself sempat memunculkan kesadaran orang-orang mengenai kesulitan yang harus dihadapi perempuan tiap hari, termasuk mengenai bulu tubuh. Jika #MeToo adalah gerakan yang mewadahi perempuan untuk menyuarakan kekerasan seksual yang pernah mereka alami, maka #TimesUp berfokus pada gerakan untuk menciptakan kesetaraan pada ruang lingkup kerja, dan kesempatan ekonomi yang sama untuk perempuan, termasuk melawan pelecehan seksual di tempat kerja.

Sementara itu, #Loveurself memiliki misi membantu perempuan untuk mencintai dan memperlakukan diri mereka dengan lebih positif dan penuh kasih.

Gerakan-gerakan tersebut salah satunya mendukung gambaran tubuh perempuan yang lebih beragam supaya tidak perlu mengikuti standar kecantikan tidak masuk akal yang terbangun selama ini. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya serempak perempuan untuk sedikit demi sedikit mengambil alih kembali otonomi akan tubuhnya.

Di Indonesia, bulu tubuh perempuan tidak dianggap sebagai wacana penting. Keberadaannya dilupakan. Ketika perempuan Indonesia mencoba untuk mendukung hal tersebut, banyak pihak yang marah dan mengecam keberadaan bulu tubuh seolah-olah menjadi wajib disembunyikan atau ditiadakan. Bulu tubuh sejatinya perlu kembali dilihat sebagai hal alamiah yang ada pada tubuh perempuan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now