Menu Close
Potret dari udara menunjukkan lubang tambang batu bara di Kalimantan Timur. Miniak/Shutterstock

Narasi elektrifikasi rezim Jokowi ‘menutupi’ dugaan pelanggaran HAM di sektor batu bara

Pemerintah Indonesia menggunakan narasi pentingnya mencukupi kebutuhan listrik dengan berbahan bakar batu bara untuk “menutupi” masalah konflik pertambangan yang merusak lingkungan dan merenggut nyawa penduduk lokal.

Selama puluhan tahun kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh korporasi di berbagai belahan dunia rentan tidak dapat ditindak secara adil karena kurangnya kerangka hukum yang memadai.

Dalam konteks Indonesia, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2016 menyebutkan tidak ada kepastian hukum mengenai sanksi terhadap perusahaan tambang batu bara yang dituduh melanggar HAM dan ganti rugi yang memadai untuk para korban.

Pada 2011 Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang memuat panduan dalam melaksanakan kewajiban negara untuk melindungi HAM, kewajiban korporasi untuk menghormati HAM, dan keadilan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Meskipun Indonesia menyetujui poin-poin di dalamnya, pemerintah tidak memasukkan agenda ini dalam rencana pembangunan nasional.

Dari 976 kasus yang berkaitan dengan korporasi pada 2010 di Indonesia mayoritas merupakan konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam. Merespons masalah tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membuat laporan terkait kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur.

Saya meneliti tentang politik lingkungan dan gerakan masyarakat sipil. Objek yang saya teliti adalah jaringan masyarakat sipil anti-batu bara yang bergerak dalam bentuk gerakan langsung maupun dunia maya serta budaya populer seperti film Sexy Killers, pameran kesenian yang digelar kelompok LSM, dan ritual adat masyarakat lokal. Temuan awal riset saya tentang dugaan pelanggaran HAM terkait sumber daya alam menunjukkan bahwa elite politik dalam pemerintahan dan oposisi memiliki kepentingan dalam industri tambang dan mereka membentuk citra positif industri batu bara melalui narasi pentingnya elektrifikasi.

Meski demikian terdapat resistansi masyarakat sipil lokal dan internasional terhadap perusahaan tambang. Regulasi di Indonesia sebenarnya memberi masyarakat kesempatan untuk protes, tapi mereka tetap menemui tantangan untuk mendapatkan keadilan.

Narasi populer: elektrifikasi 100%

Narasi positif terhadap batu bara turut membentuk opini publik yang positif terhadap masalah batu bara.

Pemerintahan Joko Widodo menginginkan rasio elektrifikasi meningkat dari 85% (2015) menjadi 100% (2020) untuk mengejar target pembangunan nasional. Narasi tersebut juga didukung dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang dikeluarkan pemerintah, yakni mendorong industri batu bara untuk memenuhi pasokan dalam negeri sebanyak 25%. Sementara untuk energi terbarukan, framing yang dikembangkan oleh pemerintah adalah komitmen pada Kesepakatan Paris dengan asumsi akan didukung dana dari negara-negara maju.

Narasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah seakan mengaburkan pandangan publik bahwa di balik proses pemenuhan kebutuhan energi listrik itu memakan korban jiwa dan lingkungan di sekitar lubang tambang dan PLTU.

Selain itu, secara global target Kesepakatan Paris untuk menahan kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah 2 derajat Celcius sulit dicapai bila tak ada komitmen dari negara-negara penghasil emisi karbon, termasuk Indonesia, menaikkan proporsi energi terbarukan dengan mengurangi konsumsi batu bara. Pemerintah membangun narasi bahwa dukungan dana internasional sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada 2025.

Dominasi narasi pemerintah dan korporasi mengenai pertambangan batubara baru-baru ini mendapatkan perlawanan melalui film dokumenter Sexy Killers karya Dandhy Laksono yang mengulas keterlibatan orang-orang di lingkaran dalam para calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dalam industri batu bara Indonesia. Sejak 3 minggu dirilis, film dokumenter ini telah ditonton 21 juta kali di YouTube.

Dalam film ini, Jokowi digambarkan memiliki afiliasi dengan PT. Rakabu Sejahtera yang dipimpin oleh anaknya, Kaesang Pangarep, berkongsi dengan perusahaan batu bara PT Toba Bara Sejahtra milik Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman. Sementara itu, Sandiaga memiliki saham di PT. Saratoga Investama Sedaya dan Prabowo membawahi Nusantara Energy Resources yang terdiri atas tujuh perusahaan batu bara.

Tak hanya itu. Film ini juga menceritakan tujuh dari sepuluh perusahaan tambang terbesar Indonesia, termasuk PT Toba Bara Sejahtera, memiliki sertifikasi saham halal dari Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia, lembaga yang dipimpin oleh Ma’ruf Amin, calon wakil presiden pendamping Jokowi. Konstelasi ini mengerucut pada relasi elit politik dalam industri batu bara.

Selain itu, laporan terbaru Global Witness, lembaga pemantau HAM dan lingkungan berbasis di London, menyebutkan terdapat aliran dana mencurigakan dari Berau Coal, salah satu investor terbesarnya Sandiaga, ke perusahaan tak dikenal Velodrome Worldwide Limited. Pembayaran rutin ke Velodrome setara dengan seluruh gaji bulanan ratusan karyawan Berau Coal dan tetap dilakukan meski Berau Coal merugi hingga 2012.

Pada November 2016, laporan itu menulis Luhut Pandjaitan menjual 62% saham PT Toba Sejahtra ke perusahaan Singapura, Highland Strategic Holdings, yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan berapa besar uang yang berpindah tangan. Ketidakjelasan aliran dana dan kepemilikan perusahaan ini, menurut Global Witness, menciptakan iklim bahwa industri batu bara Indonesia tidak aman. Dua kasus ini juga penting dalam mempertanyakan transparansi industri batu bara dan proyeksi transisi energi terbarukan jika Sandiaga dan Luhut menduduki jabatan politik.

Resistansi masyarakat sipil

Sebagian besar produksi batu bara Indonesia Indonesia diekspor, dan hanya sekitar 24% masuk ke pasar domestik. Pada periode 2007-2017, Indonesia memproduksi 367 juta ton batu bara rata-rata per tahun.

Sekitar 86% konsumsi batu bara di dalam negeri digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sementara PLTU menyuplai listrik di sebagian besar Pulau Jawa dan Bali, masyarakat di sekitar lokasi tambang dan PLTU merasakan dampak negatif dari usaha tambang seperti polusi udara, kerusakan lingkungan, hingga kematian. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 32 orang tewas pada tahun 2014-2018 di berbagai lubang bekas tambang di Kalimantan Timur.

Rendahnya respons pemerintah dan penegakan keadilan bagi korban lubang tambang memicu protes di kalangan masyarakat sipil. Pada 2014, warga adat Paser Kalimantan Timur menggelar ritual adat Belian sebagai aksi protes akibat perebutan lahan oleh PT Kodeco Jaya Agung milik warga. Jatam dan Koalisi Advokasi Kasus Lubang Tambang Kalimantan Timur merupakan LSM yang aktif mengadvokasi para korban untuk mencari keadilan.

Tidak hanya pada level lokal, gerakan protes dilakukan oleh jaringan transnasional seperti demonstrasi masyarakat Jepang dan Washington D.C. yang menuntut penghentian investasi proyek PLTU Batang oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Jaringan masyarakat sipil global Friends of the Earth International yang memiliki afiliasi di 73 negara dan lakukan sekitar 5 ribu LSM lokal dan internasional juga mengadvokasi dan kampanye antitambang secara langsung maupun melalui dunia maya dengan hashtag #StopBatangCoal.

Pada 13-15 Oktober 2017, misalnya, anggota jaringan Friends of the Earth menyerukan kampanye ‘No to Coal!’ dan tuntutan penggunaan energi terbarukan di Indonesia, Jepang, Bangladesh, Australia, Jerman, Palestina, Swedia, Spanyol, dan Malaysia. Selain aksi di lapangan, mereka juga aktif membuat surat terbuka kepada pemerintah dan perusahaan yang berhubungan dengan sektor energi batu bara.

Struktur kesempatan politis

Protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil didukung dengan adanya aturan mengenai usaha tambang yang disebut sebagai political opportunity structure. Kesempatan politik ini memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasinya melalui mekanisme legal dan memiliki landasan hukum yang kuat. Landasan hukum tersebut dapat meningkatkan daya tawar masyarakat sipil sehingga gerakan resistansi mereka bisa menjadi tidak terbatas atau jaringannya meluas.

Selain peraturan tersebut, kesempatan politik juga hadir dengan munculnya regulasi-regulasi baru. Pasal 20 ayat 1 Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 menyebutkan perusahaan tambang wajib memulihkan kondisi lingkungan bekas lubang tambang. Peraturan ini menjadikan posisi masyarakat sipil yang dilanggar hak-haknya semakin kuat di mata hukum.

Walaupun struktur politik menciptakan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, implementasi dari regulasi yang berkaitan tidak sebaik di atas kertas. Hambatan-hambatan yang menghalangi implementasi ini antara lain lemahnya sistem hukum karena perbedaan pandangan dan peraturan yang tumpang tindih di tingkat pusat dan daerah, pemerintah yang tidak mencapai konsensus, tentangan dari korporasi, serta lemahnya tekanan internasional melalui institusi dan rezim yang berkaitan seperti Kesepakatan Paris.

Karena itu, masyarakat sipil harus terus menekan pemerintah dan mempromosikan norma-norma internasional seperti transparansi dan antikorupsi untuk menyelesaikan masalah yang menyelimuti sektor pertambangan, supaya lebih terang sebagaimana pancaran cahaya listrik yang dihasilkan oleh batu bara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now