Menu Close
Kenaikan tiket KRL
Commuter Line selama ini jadi pilihan transportasi massal terjangkau untuk masyarakat. ANTARA FOTO/Fauzan/tom

Pakar Menjawab: segudang masalah di balik harga tiket KRL untuk ‘orang kaya’

Tempo hari, Kementerian Perhubungan sempat mengeluarkan wacana pembedaan harga tiket Commuter Line (KRL) yang menggegerkan publik.

Pasalnya, harga tiket moda transportasi yang ditumpangi ratusan ribu warga aglomerasi ibu kota per harinya itu rencananya akan dibedakan berdasarkan kelompok pendapatan para pengguna. Mereka yang dianggap cukup ‘kaya’, atau berasal dari golongan ekonomi kelas menengah atas, harus membayar tiket lebih mahal. Tujuannya, agar skema subsidi public service obligation (PSO) lebih tepat sasaran dan dinikmati oleh mereka yang betul membutuhkan.

Ini menimbulkan banjir komentar warganet, yang kebanyakan kurang sepakat dengan ide ini. Sebab, sebagai moda transportasi massal, KRL mestinya bisa dinikmati merata oleh semua kalangan.

The Conversation Indonesia berbicara dengan dua orang pakar terkait rencana pembedaan tiket KRL ini, dan mendaftar sejumlah masalah yang akan terjadi jika wacana ini betul diterapkan.

1. Siapa mereka yang dianggap kaya?

Menurut Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), masalah pertama yang mendasar adalah terkait pendataan. Pertama, bagaimana pemerintah menerapkan studi kelayakan untuk memastikan bahwa harga tiket baru akan sesuai dengan kebutuhan menutup subsidi. Jika kenaikannya tidak seberapa, bisa jadi kebijakan ini tak ada gunanya diterapkan. Jika kenaikannya terlalu tinggi, ini berlawanan dengan semangat transportasi publik yang bisa dimanfaatkan semua orang.

Pendataan soal kelas pendapatan dari pemerintah juga kerap tak bisa diandalkan, misalnya terkait penerima bantuan sosial. Menurut Adinda, ini menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana pemerintah mengukur mereka yang dianggap kaya?

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dalam keterangan resminya pada akhir tahun lalu, menyebut bahwa penumpang kaya yang naik KRL adalah mereka yang berdasi.

“Jadi nanti yang sudah berdasi, kemampuan finansialnya tinggi, harus bayar lebih tinggi. Kalau yang average, sampai 2023 kita rencanakan tidak naik,” ujarnya.

Entah berdasi ini metafora atau sungguhan, yang jelas belum ada kepastian seperti apa kelas sosial ini akan ditentukan.

Menurut Adinda, pembedaan ini sulit diberlakukan mengingat dalam kondisi resesi global sekarang, orang-orang dihadapkan pada ketidakpastian. Bisa saja status ekonomi mereka berubah sewaktu-waktu.

Belum lagi, kebijakan macam ini berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial dan entitlement (merasa berhak) di dalam gerbong, entah dari mereka yang membayar lebih atau yang menerima subsidi, karena merasa transportasi publik ini ditujukan untuk mereka.

2. Kebijakan diskriminatif, tapi mutu layanan?

Menurut Adinda, wajar jika harga tarif layanan publik diperbaharui secara berkala sesuai dengan kebutuhan.

“Yang jadi masalah adalah jika kebijakan yang diterapkan bersifat diskriminatif atau merugikan satu kelompok tertentu,” ujarnya.

Sebab, isu yang dibahas adalah terkait dengan transportasi publik yang digunakan penglaju, bukan transportasi jarak jauh seperti kereta antar-kota atau pesawat yang umum dibagi berdasarkan kelas.

“Tentu saja ada mereka yang berpikir bahwa ini (membayar mahal untuk menutup subsidi) adalah sedekah. Tapi ada juga mereka yang sudah membayar lebih dan berharap ada perbaikan layanan, ga bisa gitu-gitu aja,” kata Adinda. Ini misalnya dengan membuat gerbong jadi lebih nyaman, atau menyediakan gerbong khusus yang tak saja aman untuk perempuan namun juga mereka yang berkebutuhan khusus.

3. Beralih ke transportasi pribadi

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pemerintah menetapkan harga bagi mereka yang berasal dari golongan yang dianggap sejahtera. Menurut Rendy A. Diningrat, peneliti senior SMERU Research Institute, masalah akan muncul jika gap-nya terlalu tinggi.

“Kalau gap-nya terlalu tinggi, ini bisa membuat orang beralih ke transportasi pribadi lagi. Karena, misalnya, kalau ditotal-total, uang yang mereka keluarkan untuk ke tempat kerja atau sekolah ternyata lebih besar daripada untuk membeli bensin kendaraan pribadi,” terang Rendy.

Apalagi, integrasi lahan dan simpul transportasi publik di Indonesia belum baik. Tinggal berjauhan dengan tempat kerja, masyarakat kerap harus mengeluarkan ongkos untuk mencapai simpul transportasi publik terdekat dari rumah, untuk mencapai simpul transportasi publik berikutnya, hingga dari stasiun menuju tempat tujuan. Naiknya tarif KRL akan membuat ongkos ini semakin mahal dan membuat orang beralih dari moda tersebut.

Hal ini, menurutnya, menimbulkan pertanyaan akan keseriusan pemerintah untuk mengurai kemacetan dan mendorong penggunaan moda transportasi umum.

4. Dampak ekonomi kemacetan

Menurut prediksi Bappenas pada 2018, biaya kemacetan Jakarta pada 2020 mencapai Rp 67 trilun per tahun. Biaya itu terjadi akibat bahan bakar yang terbuang percuma dan waktu yang molor akibat terlalu lama di jalan.

Dengan berpindahnya sebagian pengguna KRL ke kendaraan pribadi, Rendy berpendapat ongkos ini akan meningkat lagi.

Tapi bukan sekadar biaya materiil yang dipertaruhkan. Rendy memaparkan ada ongkos non-materiil yang juga perhitungan, misalnya bagaimana ketangguhan pengguna jalan dalam menghadapi kemacetan sehari-hari. Sebab, ini bisa berpengaruh ke kesehatan mental pekerja yang bisa menurunkan produktivitas di kemudian hari.

5. Target subsidi tak tercapai

Menurut Rendy, dengan potensi dampak seperti ini, kebijakan pembedaan harga ini bisa jadi kontra produktif. “Kalau pengguna KRL beralih ke kendaraan pribadi, maka cita-cita atau keinginan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi bisa tak tercapai karena pengguna KRL-nya jadi berkurang,” tegasnya.

Rendy menyatakan bahwa kita patut mempertanyakan studi yang dilakukan pemerintah sehingga memutuskan untuk menambal subsidi dengan menaikkan tarif untuk masyarakat ‘sejahtera’. Padahal di banyak tempat di dunia – seperti di London (Inggris), atau di Los Angeles dan Washington D.C. (Amerika Serikat) – justru memberi subsidi besar-besaran demi meningkatkan mobilitas warganya, terutama pensiunan atau penyandang disabilitas.

Adinda pun turut mempertanyakan persoalan subsidi ini. Menurutnya, jika pemerintah membutuhkan pendanaan, kerja sama dengan swasta bisa jadi pilihan.

“Pemerintah seharusnya lebih kreatif dalam mencari pendapatan, misalnya dengan melibatkan pihak swasta,” ujar Adinda. Melibatkan pihak swasta, seperti yang terjadi di banyak negara, tidak hanya bisa mendongkrak pendapatan tapi juga berpotensi meningkatkan mutu layanan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now