Menu Close

Pandemi COVID-19 menunjukkan kerja dari rumah memungkinkan bagi ASN

Walaupun dimulai karena “terpaksa” sistem kerja dari rumah bagi ASN ternyata bisa saja dilaksanakan. www.shutterstock.com

Di tengah kondisi darurat pandemi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) membuat kebijakan strategis tentang kerja dari rumah (WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN).

Kebijakan tersebut diperpanjang hingga 13 Mei 2020 karena mempertimbangkan kesehatan masyarakat dan kondisi bencana nasional.

Bila situasi belum membaik, kebijakan WFH bagi ASN mungkin bisa kembali diperpanjang.

Bahkan sebelum wabah COVID-19 menyerang, pemerintah sudah mulai mengenalkan konsep kerja dari rumah bagi ASN sebagai arah kerja birokrasi yang lebih produktif dan fleksibel.

Dalam beberapa studi, aktivitas WFH terbukti memberikan manfaat besar dari mulai meningkatkan produktivitas, meningkatkan kepuasan kerja, memperkuat keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi, mengurangi ongkos operasional sampai mereduksi dampak global warming karena minimalisasi penggunaan transportasi.

Namun, terdapat beberapa pihak yang merasa para aparatur tidak siap untuk menerapkan kerja dari rumah karena dinilai belum siap.

Meski dimulai dengan terpaksa dan mengalami banyak kendala, pengalaman kerja dari rumah bagi ASN selama lebih dari tiga minggu membuktikan bahwa praktik ini bisa saja dilaksanakan.

Pengalaman ini bisa dijadikan contoh pembelajaran bagi para aparatur dan pemimpin birokrasi di Indonesia untuk menyiapkan transisi kerja konvensional ke kerja digital.

Membuang pekerjaan yang tak perlu

Pengalaman beberapa minggu ini bisa menjadi catatan untuk menelusuri kekurangan dan kelebihan dari format kerja dari rumah berdasarkan bukti-bukti yang kuat.

Pemerintah, melalui inisiasi Kemenpan-RB yang ditindaklajuti oleh semua lini birokrasi, bisa mulai menyusun daftar pekerjaan di berbagai level dalam setiap unit kerja yang bisa dilakukan dari rumah.

Di tataran operasional, para aparatur sendiri dapat mengindentifikasi pekerjaan di lingkungan birokrasi yang ternyata termasuk pekerjaan yang tidak berguna (bullshit jobs).

David Graeber, seorang antropolog dari Amerika menjelaskan bullshit jobs sebagai suatu pekerjaan yang andai dihilangkan tidak akan memberikan dampak sama sekali. Salah satu kategori bullshit jobs menurut Graeber adalah adalah pekerjaan-pekerjaan yang bersifat administratif, tapi sebetulnya tidak begitu diperlukan.

Dalam hal ini, birokrasi di Indonesia masih didominasi oleh jabatan administratif, sehingga komposisinya tidak ideal dan tercipta disorientasi pekerjaan yang menyebabkan birokrasi tidak bisa berlari cepat. Pada dasarnya, kerja administratif masih diperlukan, namun harus diatur sesuai dengan kebutuhan organisasi dan kualifikasi pegawai.

Kerja digital dapat menjadi faktor pendorong yang melahirkan pekerjaan-pekerjaan berdasarkan keahlian spesifik dalam tubuh birokrasi.

Hal ini senada dengan rencana pemerintah yang hendak menambah peran tenaga fungsional yang memiliki tugas utama memberikan pelayanan berdasarkan pada keahlian serta keterampilan tertentu yang fungsinya diperlukan dalam tugas-tugas pokok organisasi.

Membagi kerja di rumah dan kantor

Skema WFH tidak lantas membuat semua pekerjaan dibawa ke rumah. Kerja tatap muka tetap utama di lingkungan birokrasi apalagi yang fungsinya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat.

Oleh karena itu, birokrasi pemerintahan perlu melakukan pemetaan berdasarkan jenis, level dan unit kerja yang bisa dilakukan secara jarak jauh.

Pemerintah kemudian bisa menyusun proposal jadwal kerja. Misalkan, dalam satu bulan kerja, ASN bisa bekerja 1/3 dari rumah dan 2/3 bekerja biasa di kantor yang dilakukan secara rotasi dan sesuai dengan kebutuhan riil di unit kerja. Upaya ini penting untuk memperhitungkan keseimbangan kerja dan hidup para pegawai.

Kemenpan-RB telah mengeluarkan protokol WFH sebagai bentuk kontrol ASN agar praktik WFH tetap berjangkar pada akuntabilitas. Protokol yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan institusi tersebut berisi berbagai hal terkait kerja dari rumah, termasuk presensi daring hingga rencana kerja tugas kedinasan sesuai dengan sasaran dan target kinerja.

Transisi budaya kerja

Untuk mengadopsi sistem kerja WFH bagi ASN, pemerintah juga harus memperhatikan proses transisi dari budaya kerja yang konvensional.

Selama ini birokrasi terjebak dalam belenggu paradigma yang meyakini disiplin kerja terjadi karena adanya pengawasan langsung sehingga kehadiran fisik sangat diperlukan. Namun, kewajiban selalu berada di balik meja kerja adalah pendisiplinan semu karena hanya menjadi ajang formalitas semata.

Sistem kerja seperti itu menurut sosiolog abad 20 asal Jerman Max Weber merupakan upaya untuk menciptakan mesin birokrasi yang rasional, efisien, dan rutin dengan langkah formalisasi aturan dan prosedur dengan membangun hierarki dan membentuk spesialisasi kerja.

Namun menurut sosiolog asal Rusia Vadim Kvachev, birokrasi Weberian tidak relevan dengan kerja pemerintahan di abad 21 karena melahirkan kepatuhan yang dikontrol oleh instrumen kekuasaan militer dalam masyarakat.

Pakar administrasi publik dari Amerika Ralph P. Hummel menjelaskan bahwa kini birokrasi perlu dilihat dari perspektif postmodern.

Dalam hal ini, di tengah era disrupsi, bentuk post-birokrasi dari peneliti administrasi publik terkemuka asal Kanada Kenneth Kernaghanm menjadi layak dipertimbangkan.

Post-birokrasi merupakan antitesis dari paradigma birokrasi modern yang terlalu dikendalikan oleh aturan dan struktur yang kaku. Gagasan ini berupaya mempromosikan kebebasan dan birokrasi yang lebih demokratis. Alih-alih fokus pada aturan yang kaku, post-birokrasi fokus pada manusia dengan menggunakan struktur horizontal serta kekuatan yang terdesentralisasi untuk memberdayakan pegawai.

Berbeda dengan birokrasi Weberian yang menekankan prosedur, post-birokrasi justru memberi prioritas pada hasil yang dipertanggungjawabkan.

Potensi ke depan

Pandemi COVID-19 telah menciptakan dan memaksakan ragam kebiasaan baru bagi masyarakat global. Semua pihak belajar dan beradaptasi dalam situasi krisis ini, tidak terkecuali bagi lembaga pemerintahan.

Para aparatur dipaksa untuk berlatih bekerja dengan situasi baru. Bekerja di rumah, melakukan komunikasi virtual melalui aplikasi meeting, saling berbagi laporan dengan cepat melalui gawai, bekerja dalam deadline terbatas sambil menjaga jarak fisik (physical distancing). Proses ini akan menjadi pembelajaran dan membangun kesadaran baru di masa depan.

Dalam jangka pendek, pekerjaan kolektif kita sekarang adalah bagaimana kita bisa bekerja sama dalam pencegahan penyebaran COVID-19 agar korban tidak semakin bertambah. Dan WFH adalah bagian penting dari ikhtiar tersebut.

Semoga bumi kembali pulih sehingga di waktu yang akan datang WFH bisa dikerjakan lebih khidmat tanpa perlu adanya wabah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now