Menu Close

Panel ahli: Penundaan pemilu melanggar konstitusi dan akan sebabkan instabilitas politik

Simulasi pemilu kepada siswa. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memenangkan gugatan gugatan perdata Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengulang seluruh tahapan pemilihan umum (pemilu) 2024 sekaligus menunda tahapannya sampai Juli 2025.

Partai Prima adalah salah satu partai politik yang tidak lolos tahapan verifikasi administrasi calon peserta Pemilu 2024 oleh KPU pada Oktober 2022 lalu.

Partai Prima merasa dirugikan atas keputusan KPU yang menyatakan bahwa mereka tidak memenuhi syarat dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual, sehingga mereka melayangkan gugatan untuk meminta tahapan Pemilu 2024 diulang dari awal sebagai upaya untuk tetap menjadi peserta pemilu.

Putusan ini sontak membuat banyak pihak, mulai dari publik, jajaran pemerintah, bahkan partai-partai politik lainnya, tercengang. Ini karena tahapan pemilu sendiri sudah dimulai. Desember lalu, KPU sudah menetapkan 17 partai yang akan mengikuti kontestasi politik nasional tersebut.

PN Jakarta Pusat kini tengah disoroti dan mendapat banyak kritik dari para pakar hukum dan politik, yang serentak menyatakan bahwa putusan ini mudah dipatahkan, melanggar konstitusi dan akan menyebabkan instabilitas politik yang signifikan.

Pengadilan Negeri tidak punya otoritas memutus perkara pemilu

Titi Anggraini - Pakar Hukum Kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Putusan tersebut jelas bertentangan dengan Konstitusi dan produk hukum kepemiluan lainnya.

Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 sudah mengatur bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap lima tahun sekali. Menundanya sama saja dengan secara terbuka melanggar amanat konstitusi.

Kemudian ada Pasal 470 dan 471 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatur bahwa dalam hal penegakkan hukum pemilu, termasuk soal pendaftaran dan verifikasi partai politik, saluran yang bisa ditempuh oleh partai politik hanyalah melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Jika tidak selesai, maka upaya hukumnya hanya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Jadi, sebenarnya tidak ada mekanisme perdata melalui Pengadilan Negeri. Seharusnya dari awal, PN sudah menolak ketika Partai Prima mengajukan perkara ini karena memang bukan kompetensinya. PN tidak punya wewenang mengadili perkara semacam ini, apalagi sampai memerintahkan untuk menunda pemilu hingga 2025.

Ini tampak seperti upaya menunda pemilu via jalur perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial harus proaktif untuk memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara ini

Feri Amsari - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas

Putusan penundaan Pemilu 2024 oleh PN Jakarta Pusat melanggar ketentuan UU Pemilu.

Dalam UU Pemilu, konteks penundaan dikenal dalam bentuk susulan dan lanjutan. Artinya, tidak boleh ada penundaan seluruh tahapan secara nasional. Penundaan dalam bentuk susulan pun hanya diperbolehkan jika ada hal-hal yang bersifat genting, misalnya karena terjadi bencana di daerah tertentu. Dan itu hanya boleh dilakukan di tempat bencana itu saja, di tempat lain tetap berjalan tahapan seperti biasa.

Anehnya, Partai Prima menggugat hak keperdataan mereka yang mereka anggap telah dilanggar oleh KPU sehingga membuat mereka tidak lolos verifikasi faktual. Jika demikian, maka yang harus diperbaiki adalah hanya soal hak keperdataan dan kaitannya dengan tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual saja.

Ini semua tidak ada korelasinya dengan penundaan pemilu secara nasional.

Putusan ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Sebab, demokrasi kita bisa terganggu kalau ada pengadilan negeri atau pengadilan bisa yang melanggar Konstitusi.

Jangan-jangan, ini bukti adanya gerakan dari pihak-pihak tertentu yang memang dari awal menginginkan penundaan pemilu 2024.

Berimplikasi pada instabilitas politik

Noory Okthariza - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

Sulit untuk tidak melihat putusan ini sebagai bagian dari upaya kelompok-kelompok yang inginkan pemilu ditunda. Jauh sebelum perkara ini muncul sudah banyak mobilisasi dan kelompok-kelompok yang memainkan isu yang tujuannya adalah menunda Pemilu 2024.

Dulu pernah ada yang mendorong perpanjangan masa jabatan presiden, ada yang menginginkan amandemen terhadap konstitusi, ada yang meminta perubahan garis besar haluan negara (GBHN), sampai ada yang minta perubahan aturan daerah agar Gubernur ditunjuk oleh DPRD saja.

Ini semua digerakkan oleh kelompok-kelompok terorganisir dan sistematis, dan ini harus dianggap serius. Banyak yang sudah dilakukan oleh kelompok-kelompok ini, dan kali ini mereka masuk lewat pintu pengadilan.

Semakin mendekat tahun politik, isu-isu ini semakin dijadikan komoditas untuk political bargain.

Jika sudah begini, bahkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun bisa menghadapi dilema untuk bersikap, dan sikap apa pun yang ia tunjukkan akan berimplikasi besar.

Jika Jokowi secara normatif meminta publik menghormati putusan pengadilan dan meminta KPU ajukan banding, artinya proses Pemilu harus tetap berjalan sambil menunggu hasil putusan banding. Bayangkan jika proses pemilu berjalan dalam situasi ketidakpastian hukum.

Tapi jika Jokowi bersikap bahwa keputusan pengadilan harus dilawan dan KPU harus tetap menjalankan tahapan pemilu sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, maka pemerintah bisa dianggap gagal hukum.

Terlebih lagi, penundaan Pemilu 2024 akan menciptakan instabilitas politik, karena kemudian akan ada perpanjangan masa jabatan para pejabat negara. Ini sangat tidak menguntungkan bagi partai politik yang ada di luar pemerintahan. Dalam pemilu, penting adanya kesetaraan politik yang adil bagi para kontestan pemilu, baik partai maupun kandidat.

Kemudian, jika Pemilu 2024 ditunda, akan ada kegaduhan politik di tingkat nasional, karena sekarang saja partai politik sudah mulai menyetor nama-nama calon anggota legislatif (caleg) mereka ke KPU. Belum lagi akan muncul ketidakpercayaan investor karena ketidakpastian politik, dan ini akan merugikan iklim investasi ke depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now