Menu Close
Pemimpin-pemimpin yang komunikatif dan responsif bisa jadi elemen utama pendorong partisipasi warga. www.shutterstock.com

Pemimpin responsif kunci dalam mendorong partisipasi warga

Pemerintah pusat di Indonesia tampaknya mengerti, setidaknya secara prinsip, bahwa komunikasi antara pemerintah dan warga sebaiknya berjalan dua arah. Namun, penelitian kami menunjukkan pemerintah tidak selalu menanggapi aduan dari warganya, sehingga komunikasi terkadang berjalan satu arah.

Di 2011 pemerintah menerapkan sistem pelaporan aduan bernama LAPOR! sebagai bagian dari program Open Government Indonesia. Sistem ini mengizinkan warga untuk mengirimkan laporan melalui situs web, pesan singkat, dan aplikasi mobile.

LAPOR! bertujuan untuk mendorong keterbukaan dan transparansi pemerintah untuk meningkatkan partisipasi warga dalam kegiatan politik. Bagi pejabat publik LAPOR! berguna untuk meningkatkan respons mereka terhadap berbagai persoalan publik. Sementara, bagi warga, mereka dapat menggunakannya untuk memastikan pejabat akuntabel.

Tetapi, agar sistem ini sungguh-sungguh bekerja dan menciptakan kepercayaan publik, pemerintah harus belajar dari kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan awal sistem ini. Pemerintah pusat juga dapat mendengar pengalaman dari para pemimpin lokal sebagai rujukan.

Kisah dua kabupaten

Di 2012, pemerintah pusat memulai uji coba LAPOR! di tiga wilayah, termasuk Indragiri Hulu, sebuah kabupaten di Riau. Beberapa daerah lain juga menerapkan LAPOR! lewat inisiatif mereka sendiri. Bojonegoro, Jawa Timur, adalah salah satu di antaranya.

Penelitian kami mencari tahu apakah LAPOR! bekerja dengan baik di tingkat lokal baik di Indragiri Hulu dan Bojonegoro. Kami menemukan bahwa implementasi LAPOR! masih jauh dari memuaskan.

Tak banyak orang di Indragiri Hulu tahu tentang sistem ini. Hanya 26% dari orang yang kami survei di 2016 mengetahui keberadaannya.

Tampaknya pemerintah daerah Indragiri Hulu enggan menanggapi keluhan warga. Sebagai contoh, tahun 2015 Indragiri Hulu menerima 250 keluhan, tapi hanya 64,7% yang ditanggapi.

Meski LAPOR! ada untuk masyarakat, interaksi warga Indragiri Hulu dengan pemerintah daerah sangat terbatas. Beberapa warga bahkan tak menyadari hak-hak dasar mereka sebagai warga. Contohnya, banyak yang tidak memiliki kartu identitas sehingga tidak dapat menerima pelayanan publik seperti jaminan kesehatan.


Baca juga: Kebijakan kilat, pemimpin inovatif, dan nasib demokrasi Indonesia


Sementara, di Bojonegoro warga dan pemerintah aktif berkomunikasi satu sama lain. Bupati Bojonegoro, Suyoto, tak hanya mengenalkan LAPOR! ke penduduknya tapi juga membuat banyak program yang memungkinkan warga berhubungan langsung dengannya.

Setiap minggu, Suyoto membuka rumahnya untuk “Dialog Jumat”. Di sini warga dapat dengan bebas mengekspresikan hal-hal yang mengganggu pikiran mereka secara langsung ke bupati dan pejabat lainnya.

Tak perlu mendaftar untuk datang ke Dialog Jumat, warga tinggal datang di hari itu. Kegiatan ini juga disiarkan secara langsung di situs Dialog Jumat dan lewat Radio Malowopati.

Dengan populasi 1,2 juta jiwa, pengguna lapor di Bojonegoro sampai dengan 2016 mengirimkan 1.671 aduan. Survei kami di 2016 menunjukkan 44% warga mendapat balasan dari pemerintah daerah berkait keluhan mereka dalam waktu tujuh hari. Namun, meski dibalas warga tidak pernah mendapatkan tindak lanjut dari badan pemerintahan terkait. Jadi masih diperlukan perbaikan dalam hal tindak lanjut pemerintah.

Selain LAPOR! dan Dialog Jumat, ada kelompok blogger yang bertindak sebagai jurnalis warga yang membentuk Kelompok Informasi Masyarakat. Kelompok ini bertujuan meningkatkan kerja sama antara pemerintah dengan komunitas lokal.

Pelbagai arena ini memungkinkan warga untuk didengar oleh pemerintah, dan menciptakan rasa saling percaya dan mengurangi jarak antara kedua belah pihak. Di Bojonegoro, tanggapan pemerintah juga meningkatkan antusiasme warga untuk mengirimkan aduan—dan berpartisipasi.

Mengeluh sebagai bentuk partisipasi

Mungkin ini secara naluriah terdengar aneh, tapi sebenarnya mengeluh atas pelayanan publik merupakan salah satu bentuk partisipasi warga. Menyampaikan aduan dapat menjadi penopang demokrasi dan mendorong akuntabilitas pemerintah.

Dalam konteks sejarah Indonesia, mengadu kepada pemerintah maknanya lebih dalam dari sekadar berpartisipasi. Warga yang menyampaikan aduan memiliki kekuatan untuk mengubah pemerintah.

Kuatnya budaya feodal sebelum kemerdekaan serta rezim tangan besi di bawah Orde Baru, menjadikan aduan sebuah definisi baru dalam relasi warga dengan pemerintahnya. Singkat kata, menyampaikan aduan juga mengubah peran serta ekspektasi kedua belah pihak.

Masa transisi selepas jatuhnya rezim Orde Baru adalah periode latihan bagi negara untuk menghormati dan melindungi kebebasan warga dalam berekspresi dan mengungkapkan pendapat. Bagi warga, masa ini adalah saatnya berlatih menuntut hak-hak mereka.

Agar demokrasi benar-benar masuk ke dalam kehidupan sehari-hari, warga harus memanfaatkan hak-hak mereka. Mengadu atas pelayanan publik hanya satu diantaranya.

Pemimpin itu penting

Berbagai cerita dari Indragiri Hulu dan Bojonegoro menunjukkan bahwa menyiapkan sistem pelaporan berbasis teknologi informasi untuk membuka saluran komunikasi antara pemerintah dan warga tidak cukup. Sistem seperti ini akan gagal membangun rasa percaya jika birokrasi tidak cepat tanggap.

Meski adanya LAPOR! tak menjamin tanggapan kelembagaan yang memuaskan, mekanisme keluhan seperti ini mengizinkan warga untuk menyalurkan aspirasi mereka ke pemerintah. Hal ini merupakan satu langkah dalam membangun rasa saling percaya.

Namun, seperti yang terungkap dalam penelitian kami, pemimpin yang komunikatif dan cepat tanggap bisa menjadi elemen utama pendorong warga untuk berpartisipasi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now