Menu Close
Kemacetan parah karena banyak kendaraan pribadi di jalan raya di Jakarta, Januari 2017. Asia Travel/Shutterstock

Pemindahan ibu kota: Keluar dari masalah akut Jakarta dan pemerataan ekonomi di luar Jawa

Rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke daerah lain–opsinya Palangka Raya, Kalimantan Tengah atau Balikpapan, Kalimantan Timur–makin menguat setelah Presiden Joko Widodo menyatakan pemindahan tersebut sangat mendesak untuk pemerataan ekonomi ke luar Pulau Jawa dan mengurangi beban Jakarta yang telah menjadi pusat pemerintahan, pusat bisnis, perdagangan dan jasa sejak Indonesia merdeka.

Untuk menunjukkan keseriusan tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menyiapkan time line untuk mewujudkan pemindahan ibu kota: tahun depan fase perencanaan dan penyusunan desain, 2021 peletakan batu pertama, pembangunan kantor-kantor pusat pemerintahan, rumah dinas, dan sarana pendukung pada 2021-2024, dan 2024 mulai proses pemindahan.

Pemerintah merencanakan untuk merancang ibu kota baru sebagai kota ramah lingkungan, layak huni, dan inklusif, dengan kedatangan penghuni awal sekitar 800 ribu orang (200 ribu pegawai inti eksekutif, legislatif, yudikatif, dan 600 ribu anggota keluarga mereka). Ibu kota baru ini direncanakan berbeda dengan Jakarta yang rawan banjir, kualitas air dan udara buruk, hingga kemacetan parah yang merugikan ekonomi hingga Rp100 triliun per tahun.

The Conversation mencatat pandangan beberapa ahli yang berbicara mengenai rencana pemindahan ibu kota dari sisi keamanan geografis, potensi pengembangan pusat ekonomi baru, dan dampak sosial dalam “Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 16 Mei 2019.

Minim gempa bumi di Kalimantan

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Danny Hilman Natawidjaja mengatakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan merupakan salah satu mitigasi bencana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar bagi ibu kota.

Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilewati oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik: lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Potensi gempa, dan sudah kerap terjadi, lebih sering terjadi di Pulau Sumatra, Pulau Jawa (termasuk Jakarta), Nusa Tenggara sampai Sulawesi. Gempa dahsyat pernah terjadi di Jakarta pada 1780 dan 1834.

Kalimantan, baik Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Timur, merupakan wilayah yang lebih aman dari bencana alam dibanding Jakarta. Wilayah ini potensinya terkena bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api sangat kecil karena posisinya lebih jauh dari batas lempeng yang menyebabkan gempa.

“Di Kalimantan tidak ada gempa bumi dan tsunami,” kata dia. Satu-satunya bencana yang mungkin terjadi di Kalimatan adalah banjir dan kebakaran hutan. Karena itu, sebelum memindahkan ibu kota ke Kalimantan, perlu dipikirkan cara mencegah terjadinya banjir dan kebakaran hutan. Lokasi ibu kota harus dijauhkan dari bencana alam yang potensial mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Pusat Pertumbuhan Baru

Sekitar 57% penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa dan kontribusi perekonomian di pulau ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sekitar 58%. Dari kontribusi terhadap PDB nasional itu, 20% di antaranya disumbang oleh Jakarta dan kota penyangga di sekitarnya. Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa 5,6% per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa yang 4,7%.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi di pusat-pusat pertumbuhan di luar Jawa, terutama di Sulawesi dan Kalimantan. Belanja pemerintah pusat di ibu kota baru juga meningkatkan aktifitas perekonomian di sekitar ibu kota. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara kawasan bagian barat dan timur Indonesia.

Pada tahap awal, pembangunan ibu kota membutuhkan bahan-bahan bangunan untuk membangun gedung-gedung pemerintah, perkantoran, perumahan, dan saran pendukungnya. Yayat Supriatna, dosen Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti Jakarta, mengatakan Kalimantan tidak punya pasir dan batu. “Kalau mau membangun harus mendatangkan pasir dan batu dari Palu dan Donggala, Sulawesi. Dari bahan bangunan saja, pemindahan ibu kota akan menghubungkan Sulawesi dan Kalimantan,” ujarnya.

Setelah pindah, para penduduk ibu kota baru membutuhkan logistik seperti sayur mayur. Kebutuhan sayur mayur ini bisa dipasok dari Sulawesi Selatan. Bila itu terjadi akan menjadi bisnis baru antar-pulau dan kebutuhan diperkirakan meningkat seiring makin meningkatknya jumlah penduduk di sana.

Kalau tidak dipasok dari luar Pulau, menurut Yayat, pemerintah harus membangun desa-desa di sekitar ibu kota baru agar mereka bisa memasok kebutuhan sayuran untuk penduduk ibu kota.

Bila pemerintah membangun kantor-kantor lembaga negara dan sarana pendukungnya, swasta harus didukung untuk membangun restoran, hotel, dan pusat bisnis baru di kota penyangga ibu kota. Menurut Yayat, kedatangan sekitar 800 ribu orang dari kelas menengah baru dengan penghasilan tinggi akan menjadi daya tarik yang kuat bagi sektor bisnis dan akan menggerakkan berbagai bisnis di ibu kota baru dan kota penyangga.

Potensi konflik harus diantisipasi

Jumlah penduduk Kalimantan Timur mencapai 3,4 juta orang , dengan hampir mayoritas 30% suku Jawa dan Bugis (18%) dan 82% beragama Islam dan Kristen (16%). Sedangkan di Kalimantan Tengah jumlah penduduk 2,7 juta orang, dengan mayoritas 46% suku Dayak dan Jawa (21%) dan beragama Islam (sekitar 72%) dan Kristen (sekitar19%).

Turro Selrits Wongkaren, Kepala Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengatakan dengan komposisi demografi tersebut ada potensi konflik vertikal (konflik karena pendapatan, pendidikan, dan kelas) dan horizontal (konflik karena agama, suku, dan kelompok) di ibu kota baru ketika ada kesenjangan dengan pendatang kelas menengah dan atas baru sebanyak 800 ribu orang dalam waktu bersamaan. Para pendatang itu mayoritas orang Jawa dan Muslim, dengan profil pendidikan tinggi dan pendapatannya menengah ke atas.

Sementara penduduk setempat, berdasarkan lama rata-rata sekolah perkotaan yang mencapai 9,63 tahun di Kalimantan Tengah dan 9,6 tahun di Kalimantan Timur memiliki rata-rata tingkat pendidikan kelas 1 SMA.

Karena itu, Turro menekankan bahwa ibu kota baru jangan mengulangi lagi seperti Jakarta yang “menyingkirkan” orang Betawi ke pinggiran baik dari sisi pendapatan, sosial, maupun pendidikan. Karena itu, kata dia, dalam proses membangun ibu kota baru, pemerintah pusat harus melibatkan masyarakat setempat untuk merumuskan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat agar mereka juga memperoleh keadilan dan kesejahteraan.

Pada akhirnya, memindahkan ibu kota tidak hanya memindahkan perkantoran dan gedung-gedung pusat pusat pemerintahan, tapi juga memindahkan kehidupan sehingga banyak variabel yang harus dikaji agar tidak memunculkan masalah baru pada masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,200 academics and researchers from 4,952 institutions.

Register now