Menu Close

Peneliti: perpanjangan masa jabatan, penghargaan presiden dapat mengganggu independensi hakim MK

Presiden Joko Widodo bersama hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta.
Hafidz Mubarak/Antara Foto

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober menambah masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi melalui revisi kilat UU Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut para peneliti hukum, prinsip hukum yang tidak boleh berlaku surut membuat aturan baru ini seharusnya tidak berlaku bagi para hakim MK yang saat ini sedang menjabat.

Menurut Agil Oktaryal, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, penambahan masa jabatan hakim MK, ditambah dengan pemberian Bintang Mahaputera kepada enam hakim MK awal bulan ini berpotensi mengganggu independensi hakim MK yang bertugas memutuskan permohonan tinjauan-tinjauan hukum undang-undang.

“[Muncul] dugaan perubahan ini adalah bentuk barter dengan beberapa perkara kontroversial yang sedang diuji di MK, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja, termasuk UU MK sendiri,” tambah Agil.

Rizal mengatakan bahwa majelis yang sedang menjabat diangkat sebelum revisi UU MK dilakukan. “Sehingga masa jabatan juga harus sesuai UU lama,” tutur Rizal.

Tidak menjawab urgensi

Melalui revisi ketiga UU MK, para hakim MK mendapatkan tambahan masa jabatan hakim dari 5 tahun menjadi menjadi 15 tahun dan mengubah usia pensiun hakim menjadi 70 tahun.

Muhammad Rizaldi, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), menganggap penambahan masa jabatan hakim konstitusi wajar kalau melihat masa jabatan hakim di negara lain yang lebih lama seperti Amerika Serikat (seumur hidup) dan Australia (pensiun usia 70 tahun).

Akan tetapi, Agil Oktaryal, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menganggap bahwa perubahan yang dilakukan tidak memenuhi urgensi kebutuhan MK.

Agil menjelaskan ada hal-hal yang lebih penting untuk ditangani, misalnya penguatan peran dewan etik MK, standar rekrutmen hakim konstitusi, dan aturan kepatuhanan atas putusan MK.

MK memiliki dewan etik hakim konstitusi yang mempunyai wewenang mengawasi kinerja hakim MK.

Menurut Agil, kerja dewan etik belum efektif karena sifatnya yang tidak permanen dan bekerja bila ada laporan, berbeda dengan Komisi Yudisial yang terus mengawasi peran hakim.

Sejauh ini, dewan etik telah menerima berbagai laporan terkait kinerja dan perilaku hakim, misalnya kasus hakim Arief Hidayat yang diduga melanggar kode etik.

Lebih lanjut, Agil menekankan penguatan peran dewan etik bisa membuat pengawasan hakim MK menjadi lebih ketat. Hal ini bisa dilakukan melalui revisi UU MK dan menambahkan perubahan sistem kerja yang sama dengan KY untuk bisa mengawasi secara berkala kinerja dari hakim konstitusi.

Jumlah anggota dewan yang baru terdiri dari tiga orang juga dapat ditambah untuk memperkuat pengawasan, kata Agil.

Revisi terbaru UU MK tidak membahas hal-hal tersebut dan lebih fokus pada usia minimal, lama jabatan ketua-wakil ketua, kedudukan dan wewenang hakim, ketentuan baru dalam majelis kehormatan MK, dan transparansi proses rekruitmen hakim.

Penghargaan mengganggu integritas hakim

Agil berpendapat bahwa revisi UU MK dan pemberian penghargaan sebagai upaya mempengaruhi independensi hakim.

“Independensi itu terbagi dua, institusi dan personal. Sekarang keduanya sudah diganggu oleh presiden dan DPR. Dampaknya tentu hakim semakin tidak independen dalam memeriksa dan memutus perkara,” tegas Agil.

Maria Isabel Tarigan dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mempertanyakan waktu yang dipilih pemerintah untuk pemberian penghargaan terhadap hakim MK.

“Sebenarnya pemberian penghargaan ke hakim itu tidak salah, tapi memang timing (waktu) pemberian penghargaan tersebut menimbulkan pertanyaan, karena momentumnya juga sedang ada proses pengujian UU yang kontroversial.”

Pemberian penghargaan ini dinilai oleh Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menguntungkan hakim. Sebab, penerima akan mendapat fasilitas negara seperti santunan bagi ahli waris bersumber dari anggaran negara.

YLBHI mendesak para hakim mengembalikan penghargaan yang didapatkan.

Perkuat dari hulu ke hilir

Para peneliti sepakat bahwa perbaikan dari sistem institusi dan personal hakim diperlukan. Mereka mendorong perbaikan sistem rekruitmen hakim.

“Misal dalam pemilihan pansel (panitia seleksi) jangan yang ada afiliasi politik. Proses di DPR juga kalau hanya mengulang fit and proper test yang ada di pansel sebaiknya tidak usah ada,” menurut Rizal.

“Menurut saya yang ideal adalah membentuk tim seleksi dan prosesnya terbuka untuk umum dan kalangan manapun sesuai kualifikasi,” tutup Agil.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now