Menu Close
Suasana gedung perkantoran yang diselimuti asap putih di Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Pengendalian polusi udara di Jakarta harus dilakukan lintas provinsi, dan Kementerian Lingkungan mesti menjadi pangkalnya

Udara bersih masih belum terpenuhi di DKI Jakarta. Permasalahannya juga cukup rumit karena adanya pencemaran udara lintas daerah dari provinsi Banten, dan provinsi Jawa Barat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya menjadi institusi yang menyelesaikan masalah ini, salah satunya dengan melakukan supervisi kegiatan inventarisasi oleh ketiga daerah tersebut. Hal ini dikuatkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya dalam gugatan pencemaran udara yang diajukan koalisi masyarakat sipil.

Inventarisasi emisi adalah kegiatan pengumpulan dan pengolahan informasi besaran emisi dari sumber-sumber pencemar udara, baik yang bergerak (misalnya kendaraan) maupun yang tidak bergerak (pembangkit listrik), yang beroperasi di suatu daerah.

Sayangnya, inventarisasi emisi di Banten dan Jawa Barat masih belum tersedia secara lengkap. Sedangkan di DKI Jakarta, inventarisasi emisi justru dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dan akademisi.

Jika Kementerian Lingkungan tidak turut campur, maka upaya pengendalian pencemaran oleh provinsi justru berjalan sendiri-sendiri sehingga berisiko tidak efektif.

Hempasan polusi dari segala penjuru

Studi oleh tim dari lembaga riset Center for Research of Energy and Clean Air (CREA) menyebutkan, ada sekitar 118 fasilitas industri–termasuk pembangkit listrik–yang beroperasi di Jawa Barat dan Banten menjadi kontributor yang signifikan terhadap pencemaran udara di Jakarta.

Saat musim kemarau, pencemaran udara Jakarta oleh puluhan fasilitas tersebut di area Jawa Barat turut berkontribusi pada penurunan kualitas udara Jakarta. Sedangkan saat musim penghujan, giliran fasilitas yang beroperasi di area Banten yang berkontribusi signifikan pada penurunan kualitas udara ibu kota.

Melalui hempasan angin, Jakarta dikepung polusi Particulate matter (PM) 2.5 yang merupakan polutan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Partikel ini berukuran 2.5 mikron–6,8 kali lebih kecil dibanding rambut manusia.

Video hasil permodelan TAPM/CALPUF yang menunjukkan Jakarta dikepung PM 2.5 dari fasilitas industri di berbagai penjuru.

PM2.5 yang mencemari Jakarta berasal dari lima kota, bahkan lebih. Di antaranya adalah Cilegon dan Tangerang di Banten, serta Karawang Barat, Purwakarta, dan Bandung di Jawa Barat.

Berdasarkan indeks kualitas udara Kedutaan Besar Amerika Serikat, terdapat 27 dan 29 hari pada tahun 2018 dan 2019 di mana jumlah polusi PM2.5 di Jakarta melampaui baku mutu udara ambien Indonesia, sebesar 65 mg/m3 per hari.

Sementara, pada sembilan hari selama 2017-2019, kadar PM 2.5 di Jakarta tercatat sangat buruk–melebihi 80 mg/m3. Angka ini lebih tinggi ketimbang dua provinsi tetangga.

Fenomena ini—-menurut analisis CREA—-kemungkinan terjadi akibat emisi Sulfur Dioksida (SO2), dan Nitrogen Oksida (NOx) juga dihasilkan dari pembakaran batu bara PLTU di Jawa Barat dan Banten. Kedua material pencemar berbahaya tersebut kemudian bertransformasi menjadi PM 2.5 dan terbawa hingga ke kawasan Jakarta. Hal ini terbukti dengan kadar NOx dan SO2 yang tinggi di kawasan industri dan pembangkit listrik di Banten.

Hempasan emisi NO2 dari Banten dan Jawa Barat ke Jakarta pada hari dengan tingkat polusi paling tinggi. Centre for Research on Energy and Clean Air
Hempasan emisi SO2 dari Banten dan Jawa Barat ke Jakarta pada hari dengan tingkat polusi paling tinggi. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA)

Peran Menteri Lingkungan untuk membatasi emisi lintas provinsi

Dua pakar hukum lingkungan, Michael G. Faure dan Roy A. Partain dalam buku “Environmental Law and Economics” berpendapat, perlu ada pelaksanaan kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup lintas batas. Sebab, negosiasi serta insentif politik kerap mempersulit proses koordinasi atau tawar menawar antar-pemerintah daerah.

Aturan perlindungan dan pengelolaan kualitas udara yang berlaku di Indonesia sebenarnya sudah sejalan dengan pandangan dua pakar tersebut. Beberapa regulasi mengatur kewajiban Menteri Lingkungan untuk memperbaiki masalah pencemaran udara lintas batas provinsi.

Misalnya, dalam instrumen perencanaan, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 mewajibkan Menteri Lingkungan Hidup untuk menetapkan Wilayah Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (WPPMU) dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (RPPMU) di suatu kawasan.

Kedua kebijakan ini dapat diberlakukan lintas provinsi, namun tetap dijalankan oleh masing-masing otoritas daerah secara bersama-sama.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga berwenang untuk menetapkan baku mutu emisi untuk sumber tidak bergerak – termasuk PLTU secara umum. Sedangkan di tingkatan teknis, penetapan baku mutu emisi terhadap PLTU tertentu menjadi tugas gubernur.

Pelaksanaan kewenangan ini harus dilandasi kemauan politik agar kebijakan pengendalian pencemaran berjalan seperti yang diharapkan. Terkait hal ini, pemerintah harus belajar dari pengalaman otoritas federal Amerika Serikat.

Pada 1977, pemerintah federal AS menerbitkan regulasi Good Neighbour Provision untuk mencegah suatu negara ‘membuang’ emisi PLTU-nya ke negara bagian lain. Meski implementasinya terhambat hingga tahun 1990, aturan ini dapat menjadi pagar efektif yang membatasi polusi udara di masing-masing negara bagian.

Pemerintah Cina juga melakukan kebijakan serupa melalui kebijakan standar emisi yang sangat ketat (ultra-low emission standard) bagi pembangkit listrik tenaga termal—termasuk PLTU—pada 2014. Kebijakan tersebut membatasi emisi dari PLTU di Cina untuk tiga parameter pencemar udara, yakni SO2 maksimal 35 mg m-3, NOx maksimal 50 mg m-3, dan partikel matrikulat maksimal 10 mg m-3.

Hasilnya, faktor emisi PLTU di Cina menurun signifikan selama tahun 2014 - 2017, yakni penurunan sebanyak 75.33% untuk SO2, 76.03% untuk NOx, dan 83.31% untuk partikel matrikulat.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu memperketat baku mutu emisi yang sudah ditetapkan otoritas provinsi, ini agar polusi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bisa terkendali.

Jika kebijakan ini selaras dari pusat hingga daerah, maka kualitas udara di tiga daerah itu secara perlahan dapat dikendalikan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now