Menu Close

Pentingnya program pensiun sosial: Karena lansia adalah tanggung jawab negara, bukan hanya anak cucu

Seorang lansia menerima pensiun sosial di Venezuela.

Penerapan berbagai program pensiun bagi populasi lanjut usia (lansia) - biasanya diberikan dalam bentuk bantuan sosial - kerap dimaknai sebagai kebijakan yang menggeser peran dan fungsi keluarga dalam “mengurus orang tua”.

Anggapan ini masih tertanam cukup kuat di berbagai negara yang memiliki budaya dan keyakinan bahwa merawat orang tua bagi anak adalah bentuk penghormatan dan balas budi atas kasih sayang, jasa, dan seluruh pengorbanan orang tua mereka. Ini termasuk di Indonesia.

Salah satu praktiknya adalah ketika seorang anak memberikan sejumlah uang kepada orang tuanya secara rutin, terutama pada saat orang tua sudah masuk usia pensiun dan tidak dapat bekerja lagi.

Tidak ada yang salah dengan kebiasaan tersebut. Yang jadi masalah adalah ketika praktik tersebut memunculkan pola pikir bahwa mengurus lansia adalah menjadi domain dan tanggung jawab utama dari keluarga – biasanya anak dan cucu – sehingga mengesampingkan pentingnya peran negara untuk menghadirkan program-program perlindungan sosial yang berfungsi untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi kehidupan para lansia selama menjalani masa tua mereka.

Saat ini, setidaknya ada tiga program sosial dari pemerintah terkait perbaikan pendapatan yang dapat mengakomodasi kelompok lansia, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Bantuan Bertujuan Lanjut Usia (BanTu LU). Dari ketiga program tersebut, hanya BanTu LU yang khusus menyasar lansia, sementara dua lainnya menyasar keluarga miskin secara umum.

Cakupan program-program tersebut juga cukup kecil, yakni 4,5 juta lansia dari total penduduk lansia 24,5 juta jiwa. Penelitian kami pada 2020 menemukan bahwa pendanaan yang ditujukan untuk kelompok lansia, terutama di tingkat daerah, seringkali tidak berkelanjutan, jumlah nominalnya terlalu kecil, dan penerima manfaat yang tidak tepat sasaran.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memperluas program pensiun sosial khusus untuk para lansia saat ini agar mereka memiliki kemandirian dan sumber daya untuk terus berkontribusi dalam hubungan timbal balik di komunitasnya.

Namun sebelumnya, kita perlu terlebih dahulu meluruskan pemahaman yang keliru akan anggapan bahwa mengurus orang tua yang sudah lansia adalah murni tanggung jawab keluarganya.

Pemahaman yang keliru

Kuatnya pengaruh budaya di Indonesia bahwa lansia adalah tanggung jawab keluarga diyakini menjadi penyebab lambannya reformasi skema pensiun lansia saat ini.

Peran keluarga dalam merawat dan memenuhi kesejahteraan kelompok lansia memang diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

Selain aturan hukum, praktik pemenuhan kebutuhan lansia melalui pemberian biaya hidup bulanan oleh anak cucunya juga seakan sudah menjadi bagian dari “kewajiban” bagi keluarga.

Inilah yang pada akhirnya menciptakan fenomena generasi sandwich, yaitu ketika seseorang mendapatkan tanggung jawab ganda dalam menjadi aktor utama penyedia sumber daya keluarga. Individu yang menjadi generasi sandwich biasanya harus menopang keluarganya sendiri (anak dan pasangan) dan orang tua maupun mertuanya pada saat yang bersamaan, baik dari segi finansial, alokasi waktu, sampai perawatan fisik.


Read more: Maraknya generasi _sandwich_: refleksi perlunya reformasi sistem pensiun di Indonesia


Umumnya, sistem redistribusi keuangan dalam suatu rumah tangga dibangun atas dasar resiprokal (timbal balik). Artinya, ada kewajiban yang dijalankan maka ada hak yang didapatkan. Misal, satu pasangan harus menopang orang tua mereka yang sudah lansia, dan sebagai gantinya orang tua mereka ikut membantu mengurus cucunya selama mereka bekerja. Namun, terkadang pemberian dilakukan tanpa prasyarat atau timbal balik apapun.

Dampak yang paling dirasakan bagi generasi sandwich ini, utamanya yang sudah berumah tangga, adalah dari segi ekonomi. Apalagi jika sumber daya yang dimiliki orang tersebut juga masih terbatas.

Oleh karena itu, sudah waktunya menghentikan anggapan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup lansia adalah tanggung jawab utama keluarga.

Urgensi perluasan pensiun sosial

Sebuah penelitian kualitatif menemukan bahwa masih banyak pula lansia yang masih terus bekerja di usia senjanya. Alasannya adalah tidak mau merepotkan sang anak.

Jumlah populasi lansia yang masih terus bekerja di Indonesia pada 2019 mencapai 27%. Sekitar 64% dari lansia yang bekerja itu berkecimpung di sektor informal dengan jam kerja berkisar 35-48 jam dalam satu minggu, lebih dari standar jam kerja maksimum yakni 40 jam per minggu sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.

Data tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak lansia yang sebenarnya ingin mandiri dan tidak bergantung dari segi finansial kepada anak cucu maupun anggota keluarga lainnya.

Ditambah lagi, jumlah lansia di Indonesia diprediksi akan terus meningkat, sehingga pemerintah harus sesegera mungkin memperluas program pensiun sosial – skema pensiun yang diberikan kepada yang tidak melakukan kontribusi premi sebelumnya – sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab dalam mendukung kehidupan lansia yang sejahtera dan bermartabat.

Di beberapa negara, program ini dilaksanakan dengan cara negara memberikan bantuan berupa uang tunai setiap bulan dan menyasar seluruh populasi lansia yang tidak memiliki jaminan pensiun atau tabungan hari tua.

Di Meksiko sejak 2014, misalnya, kelompok lansia yang sudah menerima jaminan sosial di bawah MXN $1,092 (Rp 897.557) tetap masuk ke dalam daftar penerima jaminan pensiun sosial. Artinya, lansia tidak perlu masuk dalam kategori miskin, sebagaimana dalam program BanTu LU di Indonesia, untuk bisa mendapatkan bantuan pensiun sosial.

Dalam studi kebijakan sosial, perluasan program pensiun sosial memiliki dua efek : crowding-in dan crowding-out.

Efek crowding-in terjadi apabila program pensiun sosial oleh pemerintah justru membantu nilai tambah sumber daya keluarga dan mendorong keluarga untuk memperbesar jumlah redistribusi. Sebaliknya, efek crowding-out adalah ketika program tersebut menggantikan peran keluarga untuk mendanai kehidupan lansia.

Nyatanya, penelitian di Jerman, misalnya, menemukan bahwa pensiun atau bantuan sosial kepada kelompok lansia tidak mempengaruhi kecenderungan anak untuk tetap memberikan transfer sejumlah uang setiap bulannya.

Hal serupa juga di temukan di Cina, salah satu negara yang memiliki budaya “mengurus orang tua lansia” yang mirip dengan Indonesia. Skema pensiun sosial bagi penduduk pedesaan di Cina justru meningkatkan kebahagian lansia dan tidak mengurungkan keputusan anak untuk memberikan uang pada orang tuanya.

Di Indonesia sendiri, penelitian menemukan bahwa 72,9% lansia yang menerima program bantuan dari pemerintah seperti PKH dan BPNT memberikan manfaat kepada anggota rumah tangga, yang tidak lain adalah anak dan cucunya.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa program pensiun sosial kepada lansia tidak akan serta merta mengurangi peran keluarga dalam memberikan dukungan finansial kepada orang tua.

Justru ini dapat menambah jumlah pemasukan dalam keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga yang terdapat lansia.

Belajar dari kondisi kehidupan lansia saat ini, pemerintah juga perlu membuka akses jaminan sosial pensiun kepada seluruh pekerja di Indonesia, baik domain kerja formal maupun informal. Ini dilakukan demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan, karena pekerja informal dengan pendapatan di bawah UMR pun berhak atas akses jaminan sosial dan kesehatan.

Dengan kata lain, program-program kesejahteraan lansia pada dasarnya tidak menyiratkan bahwa anak atau cucu tidak perlu mengurus maupun mendanai orang tua mereka yang sudah berusia lanjut. Bahwa mereka ingin mengurus orang tuanya, itu adalah keputusan masing-masing individu.

Namun, yang perlu ditekankan adalah bahwa mensejahterakan lansia yang termasuk secara finansial merupakan tanggung jawab negara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now