Menu Close

Penurunan ‘stunting’ berjalan lambat di tengah melimpahnya produksi ikan Indonesia: tanya kenapa?

Kader Posyandu mengukur lingkar kepala anak saat kegiatan Bulan Vitamin A dan Penimbangan Serentak untuk memeriksa kesehatan anak di Kelurahan Pajang, Laweyan, Solo, 9 Februari 2023. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

Angka anak yang mengalami gangguan pertumbuhan (stunting) di Indonesia, menurut survei terbaru, turun sedikit dari 24,4% pada 2021 ke 21,6% pada 2022. Angka tersebut masih di atas batas maksimal dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20%.

Tahun depan, pemerintah menargetkan angka stunting tinggal 14%. Ini sebuah target yang ambisius jika kita melihat tren penurunan per tahun hanya sekitar 2-3%.

Tingginya angka stunting itu sebenarnya menyesakkan dada. Sebab, laporan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2020 menunjukkan produksi ikan laut tangkap Indonesia amat besar, sekitar 6,43 juta ton. Angka ini menempati urutan kedua setelah Cina (11,77 juta ton) di tingkat global.

Masalahnya, data 2017 menyatakan konsumsi ikan Indonesia hanya 44,7 kg per kapita per tahun, lebih rendah dari Malaysia (57,8 kg per kapita per tahun). Sementara itu, pada kenyataannya Malaysia adalah negara tujuan utama ekspor ikan (segar) hasil tangkap Idonesia dengan volume terbesar selama 10 tahun terakhir. Sejak 2019, ekspor ikan ke Malaysia mencapai lebih dari 50% total ekspor ikan Indonesia.

Produksi ikan yang melimpah di negeri ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan angka stunting dengan meningkatkan konsumsi ikan masyarakat.

Kurang protein hewani

Stunting merupakan kondisi anak yang pendek atau sangat pendek berdasarkan tinggi badan menurut usia (TB/U) yang kurang dari standar WHO.

Apabila indeks TB/U berada dalam rentang -2 SD (standar deviasi) sampai +3 SD maka anak tersebut memiliki kondisi normal. Pertumbuhaan anak tergolong tidak normal (stunted) jika indeks TB/U kurang dari -2 SD. Ini terjadi karena asupan nutrisi yang tidak memadai dan infeksi berulang dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Misalnya, bayi laki-laki usia 36 bulan memiliki tinggi badan 84 cm, maka berdasarkan tabel standar indeks TB/U WHO, anak tersebut memiliki indeks TB/U yaitu -3, yang berarti masuk dalam golongan pendek (stunted).

Salah satu penyebab utama stunting adalah tidak terpenuhinya asupan gizi yang cukup baik pada ibu saat mengandung janin atau pun pada saat anak usia balita. Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat dipenuhi dari sumber protein nabati serta hewani.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat konsumsi protein harian per kapita sebesar 62,21 gram. Tren ini stagnan sejak 2019–bahkan menurun jika dibandingkan pada 2018 yang sempat mencapai 64,64 gram.

Jika kita melihat jenis sumber protein, konsumsi protein hewani Indonesia masih tergolong rendah. Konsumsi ikan per hari per kapita sebesar 9,58 gram, daging 4,79 gram, serta telur dan susu sebesar 3,7 gram.

Ikan sebagai sumber protein hewani

Konsumsi pangan dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi satu jenis pangan hewani. Kebanyakan masyarakat mencukupi kebutuhan protein hewani dari daging, telur, atau susu. Ikan yang juga termasuk sebagai salah satu sumber protein hewani, masih belum familiar untuk seluruh kalangan masyarakat.

Tingkat konsumsi ikan, menurut riset, untuk suku Sunda mencapai 7,2% dan suku Bugis 15,9% walau sama-sama tinggal di sekitar Waduk Cirata Cianjur Jawa Barat. Ini berarti suku Bugis dengan latar belakang sejarah sebagai kelompok pelaut memiliki budaya makan ikan yang lebih tinggi.

Selain itu, masih ada anggapan di masyarakat bahwa ikan adalah sumber penyebab cacingan, alergi, meningkatkan kolesterol, dan kandungan logam berat.

Padahal, ikan memiliki banyak kandungan protein untuk mencukupi kebutuhan asam amino. Ikan juga kaya akan asam lemak omega 3 yang lebih unggul dibanding hewan ternak lain seperti ayam, sapi, dan kambing, vitamin, serta berbagai mineral bermanfaat untuk kesehatan ibu dan perkembangan janin.

Guru besar ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardiansyah menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi ikan setidaknya 150 gram per hari, minimal 4 kali dalam seminggu untuk mencegah anak lahir stunting.

Data Angka Konsumsi Ikan (AKI) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan konsumsi ikan nasional pada 2021 mencapai 55,37 kg per kapita per tahun meningkat dari 54,56 kg pada 2020.

Pada level provinsi, AKI tertinggi pada 2021 dimiliki oleh Provinsi Maluku (77,49 kg), lalu Maluku Utara (75,75 kg), dan selanjutnya Kalimantan Utara (73,94 kg).

Sementara itu, AKI terendah ada di Yogyakarta (34,82 kg), Lampung (36,66 kg), dan Jawa Tengah (36,74 kg). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa konsumsi ikan di Indonesia masih belum merata di semua wilayah.

Beberapa wilayah, khususnya Pulau Jawa masih memilki AKI yang rendah, dengan DKI Jakarta memiliki AKI tertinggi di Pulau Jawa, yakni 48,92 kg.

Sementara itu, produksi ikan laut tertinggi di Indonesia tahun 2021 yaitu Maluku (547,46 ribu ton), Jawa Timur (534,39 ribu ton), dan Sulawesi Selatan (376,12 ribu ton).

Melihat kondisi tersebut, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi ikan laut melimpah seharusnya berbanding lurus dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi pula.

Sayangnya hal itu belum terealisasi sehingga masih ada celah yang harus dibenahi oleh pemerintah, yakni kebutuhan peningkatan konsumsi protein untuk pencegahan stunting, dengan kondisi produksi ikan yang berlimpah tapi konsumsinya masih rendah dan belum merata.

Kendala utama dalam permasalahan tersebut adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan padahal negara kita memiliki potensi produksi ikan yang tinggi.

Upaya untuk meningkatkan konsumsi ikan

Pemerintah berusaha meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya melalui program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) sejak 2004.

Walau angka konsumsi ikan terus meningkat setiap tahunnya, pemerintah harus berusaha lebih keras agar kenaikannya lebih signifikan. Harapannya, tren ini berimbas pada kenaikan konsumsi protein harian masyarakat.

Pemerintah dapat menggenjot edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi ikan untuk perbaikan kecukupan gizi.

Kita perlu mengemas pesan kampanye lebih persuasif, aktif, kekinian, dan menarik. Misalnya membuat konten digital yang disebarluaskan di berbagai media sosial.

Selain itu, tidak semua daerah memiliki produksi ikan sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk mengkonsumsi ikan. Mengingat masa simpan ikan segar tergolong pendek, untuk menjaga kesegarannya tetap terjaga pemerintah perlu melancarkan distribusi produk perikanan yang merata ke seluruh daerah dengan menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai. Tujuannya agar harga ikan lebih terjangkau kelompok masyarakat ekonomi bawah.

Upaya selanjutnya yakni memperbanyak jenis makanan olahan ikan. Pemerintah dapat memberikan pelatihan kepada masyarakat, UMKM, atau Unit Pengolahan Ikan (UPI) tentang pengolahan produk ikan yang lebih bervariasi. Selain itu, pemerintah hendaknya dapat meningkatkan standar penjaminan mutu ikan karena kualitas kesegaran ikan akan sangat berpengaruh pada proses pengolahan ikan dan harga jual ekonomis dari ikan.

Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, kenaikan konsumsi ikan tentu akan berkontribusi meningkatkan konsumsi protein harian guna mencegah stunting. Sektor perikanan itu sendiri juga akan menggeliat.

Oleh karena itu, seluruh pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat harus berupaya meningkatkan konsumsi ikan untuk mengakhiri stunting.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now