Menu Close

Penyelewengan dana sosial oleh ACT: Melihat celah hukum dalam regulasi lembaga filantropi

Salah satu relawan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT). Aloyisus Jarot Nugroho/Antara Foto

Lembaga filantropi Islam, Aksi Cepat Tanggap (ACT) baru-baru ini menjadi sorotan akibat berbagai dugaan penyelewengan dana. Pendiri dan pengelolanya ditengarai memakai donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi – seperti gaji serta fasilitas lainnya – dengan nilai ratusan juta.

Setidaknya 4 pengurus dan mantan pengurus ACT telah ditetapkan sebagai tersangka.

Jika menilik kasusnya lebih dalam, masalah utamanya ada pada pemotongan donasi yang bukan saja nominalnya dianggap berlebihan, tapi juga peruntukannya yang menguntungkan pengurus ACT secara pribadi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan terkait lemahnya aturan hukum yang menaungi hal-hal terkait bantuan sosial.

Pemotongan donasi berlebihan

Masalah pemotongan donasi yang berlebihan oleh ACT bisa kita lihat dalam kasus pembangunan musala (tempat salat) di Sydney, Australia.

Dari Rp 3,01 miliar dana donasi masyarakat yang harusnya mereka salurkan, ACT melakukan pemotongan yang cukup besar, yakni sejumlah Rp 707 juta – setara dengan 23% total dana.

Komposisi pemotongan donasi tersebut adalah Rp 507,7 juta (16,8%) untuk biaya iklan di Facebook, Rp 168,9 juta (5%) diambil untuk ACT, dan Rp 29,4 juta untuk biaya administrasi bank penyedia metode pembayaran donasi.

Ada juga kasus yang melibatkan Suharno dan keluarganya, salah satu penerima dana galangan ACT. Mereka merupakan korban kecelakaan parah yang membutuhkan biaya pengobatan yang besar.

Mereka mengaku mengalami pemotongan donasi yang cukup besar.

Pada awalnya, tim ACT-lah yang mendatangi kediaman Suharno untuk kemudian membuat kampanye donasi di laman Indonesia Dermawan (situs resmi milik ACT). Selanjutnya, Suharno mendapatkan informasi bahwa dana yang terkumpul adalah Rp 412,2 juta setelah satu bulan pasca kedatangan tim, tetapi biaya yang ia terima hanya Rp 3 juta. Artinya, uang yang baru ia terima tersebut hanya 0,7% dari total dana terkumpul.

ACT juga memotong dana untuk pembangunan Musala Al-Ikhlas di daerah Magetan, Jawa Timur. Dari total dana yang terkumpul sejumlah Rp 17,7 juta, panitia pembangunan musala hanya menerima Rp 9 juta. Ada pemotongan sebesar 49%.

Secara peraturan perundang-undangan, apakah diperbolehkan jika ada sejumlah uang dari total donasi terkumpul yang tidak diberikan kepada penerima bantuan?

Pada dasarnya, dalam konteks penggalangan dana secara Islam, ada yang disebut dengan hak amil atau hak bagi petugas yang membagikan donasi. Selain itu, ada juga yang disebut dengan dana operasional atau dana untuk usaha pengumpulan donasi.

Namun, dalam hukum positif yang mengatur hal-hal di atas, masih terdapat celah hukum.

Dalam konteks Islam, misalnya, berlaku ketentuan Pasal 67 Ayat 2 dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Aturan tersebut menyatakan bahwa besaran hak amil untuk biaya operasional ditetapkan sesuai syariat Islam dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.

Bila merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat sebagai penjelasan dari syariat Islam yang dimaksud, lembaga amil zakat boleh mendapatkan bagian sebesar 1/8 (12,5%) dari harta zakat – selama totalnya masih dalam “batas kewajaran”.

Dalam aturan-aturan di atas, tidak ada standar baku mengenai “batas kewajaran”. Porsi persentase 12,5% dalam fatwa MUI pun bukan merupakan hukum positif yang mengikat, meskipun sering dijadikan rujukan. Ditambah lagi, pengaturan persentase ini termuat di dalam peraturan yang tidak memuat sanksi.

Konsekuensinya, setiap pihak penyelenggara atau lembaga bantuan sosial bisa semau mereka menafsirkan dan menentukan “batas kewajaran”.

Tak heran jika dalam contoh kasus ACT, Ibnu Khajar (Presiden ACT) dan Ahyudin (Pendiri ACT) berpendapat bahwa pemotongan sebesar hampir 14% merupakan hal yang wajar. Mereka berdalih bahwa ACT telah habis-habisan dan berkontribusi lebih dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya.

Sementara itu, dalam konteks dana bantuan yang lebih umum dan juga mencakup dana keagamaan, berlaku ketentuan Pasal 6 dalam PP No. 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Aturan ini menyebutkan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan adalah sebanyak-banyaknya 10% dari hasil pengumpulan sumbangan.

Lagi-lagi, jika kita mengacu pada PP tersebut, tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai “pembiayaan usaha”. Artinya, pembiayaan usaha ini bisa saja masuk ke dalam kekayaan yayasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, sehingga dapat digunakan untuk gaji, upah, atau honorarium pengurus yayasan.

Persentase 10% pun berarti bahwa ACT bisa saja mengambil porsi Rp 45 miliar jika mereka mengumpulkan dana sebesar Rp 450 selama setahun. Apakah nilai ini terlihat proporsional dan wajar dalam konteks lembaga sosial?

Gaji dan fasilitas ratusan juta pengurus lembaga sosial

Berdasarkan logika hukum positif yang berlaku, memang ada sebagian dana yang dapat dialokasikan untuk membiayai usaha pengumpulan, termasuk salah satunya untuk menggaji dan menyediakan fasilitas bagi pengurus lembaga sosial sebagai bentuk hak amil.

Pertanyaannya adalah: apakah wajar jika gaji dan fasilitas pengurus lembaga sosial mencapai Rp 100-250 juta?

Berdasarkan temuan Tempo, gaji per bulan Ketua Dewan Pembina ACT sebesar Rp 250 juta, belum termasuk mobil dan fasilitas lainnya. Sementara, gaji Presiden ACT sebesar Rp 175-200 juta, gaji Wakil Presiden Senior ACT sebesar Rp 150 juta, gaji Wakil Presiden ACT sebesar Rp 80 juta, gaji Direktur Eksekutif ACT sebesar Rp 50 juta, dan gaji Direktur ACT sebesar Rp 30 juta.

Dari nominal ini, gaji para pengurus ACT tersebut setara atau bahkan lebih dari gaji petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setaraf Pertamina.

Secara normatif, tidak ada pijakan untuk menilai sisi kewajarannya. Tetapi secara logika sosial, apakah pantas orang yang bekerja di bidang sosial mendapatkan gaji sedemikian tinggi hingga bahkan mengalahkan gaji orang-orang yang bekerja di bidang non-sosial?

Pertama, ada perbedaan mendasar antara lembaga sosial dan badan usaha. Lembaga sosial merupakan sebuah lembaga yang bertujuan untuk membantu masyarakat, baik itu dalam konteks kesejahteraan (penyediaan kebutuhan pokok kehidupan), kesehatan, pendidikan, bantuan untuk bencana alam, maupun kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya.

Dengan kata lain, dana bantuan yang diperoleh haruslah digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan sosial. Bantuan tersebut pada umumnya diperoleh dengan cara pengumpulan uang dan/atau barang.

Ahyudin menyebutkan ACT adalah sebuah perusahaan. Padahal, lembaga semacam ACT, dari awal perizinannya, bukan diperuntukkan untuk orientasi profit, namun sebagai lembaga sosial yang dipercaya untuk membantu keadaan sosial.

Jika terdapat kelebihan donasi setelah program berhasil direalisasikan, bukan berarti kelebihan tersebut harus masuk ke dalam kantong pribadi para pengurus.

Ke depannya, pemerintah sebaiknya memberikan batasan yang jelas mengenai gaji seseorang yang bekerja di lembaga sosial. Sebagai contoh, nominalnya bisa disamakan dengan Upah Minimum Regional (UMR), atau menetapkan batasan gaji tertinggi agar tidak menimbulkan kesan bahwa telah terjadi kapitalisasi dana sosial. Jadi, besarannya tidak lagi diserahkan kepada masing-masing lembaga sosial.

Sebagai tambahan, penyaluran dana program yang ditawarkan harus tuntas dulu 100%. Kemudian, kelebihan dana tersebut baru dihitung untuk menggaji para pengurus dengan batasan yang telah ditentukan. Selanjutnya, sebagian besar dananya harus dialihkan kembali untuk merealisasikan program-program sosial lainnya.

Saran ini hanya merupakan pemantik. Penentuan nominalnya sebaiknya menjadi PR bagi pemerintah bersama para pemangku kepentingan agar tidak ada lagi potensi-potensi penyelewengan dana untuk bantuan sosial.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now