Menu Close

Perempuan kurang terwakili dalam ‘startup’. Ini mengapa keberagaman penting

Keberagaman gender merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan inovasi. Berbagai studi selama beberapa tahun ke belakang menunjukkan bahwa keberagaman gender dapat membantu organisasi mendapatkan berbagai perspektif dalam pemecahan masalah, peningkatan akses sumber daya dan jejaring yang lebih beragam, serta peningkatan produktivitas.

Sayangnya, beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan, dalam proses inovasi, peran perempuan masih belum dianggap signifikan. Terlebih dalam startup yang erat kaitannya dengan industri teknologi, sektor yang hingga kini masih dikuasai laki-laki.

Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Menurut situs Startup Ranking, Indonesia menempati posisi 10 besar produsen perusahaan rintisan terbesar di dunia. Namun, meski menunjukkan ekosistem kewirausahaan yang cukup mumpuni, hasil wawancara penulis dengan perwakilan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementeriam Komunikasi dan Informatika, mengindikasikan bahwa jumlah startup yang melibatkan perempuan dalam tim pendiri masih kurang dari 30%.

Riset kualitatif yang penulis lakukan sepanjang 2022-2023 terhadap lima startup serta wawancara dengan beberapa tenaga ahli yang mewakili beberapa pihak eksternal seperti pengamat gender, investor, program inkubasi, dan kementerian, menemukan beberapa hambatan, peluang keuntungan, dan tantangan dalam mencapai keberagaman gender dalam perusahaan rintisan di Indonesia.

Hambatan keberagaman gender dalam startup

Keberagaman gender dalam teknologi
Perempuan masih dipandang sebelah mata dalam sektor teknologi. metamorworks/shutterstock

Beberapa startup yang terlibat dalam penelitian ini sebenarnya sedang menggagas ide dan menerapkan keberagaman gender dalam tim mereka. Selain menjadi salah satu usaha mereka memenuhi tuntutan global, sebagian kecil dari mereka telah merasakan manfaat keberagaman gender secara langsung.

Yang menjadi persoalan, aspek keberagaman tidak lantas mudah diterapkan. Terdapat beberapa hambatan yang dialami ketika perusahaan-perusahaan tersebut menginginkan keberagaman dalam tim mereka:

  1. Proporsi pelamar tidak berimbang. Salah satu startup mengakui kesulitannya menemukan kandidat yang beragam. Contohnya, salah satu responden yang bertanggung jawab dalam proses perekrutan menyatakan bahwa ketika menginginkan programmer perempuan, pelamar laki-laki masih mendominasi lowongan tersebut sekalipun iklannya tidak mencantumkan kriteria gender di dalamnya.

  2. Sumber daya manusia yang kurang mumpuni. Sekalipun terdapat kandidat perempuan, pada tahapan seleksi lebih lanjut, kapabilitas mereka–-terutama di bidang teknologi–-masih di bawah laki-laki. Kendala lain, ketika kandidat perempuan sudah diterima, sebagian besar menolak tawaran dengan alasan tidak mendapatkan restu orang tua untuk pindah ke luar kota.

  3. Bias spesifik/stereotip gender. Salah satu manajer bidang sumber daya manusia yang menjadi responden dalam penelitian ini mengatakan beberapa posisi masih dilihat sebagai pekerjaan laki-laki dan dianggap tidak cocok untuk perempuan. Sekalipun pada akhirnya mereka berhasil membuktikan dengan menempatkan perempuan di posisi penting seperti manajer operasional dan programmer, prosesnya membutuhkan perubahan mindset dalam organisasi yang tak mudah dilakukan.

  4. Kurangnya ketahanan dan tingginya turnover. Sulit mempertahankan keberagaman gender karena komposisi tim dalam startup sering mengalami perubahan. Perusahaan rintisan memang memiliki tingkat turnover (pergantian keluar masuk karyawan) yang cukup tinggi karena kurangnya ketahanan terhadap tuntutan kerja yang tinggi, terutama bagi perempuan yang memiliki peran ganda sebagai istri atau ibu.

Potensi keuntungan ketika memiliki tim majemuk gender

Startup yang telah memiliki tim yang beragam gender mengakui beberapa benefit yang mereka dapatkan antara lain:

  • Balanced thinking atau pemikiran berimbang. Keberagaman gender dapat meningkatkan keseimbangan berpikir dalam tim. Sebab, ada perbedaan perspektif yang biasanya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang terkadang bahkan saling bertolak belakang.

    Sebagai ilustrasi, beberapa responden penelitian melaporkan bahwa laki-laki cenderung berani mengambil risiko sementara perempuan memiliki kecenderungan untuk menghindari resiko. Dalam proses kerja, laki-laki memiliki tendensi untuk berpikir secara rasional dan berorientasi hasil, sementara perempuan lebih cenderung mengedepankan empati dan berorientasi pada proses membangun relasi.

    Beberapa perbedaan dalam cara pandang dan pemecahan masalah ini, apabila dikelola dengan baik, dapat memicu kreativitas dan inovasi.

    Tak hanya itu, keberagaman membuka wawasan pasar yang luas dan lintas gender. Ini dapat memberikan solusi yang universal dan mencakup kelompok konsumen yang berbeda.

  • Kolaborasi. Sebagai contoh, salah satu responden menyebutkan bagaimana ketika mendesain sebuah software, laki-laki cenderung fokus pada fungsi sementara perempuan lebih memperhatikan fitur dan estetika.

    Responden lain juga menambahkan berdasarkan pengamatan terhadap anggota tim, perempuan lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang menuntut ketelitian dan bersifat rutin. Sementara itu, laki-laki condong pada aktivitas yang menyuguhkan tantangan dan menuntut eksplorasi.

    Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan pembagian peran dan meningkatkan iklim kolaborasi.

  • Produktivitas melalui kompetisi antar kelompok. Sesuai dengan teori identitas sosial, manusia cenderung mengelompokkan dirinya berdasarkan kesamaan karakteristik, termasuk berdasarkan gender. Kecenderungan ini tanpa disadari akan menimbulkan motivasi untuk berkompetisi.

    Kelompok perempuan, misalnya, berusaha membuktikan dirinya agar tidak diremehkan. Sementara, kelompok laki-laki berusaha menunjukkan performa dengan lebih baik agar tidak kalah dengan perempuan. Perasaan ini pada akhirnya akan menimbulkan peningkatan produktivitas.

Tantangan ketika memiliki tim yang beragam

Potensi keuntungan tersebut tidak serta merta didapatkan dengan sekadar memiliki tim yang beragam gender. Startup juga mesti mengatasi berbagai kendala agar keberagaman tim tidak berdampak buruk bagi perusahaan.

Beberapa tantangan tersebut antara lain:

  • Hambatan budaya/norma sosial.

    Masyarakat, terutama yang budaya patriarkinya dominan, masih memandang perempuan sebelah mata. Hal ini akan menciptakan iklim organisasi yang kurang baik dan menghambat perempuan untuk bisa menunjukkan potensi maksimal mereka. Penting untuk menciptakan budaya kerja yang inklusif agar kolaborasi yang efektif dapat terjadi.

  • Menyampingkan engagement dan belonging.

    Perhatian startup terhadap rencana dan strategi bisnis terkadang membuat perusahaan melupakan pentingnya engagement (keterlibatan) dan belonging (perasaan memiliki) di dalam tim. Kondisi ini dapat memicu tingginya turnover. Perusahaan harus menciptakan rasa nyaman agar karyawannya dapat memberikan kinerja maksimal dan ikut memikirkan masa depan startup yang mereka bangun. Tanpa ini, ide inovasi yang cemerlang dapat terhambat.

  • Praktik manajemen keberagaman gender.

    Mempraktikkan manajemen keberagaman gender tampak seperti sebuah langkah kompleks yang hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Padahal, budaya organisasi dan iklim inovasi yang mendukung harus dibangun sejak awal mula startup berdiri karena akan sangat menentukan masa depan perusahan.

    Perusahaan dapat memulai praktik ini dengan sederhana seperti memberikan penilaian kinerja yang adil, membuka peluang yang setara untuk pengembangan diri dan promosi, dan menerapkan manajemen konflik yang baik.

    Dengan cara ini, startup dapat mencegah dan mengurangi konsekuensi negatif yang timbul akibat keberagaman gender.

Startup adalah ekosistem inovasi yang berperan penting sebagai katalisator perekonomian. Transformasi budaya dan nilai-nilai sosial, serta kebijakan dan inisiatif yang berpihak pada keberagaman di sektor ini, pada akhirnya tidak hanya membantu peningkatan kontribusi perempuan tetapi juga menghilangkan stereotip tradisional terkait perempuan dan teknologi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now