Menu Close

Pidato kemenangan Jokowi: Bagaimana diksi mengungkap pesan politik tersembunyi

Arsip foto Presiden Joko Widodo berpidato di Jakarta pada 2014. Adi Weda/EPA

Calon presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan pidato kemenangan di Sentul, Jawa Barat, pada 14 Juli 2019.

Dari sudut pandang kebahasaan, pidato politik biasanya mengandung dua pesan. Ada pesan yang dinyatakan secara tegas, ada pula pesan yang disamarkan. Dua jenis pesan itu digunakan secara bergantian sesuai kebutuhan pragmatis penuturnya.

Saya berusaha menganalisis pesan lugas dan pesan tersembunyi dalam pidato Jokowi tersebut lewat pilihan kata (diksi) yang digunakan. Dari diksi yang digunakan dalam pidato kemenangannya, Jokowi tampaknya berusaha mengakhiri polarisasi politik Indonesia dan juga mengidentifikasi siapa lawan dan kawannya.

Mengungkap pesan lewat diksi

Dalam teori bahasa, pesan lugas dinyatakan dengan tindak tutur langsung dan harfiah. Pada jenis pesan ini, bentuk formal tuturan yang disampaikan sama dengan maksud yang dikehendaki.

Untuk memahami kehendak penutur secara utuh, baik pesan lugas maupun tersamar harus sama-sama dipahami.

Dalam usaha memahami dua jenis pesan itu, diksi patut mendapat perhatian khusus.

Sebagai satuan bahasa terkecil yang memiliki makna, diksi dapat menjadi alat untuk membongkar pesan dengan dua cara. Pertama, melihat frekuensi penggunaan kata tertentu dan sentimennya. Kedua, melihat susunan kata-kata tersebut dalam struktur kalimat atau wacana yang lebih luas.

Politik “Kita”

Salah satu diksi paling mencolok dalam pidato kemenangan Jokowi adalah kata ganti “kita”.

Dalam pidato sepanjang 1.062 kata itu, kata “kita” digunakan 61 kali atau 5,74 persen dari seluruh kata yang terucap.

Kata “kita” digunakan jauh lebih sering dibanding kata-kata lainnya seperti “harus” (24 kali) dan “Indonesia” (23 kali). “Kita” bahkan lebih sering muncul dibanding kata sambung “yang” (53 kali), “dan” (24 kali), “akan” (18), dan “dengan” (15).

Selain sering, kata “kita” menyebar secara merata pada bagian awal, tengah, dan akhir pidato.

Dalam pidato itu, hanya ada dua gugus kalimat yang tidak mengandung kata “kita”, yaitu gugus kalimat ketika Jokowi bicara tentang oposisi dan ketika ia bicara tentang Indonesia Maju.

Menurut analisis saya, tingginya frekuensi penggunaan kata “kita” mencerminkan itikad Jokowi untuk mengakhiri polarisasi politik yang sangat tajam selama pemilu 2019 lalu. Kata itu dipilih karena secara pragmatik berdampak lebih positif terhadap hubungan emosional dan sosial antara penutur dan pendengar. Saat menggunakan kata “kita”, Jokowi berusaha mengikis jarak psikologis dengan lawan politiknya. Ia juga mengajak agar para pendukung dua kubu di akar rumput kembali bersatu.

Dua peneliti bahasa asal Inggris, Linda Thomas dan Shan Wareing, mengungkapkan bahwa penggunaan kata ganti “kita” telah menjadi formula dalam pidato politik. Kata “kita” digunakan ketika satu pihak ingin mengidentifikasi dirinya menjadi satu bagian dengan pihak lain. Lawan semantik dari “kita” adalah “kami” dan “mereka”; dua kata yang digunakan dalam komunikasi antaretnis dan antarkelompok yang sedang bersitegang.

Pilihan Jokowi menggunakan kata “kita” merupakan strategi yang terencana dan terukur. Untuk memperkuat pesannya, ia bahkan menahan diri untuk tidak menggunakan kata “mereka”.

Satu-satunya kata “mereka” muncul di bagian akhir pidato. Dalam kalimat itupun, kata “mereka” dinegasikan keberadaannya. “Ini bukanlah tentang aku, atau kamu. Juga bukan tentang kami, atau mereka.”

Siapa lawan, siapa kawan

Selain untuk menyatakan visi politiknya, dari diksi yang digunakan, Jokowi juga menggunakan pidato itu untuk menyatakan pihak yang akan menjadi kawan dan lawannya.

Meski cenderung tersamar, pernyataan Jokowi dalam mengidentifikasi lawan dan kawannya dapat dianalisis dari penggunaan diksi dan konfigurasi penggunaannya dalam kalimat dan wacana.

Subjek yang ia identifikasi sebagai kawan secara konsisten ia gambarkan dalam kalimat yang nuansa maknanya positif. Adapun pihak yang diidentifikasi sebagai lawan selalu disebut bersama dengan kata-kata sifat negatif.

Ada sejumlah kata positif yang digunakan Jokowi, yaitu kata “besar” (digunakan 9 kali), “depan” (6), “tinggi” (5), dan “produktif” (3).

Adapun kata bernilai negatif yang dipakai yaitu “jangan” (5 kali), “jauh” (2), “tertinggal” (1), “hajar” (1), dan “bubarkan” (1).

Dalam linguistik, kata sifat dapat digunakan untuk menganalisis sentimen. Kata sifat memiliki rentang emosional dari paling negatif ke paling positif.

Kata paling negatif adalah “mati” dan “bunuh” yang dikuantifikasi dengan nilai 0. Adapun kata “cinta” memiliki sentimen paling positif dengan skor 1.

Cara penutur menyusun kata positif dan negatif menyiratkan sentimen dia terhadap pihak tertentu. Dengan demikian, kita bisa mengenali pihak mana yang mendapat sentimen positif (disukai) dan mana yang mendapat sentimen negatif (dibenci).

Ada pola konfigurasi penggunaan kata sifat yang jelas dalam pidato Jokowi.

Kata “besar” digunakan Jokowi untuk menggambarkan infrastruktur dan perubahan, dua konsep yang sangat erat dalam pemerintahannya. Kata “tinggi” digunakan untuk menggambarkan talenta dan martabat bangsa. Adapun kata “produktif” digunakan untuk menggambarkan negara dan usia.

Sementara itu, kata negatif digunakan untuk menggambarkan pihak yang cenderung tidak disukainya.

Dalam gugus kalimat saat berbicara soal oposisi, Jokowi menggunakan lima kata negatif sekaligus, yaitu “dendam”, “kebencian”, “hinaan”, “cacian”, dan “makian”.

Lima dari 40 kata (12,5%) kata yang Jokowi gunakan saat bicara soal oposisi adalah kata negatif. Frekuensi ini menunjukkan adanya sentimen negatif terhadap opisisi, meskipun tidak diakuinya secara harfiah.

Kata “jauh” digunakan untuk menggambarkan masa depan yang sulit diramalkan; “hajar” digunakan untuk menggambarkan birokrasi berbelit dan pungli; dan “bubarkan” digunakan untuk menggambarkan lembaga pemerintahan yang bermasalah.

Pola pemilihan kata merupakan bagian dari strategi interpersonal Jokowi untuk mendudukkan diri dengan pihak lainnya.

Dengan mencermati pola di atas, ia sedang berusaha merangkul tiga pihak, yaitu pihak yang mendukung proyek pembangunan infrastrukturnya, pihak yang memiliki talenta besar, dan pihak yang sama-sama menghendaki perubahan.

Pola itu juga secara konsisten menunjukkan Jokowi menempatkan diri secara berlawanan dengan oposisi (yang menebar kebencian), birokrasi (yang tidak efisien), dan lembaga pemerintahan (yang kurang bermanfaat).

Cara Jokowi menggunakan kata-katanya selaras dengan teori linguistik sistemik fungsional (LSF) . Dalam teori itu dinyatakan, struktur kebahasaan sangat dipengaruhi oleh fungsi sosialnya.

Kata-kata dipilih bukan sekadar untuk menyatakan sesuatu, tetapi lebih penting lagi: digunakan secara sadar untuk menyusun hubungan sosial penutur dengan pihak lain serta mewujudkan kepentingan tertentu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now