Menu Close

Politik identitas tidak akan laku dalam Pemilu 2024, tapi paslon tetap akan siapkan strategi ini

Masyarakat membawa bendera partai politik dalam sosialisasi pemilu masyarakat pesisir di Gorontalo. Adiwinata Solihin/Antara Foto

Politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda, aksi, dan aktivitas politik oleh anggota kelompok berbasis identitas. Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan karena struktur, sistem, atau praktik hegemoni yang dialami kelompoknya.

Praktik politik identitas lahir di Amerika Serikat (AS) pada 1974 dengan misi melawan ketidakadilan berbasis ras, kelas, gender, etnisitas dan kelompok minoritas sosial lainnya. Contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di AS yang saat itu menjadi warga kelas dua.

Kala itu, yang diperjuangkan adalah kesetaraan untuk semuanya tanpa mengabaikan kepentingan bersama.

Namun, para intelektual di bidang politik berpendapat bahwa politik identitas dalam masyarakat demokratis modern dan konteks elektoral zaman sekarang ini nuansanya sangat berbeda. Politik identitas yang dulunya merupakan alat perjuangan, sekarang bergeser menjadi alat perebutan kekuasaan oleh elit politik untuk meraih suara dalam pemilu, dengan cara menciptakan rasa takut dan benci masyarakat terhadap lawan politiknya.

Masyarakat Indonesia, khususnya warga ibu kota Jakarta dan sekitarnya, tentu masih ingat panasnya suasana politik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta (Pilgub) 2017. Sejumlah riset menunjukkan bahwa Pilgub DKI menjadi salah satu kontes politik yang sangat kental dengan nuansa politik identitas. Nuansa itu bahkan terus berlanjut hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 diwarnai oleh isu agama, mulai dari kasus penistaan agama Islam oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub, strategi mendulang suara pemilih Muslim dengan memanfaatkan Aksi 212 oleh kandidat calon gubernur Anies Baswedan, dukungan oleh ijtima’ ulama Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF) MUI untuk kandidat calon presiden Prabowo Subianto, hingga langkah petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminang Ma'ruf Amin – petinggi Nadhlatul Ulama – sebagai calon wakil presiden).

Kini, jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pertanyaan seputar apakah politik identitas akan kembali dieksploitasi oleh para elit politik mulai bergulir.

The Conversation Indonesia mengadakan diskusi dengan para pakar di bidangnya mengenai isu ini. Para pakar tersebut sepakat bahwa politik identitas kemungkinan besar tidak akan laku lagi untuk digunakan sebagai alat menarik suara pemilih.

Ini secara tidak langsung menunjukkan masyarakat Indonesia, terutama pemilih muda dari kalangan milenial dan generasi Z, sudah makin kritis.

‘Pasar’ politik identitas menurun

Menurut Ismail Fahmi, dosen informatika dari Universitas Islam Indonesia (UII), politik identitas masih akan digunakan dalam konteks negatif untuk menyerang lawan politik dalam Pemilu 2024 nanti, namun tidak untuk mempromosikan pasangan calon (paslon) karena tidak akan laku lagi.

Pihak yang berkontestasi, misalnya, masih bisa menggunakan Gerakan 212 untuk menjelekkan lawan politiknya. Namun, mereka tampaknya tidak akan berani menyatakan bahwa mereka didukung oleh 212. Ini karena generasi pemilih masa kini sudah lebih kritis, sehingga mereka sadar bahwa dukungan kelompok tertentu tidak berhubungan dengan kualitas program yang ditawarkan oleh paslon itu.

Argumentasi Ismail ini sejalan dengan hasil pengamatan Provetic Indonesia, lembaga konsultan berbasis analisis data, yang menemukan bahwa berdasarkan jumlah percakapan di dunia maya dan ketertarikan pengguna internet, terjadi perubahan perilaku konsumsi informasi dari sebelum pandemi COVID-19 ke masa setelah pandemi.

Kepada The Conversation Indonesia, Shafiq Pontoh, praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, mengungkapkan bahwa pada masa pascapandemi ini, masyarakat sudah menjadi sangat melek digital. Sebab, mereka ‘dipaksa’ menggunakan teknologi selama masa pembatasan sosial di era pandemi.

Pandemi secara tidak langsung telah menciptakan “generasi search”, generasi yang ahli dalam mencari informasi sehingga mereka lebih kebal terhadap doktrin-doktrin politik.

Hasil pengamatan Provetic juga menemukan bahwa warganet kini lebih tertarik dengan konten-konten inspiratif dan tutorial ketimbang konten kekerasan dan kontroversi negatif. Kanal YouTube politikus Partai Golkar sekaligus mantan bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, sempat menjadi salah satu kanal milik politikus yang paling berhasil meraih simpati warganet, karena kontennya berisi kegiatan-kegiatan inspirasional.

Menurut Provetic, kelompok milenial (lahir dalam rentang tahun 1980-1996) cenderung mencari konten terkait parenting dan karier, karena sebagian besar kelompok ini sekarang sudah menikah dan baru memiliki anak.

Sementara, generasi Z (yang lahir mulai tahun 1997 sampai 2012) pun tampaknya bukan “pasar” politik identitas. Studi menunjukkan bahwa persentase literasi digital generasi Z relatif tinggi karena mampu memilih konten website dan media sosial kredibel. Kemampuan mereka dalam menghargai perbedaan, seperti agama, budaya, gender, dan status sosial, bahkan sangat tinggi.

Hal ini membuat generasi Z lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima. Jika ada isu yang viral, mereka cenderung mempertanyakan lebih dulu apakah itu konten marketing dan bagaimana kebenarannya.

Alih-alih mengeksploitasi makna identitas secara tradisional, Ismail mengungkap ada tren menarik terkait strategi menggaet pemilih. Berdasarkan hasil pengamatan Ismail, partai politik atau tim suksesnya sudah mulai mendekati berbagai target niche yang fokus dan kegiatannya tidak berkaitan dengan politik. Contohnya kelompok penggemar sepak bola, bulutangkis, film, dan hobi seperti skateboard.

Sosialisasi Pemilu 2024 di Surabaya, Jawa Timur. Didik Suhartono/Antara Foto

“Mereka tidak membicarakan politik. Tapi [aktor politik] bisa masuk lewat kelompok-kelompok ini, dan yang ditawarkan pada mereka pastinya adalah gagasan dan program. Ini karena para niche ini punya skills, sehingga paslon (pasangan calon) akan terdorong untuk bisa memberikan manfaat yang relevan untuk mereka,” ungkap Ismail.

Kandidat akan tetap siapkan strategi politik identitas

Meskipun kemungkinan besar tak lagi laris untuk menggaet suara pemilih dalam Pemilu 2024, politik identitas pasti masih akan dipersiapkan sebagai strategi kampanye oleh pasangan calon yang nanti akan bertarung.

Namun, apakah strategi tersebut akan diaktifkan atau tidak, ini tergantung perkembangan politik nanti.

Wawan Mas'udi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjabarkan hasil penelitiannya terhadap strategi paslon dalam pilkada kabupaten 2017 di Yogyakarta. Ia menemukan bahwa ada satu kabupaten yang seluruh paslonnya menyiapkan 3 strategi politik: strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.

Paslon yang yakin menang — berdasarkan survei lokal dengan selisih suara 80% — ternyata hanya menggunakan strategi politik program. Menurut tim suksesnya, politik uang yang disiapkan tidak dipakai, karena untuk apa membayar pemilih kalau sudah bisa menang dengan program.

Wawan meyakini bahwa di Pemilu 2024 nanti, semua paslon akan siapkan tiga strategi itu juga.

“Strategi programnya disiapkan dan akan ditampilkan lebih dulu di depan publik. Kemudian jika mereka merasa strategi program tidak cukup untuk menggaet pemilih, mereka akan menuju ke ceruk masa tertentu yang paling bisa mereka yakinkan secara politik melalui politik identitas,” kata Wawan.

Meski demikian, menurutnya, publik sudah semakin cerdas untuk memilah mana yang perlu dipilih, dibiarkan, atau dipertimbangkan, terutama di media sosial. Tingginya level literasi digital publik saat ini diharapkan akan membantu meyakinkan politikus bahwa penggunaan politik identitas justru akan membunuh mereka, bukan memperkuat.

Peran berbagai pihak

Di era digital sekarang ini, menurut Ismail, buzzer semakin merajalela menjelang Pemilu 2024. Para buzzer inilah yang kemungkinan akan tetap mempertahankan politik identitas yang negatif untuk memecah belah pemilih.

Perekaman ktp elektronik di sekolah untuk mengejar target pemilih pemula yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2024. Arif Firmansyah/Antara Foto

Terkait ini, ada 4 pihak yang memegang peran penting untuk menghadang penyebaran misinformasi dan disinformasi.

Pertama adalah akademisi. Ini karena akademisi mampu memberikan pencerahan pada publik dengan landasan keilmuan dan data. Sayangnya, kata Ismail, tidak banyak akademisi yang bisa mengikuti pola buzzer, karena sebagian besar waktu mereka berfokus pada mengajar.

Kedua adalah media. Menurut Wawan, media-media perlu mengangkat lebih banyak isu tentang program yang ditawarkan paslon. Peran media ini akan sangat membantu dalam membangun iklim politik yang jauh lebih sehat.

Ketiga adalah aturan hukum untuk mitigasi. Wawan mengatakan bahwa perlu ada aturan yang bisa memaksa kandidat dan parpol untuk menjunjung strategi politik berbasis program. Ini karena penyelenggara pemilu belum punya perangkat regulasi untuk membawa praktik politik identitas negatif ke ranah hukum.

Keempat, dan yang paling penting, adalah pemilih itu sendiri.

Rizki Dian Nursita, dosen hubungan internasional dari UII, menekankan bahwa pemilih harus mampu menyeleksi apakah sebuah konten itu benar atau hoaks, dan harus bijak dalam mendistribusikan informasi maupun menyuarakan opini di ruang publik. Jika ingin menyampaikan atau merespons sesuatu, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan bijak, sebisa mungkin hindari labelling atau naming yang kontraproduktif.

Pemilih juga harus memiliki alternatif perspektif, karena kalau hanya terpaku pada satu akun atau satu sumber, maka akan jadi bias karena tidak bisa membandingkan dengan pendapat berbeda.

Tidak ada yang salah dengan politik identitas

Para pakar sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada yang salah dengan praktik politik identitas. Sebab, lahirnya praktik itu sendiri bertujuan untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan bersama.

Wawan menyebutkan bahwa sekarang banyak kelompok yang menggunakan identitas sosial untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti kelompok kelompok perempuan atau minoritas gender lainnya. Menurutnya, memang seperti itu peruntukan politik identitas yang sebenarnya.

“Pokoknya, jangan untuk menegasikan atau membuat kelompok lain merasa mereka tidak pantas ada di sini karena identitasnya beda. Penggunaan politik identitas akan bahaya kalau sudah menjadi alat untuk mengeksekusi,” ujar Wawan.

Sedangkan, Rizki mengatakan bahwa identitas tidak bisa dilepaskan dari politik. Setiap partai politik saja punya identitas dan ideologi masing-masing, dan tidak salah jika mereka menonjolkan identitas itu. Yang bahaya adalah ketika identitas itu dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk membuat masyarakat terpecah belah dan membangun tembok-tembok pemisah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now