Menu Close
Nasionalis kulit putih bentrok dengan pengunjuk rasa pada 12 Agustus 2017, Charlottesville, Virginia AS. Demonstrasi itu berubah menjadi kekerasan yang mematikan. Steve Helber/AP Photo

Politik ketakutan: tribalisme dan celah biologis yang dieksploitasi oleh politikus

Ketakutan bisa dibilang sama tuanya dengan kehidupan. Rasa takut mendarah daging dalam organisme hidup yang telah selamat dari kepunahan melalui miliaran tahun evolusi. Rasa takut mengakar jauh di dalam inti psikologis dan biologis kita. Dan rasa takut adalah salah satu perasaan kita yang paling intim. Bahaya dan perang sama tuanya dengan sejarah manusia, begitu juga politik dan agama.

Para demagog selalu menggunakan ketakutan untuk mengintimidasi bawahan atau musuh, dan mempengaruhi berbagai kelompok melalui para pemimpinnya. Ketakutan adalah alat yang sangat kuat yang dapat mengaburkan logika manusia dan mengubah perilaku mereka.

Saya seorang psikiater dan ahli syaraf dengan spesialisasi ketakutan dan trauma, dan saya memiliki beberapa pemikiran berbasis bukti tentang bagaimana ketakutan disalahgunakan dalam politik.

Kita belajar dari anggota suku yang sama

Seperti hewan lainnya, manusia belajar merasa takut dari pengalaman, misalnya, diserang oleh predator. Kita juga belajar melalui pengamatan, seperti menyaksikan predator menyerang manusia lain. Dan, kita belajar dengan instruksi, seperti diberi tahu ada pemangsa di dekat kita.

Belajar dari anggota spesies yang sama merupakan keuntungan evolusioner yang mencegah kita mengulangi pengalaman berbahaya manusia lain. Kita memiliki kecenderungan untuk mempercayai otoritas dan teman sesama suku kita, terutama mengenai bahaya. Hal tersebut adaptif: Orang tua dan orang lebih tua yang bijak memberi tahu kita untuk tidak makan tanaman khusus, atau tidak pergi ke suatu daerah di hutan, atau kita akan terluka. Dengan mempercayai mereka, kita tidak akan mati seperti kakek buyut yang mati memakan tanaman itu. Dengan cara ini kita mengumpulkan pengetahuan.

Tribalisme telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah manusia. Selalu ada persaingan antara kelompok-kelompok manusia, dari nasionalisme pada masa perang hingga kesetiaan yang kuat kepada tim sepak bola. Bukti dari neurosains kultural menunjukkan bahwa otak kita bahkan merespons secara berbeda pada tingkat tidak sadar hanya dengan melihat wajah dari ras atau budaya lain.

Pada tingkat suku, orang lebih emosional dan akibatnya mereka kurang menggunakan logika mereka: Penggemar kedua tim berdoa agar tim mereka menang, berharap Tuhan akan memihak dalam permainan. Di sisi lain, kita kembali kepada tribalisme ketika berada dalam ketakutan. Ini adalah keuntungan evolusi yang mengarah pada kohesi kelompok dan membantu kita melawan suku-suku lain untuk bertahan hidup.

Tribalisme adalah celah biologis yang telah lama disalahgunakan oleh banyak politikus: memanfaatkan ketakutan dan naluri kesukuan kita. Beberapa contoh adalah Nazisme di Jerman, anti kulit hitam Ku Klux Klan di Amerika Serikat, perang agama dan Abad Kegelapan. Pola yang sering digunakan dari contoh-contoh tersebut adalah memberi manusia lain label yang berbeda dari kita, dan menyatakan bahwa mereka akan membahayakan kita atau sumber daya kita, dan mengubah kelompok lain menjadi sebuah konsep. Tidak harus ras atau kebangsaan, yang sering digunakan. Ini bisa berupa perbedaan nyata atau imajiner: liberal, konservatif, Timur Tengah, laki-laki kulit putih, kanan, kiri, Muslim, Yahudi, Kristen, Sikh. Daftar ini terus berlanjut.

Ketika membangun batas-batas kesukuan antara “kami” dan “mereka,” beberapa politikus telah berhasil dengan sangat baik menciptakan kelompok-kelompok virtual orang-orang yang tidak berkomunikasi dan membenci tanpa mengenal satu sama lain: Ini adalah hewan manusia yang sedang beraksi!

Ketakutan tidak berbasis fakta

Pada tahun pertama setelah kedatangan saya di Amerika Serikat, suatu malam saya memasuki tempat parkir umum untuk berputar balik. Orang-orang meninggalkan sebuah gedung dengan pakaian Yahudi Ortodoks; gedung tersebut merupakan kuil. Untuk sesaat, saya melihat perasaan yang halus dan aneh tapi akrab: ketakutan!

Saya mencoba melacak sumber ketakutan ini, dan sumbernya adalah ini: Saya berasal dari daerah mayoritas Muslim, dan saya tidak pernah bertemu dengan orang Yahudi dari kecil hingga beranjak dewasa. Suatu hari ketika saya masih kecil dan kami mengunjungi sebuah desa, seorang perempuan tua menceritakan kisah tentang bagaimana orang-orang Yahudi Ortodoks mencuri anak-anak Muslim dan meminum darah mereka!

Saya merasa malu. Saya berasal dari keluarga berpendidikan yang menghormati semua agama, kemudian menjadi dokter yang berpendidikan dan memiliki banyak teman Yahudi yang hebat, tapi anak kecil di dalam diri saya menganggap cerita bodoh tersebut sesuatu yang serius hanya karena anak itu tidak pernah bertemu seorang Yahudi.

Kecenderungan manusia ini adalah sasaran empuk bagi para politikus yang ingin mengeksploitasi rasa takut: Jika Anda tumbuh hanya di sekitar orang-orang yang mirip dengan Anda, hanya mendengarkan satu saluran media dan mendengar dari seorang figur yang lebih tua bahwa orang-orang yang berpandangan atau beda cara pikir dengan Anda berbahaya dan membenci Anda, merasa takut dan membenci orang-orang yang tak terlihat itu dapat dimengerti, namun tentunya cacat.

Para politikus, kadang-kadang dengan bantuan media, mencoba membuat kelompok-kelompok orang tetap terpisah-pisah, sehingga kelompok “liyan” tetap hanyalah sebuah “konsep” saja dalam benak kita. Karena jika kita menghabiskan waktu dengan orang yang berbeda dengan kita, berbicara dengan mereka dan makan bersama mereka, kita akan belajar bahwa mereka sama seperti kita: yaitu manusia dengan semua kekuatan dan kelemahan yang kita miliki. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang lucu, ada yang bodoh, ada yang baik dan ada juga yang tidak terlalu baik.

Rasa takut tidak logis dan kerap bodoh

Sebagian orang takut pada ular, sebagian lagi kepada pada laba-laba, bahkan kucing dan anjing. Aris Suwanmalee/Shutterstock.com

Sangat sering pasien saya yang memiliki fobia memulai terapi dengan mengatakan: “Saya tahu ini bodoh, tapi saya takut laba-laba.” Atau mungkin anjing atau kucing, atau yang lainnya. Dan saya selalu menjawab: “Itu tidak bodoh, tapi tidak masuk akal.” Otak manusia punya fungsi yang beda-beda, dan ketakutan sering kali menyalip logika. Ada beberapa alasan. Pertama: logika itu lambat; ketakutan itu cepat. Dalam situasi bahaya, kita harus cepat: Pertama lari atau bunuh, lalu baru berpikir.

Politikus dan media sangat sering menggunakan rasa takut untuk menghindari logika kita. Saya selalu mengatakan media-media Amerika Serikat adalah produsen pornografi bencana - mereka bekerja terlalu banyak untuk memicu emosi audiens mereka. Mereka seperti reality show politik, dan mengejutkan bagi siapa pun dari luar AS.

Ketika satu orang membunuh beberapa orang lain di kota dengan jumlah penduduk jutaan, yang tentu saja merupakan sebuah tragedi, liputan media besar dapat membuat orang-orang menganggap seluruh kota dikepung dan tidak aman. Jika seorang imigran ilegal yang tidak berdokumen membunuh seorang warga negara Amerika Serikat, beberapa politikus menggunakan ketakutan dengan harapan hanya sedikit orang yang akan bertanya: “Ini mengerikan, tapi berapa banyak orang yang dibunuh di negara ini oleh warga Amerika Serikat hanya dalam hari ini saja?” Atau: “Saya tahu beberapa pembunuhan terjadi setiap minggu di kota ini, tapi mengapa saya begitu takut sekarang karena ini dipamerkan oleh media? ”

Kita tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, karena rasa takut telah melewati logika berpikir kita.

Ketakutan dapat berubah menjadi kekerasan

Batu nisan di Pemakaman Mount Carmel di Philadelphia 27 Februari 2017. Sebuah laporan tentang peningkatan vandalisme berkaitan dengan peningkatan bias anti-Semit sejak pemilu 2016. Jaqueline Larma/AP Photo

Ada alasan mengapa respons terhadap rasa takut disebut sebagai respons “lawan atau lari”. Respons itu telah membantu kita selamat dari para predator dan suku-suku lain yang ingin membunuh kita. Tapi sekali lagi, hal tersebut merupakan celah dalam sistem biologis kita yang disalahgunakan. Dengan menakut-nakuti kita, para demagog menghidupkan agresi kita terhadap “yang liyan,” baik dalam bentuk merusak kuil mereka atau melecehkan mereka di media sosial.

Ketika para demagog berhasil menguasai sirkuit ketakutan kita, kita sering mundur ke sifat kebinatangan kita yang tidak logis dan agresif, serta menjadi senjata bagi diri kita sendiri–senjata yang digunakan politikus untuk agenda mereka.

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ariza Muthia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now