Menu Close
Peningkatan infrastruktur jalan desa wisata di di Desa Wayu, Marawola Barat, Sigi, Sulawesi Tengah. Basri Marzuki/Antara Foto

Politisasi proyek infrastruktur tak terhindarkan, namun kerap tak sejalan dengan kebutuhan publik

Pembangunan infrastruktur tidak hanya sekadar proyek fisik yang melibatkan pekerjaan konstruksi di lapangan. Dalam prosesnya, paling tidak di Indonesia, hampir seluruh proyek infrastruktur telah dipengaruhi atau memengaruhi aspek politik yang cukup signifikan, memberikan dampak besar pada arah dan perkembangan sebuah negara–bisa menggerakkan maupun menghambat pembangunan.

Pembangunan jalan raya dan fasilitas untuk moda transportasi, misalnya, tidak hanya melibatkan keilmuan eksakta seperti teknik arsitektur, teknik sipil, rancang bangun, dan tata letak kota, tapi juga membawa konstruksi, bahkan konsekuensi, politik, sosial dan budaya.

Sejarah telah menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur seringkali memiliki tujuan politik. Contohnya adalah pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels yang dimulai pada 1808. Proyek ini memiliki tujuan politik untuk mendukung kepentingan pertahanan, mengendalikan militer di wilayah jajahan, dan mempermudah transportasi komoditas ke pelabuhan ekspor.

Politik memainkan peran vital dalam menentukan segala hal terkait berjalannya suatu proyek infrastruktur. Namun, politisasi dalam proyek pembangunan infrastruktur seringkali bertolak belakang dengan kebutuhan publik dan justru menghambat dibangunnya fasilitas yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.

Peran politik dalam pembangunan infrastruktur

Pertama, politik berperan dalam penentuan alokasi dana dan sumber daya untuk infrastruktur. Keputusan politik dalam hal ini biasanya dilakukan oleh pemerintah dan lembaga legislatif. Hal ini akan memengaruhi berapa banyak anggaran yang dialokasikan untuk sektor pembangunan tersebut dan sektor lainnya.

Keputusan tentang berapa banyak anggaran yang dialokasikan untuk suatu proyek infrastruktur biasanya merupakan hasil dari negosiasi politik yang kompleks di tingkat legislatif dan eksekutif. Berbagai pihak umumnya berusaha memengaruhi alokasi dana sesuai dengan agenda dan tujuan politik mereka.

Konsekuensinya, para pemegang kekuasaan dapat menentukan proyek infrastruktur mana yang akan menjadi prioritas berdasarkan pertimbangan politik tertentu, bukan serta merta yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai contoh, sejumlah proyek pembangunan stadion olahraga cenderung dipengaruhi oleh pertimbangan kepentingan politik. Contoh lainnya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung antara pemerintah Cina dan Indonesia. Riset menunjukkan bahwa proyek bernilai triliunan rupiah ini melibatkan proses investasi yang penuh dengan dinamika ekonomi politik.

Seringkali pemerintah memilih untuk memprioritaskan pembangunan proyek megah tersebut sebagai bagian dari upaya politik untuk meningkatkan citra nasional dan menarik perhatian global. Meskipun kemungkinan proyek tersebut tingkat urgensinya tidak sebesar kebutuhan lainnya seperti jalan raya, transportasi umum, atau fasilitas kesehatan.

Kedua, politik juga memainkan peran yang signifikan dalam pemilihan lokasi proyek infrastruktur. Keputusan tentang di mana sebuah proyek akan dibangun bisa dipengaruhi oleh pertimbangan politik dengan tujuan memenangkan dukungan dari wilayah tertentu atau kelompok pemilih kunci.

Contohnya adalah ketika pemerintah memutuskan untuk membangun proyek jalan tol baru. Pemerintah bisa menentukan daerah mana yang akan dibuatkan jalan tol guna mendapatkan dukungan dari wilayah atau kabupaten tertentu dalam pemilihan umum (pemilu). Walaupun mungkin ada alternatif lokasi yang lebih efisien dari segi teknis atau ekonomi. Akibatnya, pengalokasian sumber daya yang tidak selalu efisien atau sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.

Ketiga, aspek lain yang juga melibatkan politik adalah pemilihan kontraktor dan vendor. Pembuat kebijakan bisa menentukan vendor mana yang akan memegang suatu proyek itu berdasarkan kedekatan politik, bukan atas pertimbangan kualifikasi dan kompetitif harga. Ini tentunya dapat berpotensi merugikan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan proyek.

Politik infrastruktur dalam pemilu

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pelibatan pertimbangan politik dalam pembangunan negara. Politik sendiri bukanlah hal negatif.

Politik juga memberikan beberapa keuntungan dalam pembangunan infrastruktur. Keputusan politik yang cepat, misalnya, dapat mendukung progres proyek yang mendesak, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh di Indonesia, keputusan politik yang cepat dalam pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur tertentu, seperti pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat, pelabuhan Patimban, atau sejumlah pembangunan jalan tol, dapat mempercepat progres proyek tersebut dan meningkatkan konektivitas regional serta pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Dalam konteks pemilu, sebagai ilustrasi, para calon pemimpin yang berkontestasi kerap menjanjikan proyek infrastruktur besar, subsidi, ataupun proyek besar lainnya guna mendapatkan dukungan pemilih.

Secara moral, ini tampaknya tidak dapat dibenarkan. Namun, jika memang proyek itu bermanfaat bagi masyarakat luas, tidak ada salahnya dikebut meskipun hanya untuk kepentingan pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada), selama proyeknya juga benar-benar direalisasikan.

Dampak politisasi infrastruktur

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan politik. Yang jadi masalah adalah ketika proyek-proyek yang dimunculkan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kondisi fiskal negara. Sehingga terdapat kepentingan lain yang lebih besar daripada kepentingan masyarakat.

Contoh yang mengilustrasikan masalah tersebut adalah proyek reklamasi teluk Jakarta. Meskipun proyek ini dipromosikan sebagai upaya untuk pengembangan ekonomi dan infrastruktur, banyak pihak mengkritiknya karena potensi dampak lingkungan yang merusak. Terlebih, proyek ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam konteks mitigasi banjir dan pelestarian lingkungan.

Contoh lainnya, menjelang Pemilu 2024, salah satu proyek yang rentan dipolitisasi adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun ada argumen bahwa proyek ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengkritik menganggapnya sebagai manuver politik untuk mendapatkan dukungan pemilih.

Selain itu, masih diperdebatakan apakah memindahkan ibu kota saat ini benar-benar akan memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat luas.

Ditambah lagi, pengadaan kontraktor yang sering dipengaruhi oleh hubungan politik dapat merugikan efisiensi, transparansi, dan integritas dalam pelaksanaan pembangunan. Akibatnya, biaya proyek jadi lebih mahal dan berpotensi mengalami masalah dalam pelaksanaannya. Keputusan semacam ini juga sangat rentan berujung pada praktik korupsi.

Salah satu contohnya adalah proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang pada akhirnya menjadi skandal korupsi, melibatkan petinggi negara setingkat menteri dan pastinya merugikan masyarakat secara finansial dan moral.

Selain praktik korupsi, politisasi dalam pembangunan infrastruktur ini berisiko membuat proyek tersebut mangkrak. Proyek pembangunan Wisma Atlet Hambalang di Bandung, Jawa Barat, juga menjadi salah skandal korupsi yang sangat kontroversial. Skandal megaproyek seluas 32 hektar dan anggaran mencapai Rp2,5 triliun ini telah menyeret sejumlah petinggi partai, termasuk anggota kabinet. Proyek ini pun mangkrak sejak 2011 hingga saat ini.

Selain itu, pertimbangan politik yang salah dapat mengakibatkan alokasi dana yang tidak tepat, dengan fokus pada proyek-proyek yang lebih menguntungkan secara politik daripada yang lebih diperlukan oleh masyarakat.

Bagaimana cara mengatasinya?

Untuk mengatasi tantangan politik dalam pembangunan infrastruktur, partisipasi publik yang kuat adalah kunci. Masyarakat harus aktif dalam memahami dan memantau keputusan politik yang berdampak pada infrastruktur.

Pendidikan politik yang lebih baik, transparansi dalam pengambilan keputusan, dan mekanisme pengawasan yang efektif dapat membantu meminimalkan dampak negatif politik dalam pembangunan infrastruktur.

Dengan demikian, infrastruktur yang dibangun akan lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan menjadi investasi yang berkelanjutan dalam masa depan negara.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now