Menu Close

Program pengungkapan pajak sukarela bukan sekadar ajang penebusan dosa. Manfaatnya pun besar bagi lingkungan

Program pengungkapan pajak sukarela punya andil mengurangi emisi karbon. Marcin Jozwiak/Pexels, CC BY

Pada akhir tahun 2021, Direktorat Jenderal Pajak melakukan inovasi dengan memperkenalkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Melalui program ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan dan/atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi. Pengungkapan harta ini bersifat sukarela.

Pelaksanaan program ini memiliki jangka waktu hanya enam bulan, mulai dari 1 Januari sampai 30 Juni 2022. Direktorat Jenderal Pajak membuka [portal online] 24 jam setiap untuk memudahkan pelaporan.

Program ini diperuntukkan untuk dua target yaitu peserta tax amnesty atau pengampunan pajak dan wajib pajak pribadi.

Program pengungkapan ini bukan hanya kesempatan bagi wajib pajak untuk menghapus dosa-dosa tunggakan pajaknya tanpa dikenai sanksi, namun juga memiliki peran besar dalam mendukung upaya pemerintah mengurangi emisi karbon dan menjaga lingkungan.

PPS: komitmen pemerintah terhadap lingkungan

Baik bagi wajib pajak peserta tax amnesty maupun perorangan, pemerintah memberikan kesempatan untuk melakukan repatriasi aset – proses pengembalian akumulasi harta – baik dalam negeri dan luar negeri, yang diinvestasikan dalam bentuk surat berharga negara.

Surat berharga negara merupakan bentuk obligasi atau surat utang yang diterbitkan pemerintah untuk membiayai anggaran negara lewat investasi masyarakat. Singkatnya, investor meminjamkan uang kepada pemerintah dan mendapatkan keuntungan berupa kupon atau bunga obligasi.

Dalam program pengungkapan sukarela ini, kebijakan repatriasi aset dalam bentuk obligasi negara tersebut hanya berlaku bagi industri hilirisasi sumber daya alam dan energi terbarukan.

Kebijakan ini menunjukan fokus pemerintah terhadap target net-zero emission atau kebijakan nol emisi karbon. Emisi karbon Indonesia meningkat sebesar 0,86 ton per kapita dari tahun 2000 menjadi 2,13 ton per kapita pada 2022.

Dalam perjanjian internasional Paris Agreement yang berlaku pada 2016, negara berkembang dan maju sepakat untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2050. Sementara itu, pada konferensi tingkat tinggi untuk perubahan iklim COP-26 di Glasgow pada 2021, Presiden Joko Widodo mencanangkan kebijakan nol emisi karbon Indonesia dapat tercapai pada 2060.

Pemerintah sudah memulai percepatan transisi menuju energi terbarukan ini melalui kebijakan program pengungkapan sukarela.

Pendapatan pajak dari program pengungkapan sukarela ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dengan prioritas nasional pada tiga aspek: lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim.

Di dalam prioritas nasional tersebut, terdapat program perencanaan pembangunan rendah karbon. Badan Kebijakan Fiskal – yang bertugas merumuskan kebijakan sektor keuangan termasuk pendapatan negara dan pembiayaan – menyusun anggaran program ini melalui investasi surat berharga negara dari program pengungkapan sukarela. Program ini menjadi prioritas utama pemerintah, sebelum anggaran mitigasi bencana dan perubahan iklim.

Melalui skenario tersebut, pemerintah akan melakukan transisi ke energi terbarukan dengan mengurangi penggunaan batu bara.

Target pengurangan batu bara pemerintah adalah 23% pada 2030 dan 30% pada 2045.

Melalui investasi pada sektor sumber daya alam dan energi terbarukan, pemerintah juga ingin mempercepat proyek Green Industrial Park di sekitar ibu kota negara baru di Kalimantan Timur.

Green Industrial Park merupakan kawasan industri yang menerapkan teknologi bersih dan pengolahan limbah dan berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Ditengarai, proyek ini akan menelan biaya sebesar Rp 1.848 triliun.

Memang, transisi ke energi terbarukan tidaklah murah. Namun, hal ini dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan bakar energi dari karbon.

Melalui partisipasi aktif dalam program pengungkapan sukarela, khususnya kebijakan investasi surat berharga negara, pemerintah mengharapkan adanya efek berganda.

Pemerintah mendapatkan pendanaan investasi energi terbarukan dan realisasi transisi energi bisa tercapai. Bukan hanya memberikan dampak ke industri energi, program ini juga dapat memberikan dampak kepada lingkungan dan kesempatan hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang.

PPS sebagai upaya penghapus dosa

Program pengungkapan sukarela tidak mengenakan saksi atas pelaporan data dan informasi harta yang diungkapkan. Administrasi harta tidak menjadi dasar penyelidikan, penyidikan, maupun tuntutan pidana. Peserta cukup menginformasikan harta yang belum pernah diungkapkan sepanjang periode 1985-2015.

Tarif pajak penghasilan (PPh) atas pengungkapan harta tersebut terbagi dalam tiga kelompok: deklarasi harta di luar negeri, repatriasi aset dalam negeri dan luar negeri, dan repatriasi aset dalam negeri dan luar negeri yang diinvestasikan ke dalam surat berharga negara yang hanya berlaku untuk sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan.

Tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak terbilang rendah. Terutama untuk kategori terakhir, wajib pajak perorangan hanya dikenai tarif sebesar 12%, dari tarif normal sebesar 14%. Sedangkan untuk peserta tax amnesty dikenai tarif 6%, lebih rendah dari tarif normalnya sebesar 11%.

Saya melihat program ini merupakan fasilitas pemerintah untuk membantu wajib pajak menghapus dosa-dosa perpajakannya. Dengan mengungkap harta yang belum diungkap lewat jalur online dan dengan jaminan bahwa pelaporan tidak akan menjadi dasar proses hukum, dosa-dosa pengungkapan harta wajib pajak otomatis terhapus.

Bahkan, jika wajib pajak mau lebih berusaha lebih jauh lagi dengan repatriasi dan menginvestasikan hartanya ke surat berharga negara, wajib pajak bisa mendapatkan tarif lebih rendah. Dengan rentang periode enam bulan, kemudahan fasilitas bak kesempatan yang datang lewat flash sale dengan tempo yang singkat. Selain terhindar dari sanksi di masa depan, wajib pajak juga mendapatkan manfaat dari perlindungan data atas harta serta turut berkontribusi pada perbaikan lingkungan.

Keputusan untuk memanfaatkan jendela waktu enam bulan ini ada di tangan wajib pajak itu sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now