Menu Close
Guru mendampingi siswa saat pembelajaran menggunakan layanan internet gratis Kementerian Komunikasi dan Informatika di SDN 51 Simpang Kubu Kandang, Pemayung, Batanghari, Jambi, 30 Oktober 2021. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.

Puluhan triliun untuk infrastruktur internet: benarkah bisa atasi kesenjangan digital di Indonesia

Di tengah bekapan pandemi, pemerintah Indonesia menyiapkan anggaran sekitar Rp 17 triliun per tahun untuk membangun layanan internet 4G di sekitar 9.000 desa di daerah perbatasan, pedalaman, dan tertinggal hingga 2024.

Sebelumnya, proyek pembangunan jaringan serat optik nasional Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur di laut yang menghabiskan sekitar Rp 7,6 triliunan telah selesai. Proyek baru Palapa Ring Terintegrasi dari barat ke timur membutuhkan dana Rp 8 triliun mulai tahun depan.

Pertanyaan besarnya: apakah proyek baru ini akan mampu mengikis kesenjangan internet dan digital di Jawa dan luar Jawa, kota dan desa?

Pemerintah Indonesia bisa belajar dari Belanda yang telah memiliki penetrasi internet lebih dari 90% tapi tetap menghadapi masalah kesenjangan digital di sana dan terhambat dalam mencapai keuntungan digital (digital dividend) baik secara ekonomi maupun sosial.

Untuk menciptakan masyarakat digital yang demokratis dan sejahtera secara ekonomi, aspek ketersediaan jaringan internet hanya merupakan salah satu elemennya.

Mengatasi kesenjangan digital

Hampir dua tahun pandemi COVID-19 menegaskan peran penting internet dalam kehidupan masyarakat. Teknologi digital mampu memediasi segala bentuk kegiatan dan kebutuhan masyarakat sehingga tidak membuat kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik terhenti.

Pemerintah memahami aspek penting teknologi informasi dan komunikasi digital tidak hanya selama masa pandemi tapi untuk pembangunan ke depan. Pengambil kebijakan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lengkap terkait elemen penting untuk menutup kesenjangan digital. Sehingga kebijakan yang dibuat bisa komprehensif dan efisien dari sisi penggunaan anggaran.

Literatur terkait kesenjangan digital bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk membuat kerangka kebijakan (blueprint) yang komprehensif. Para peneliti kesenjangan digital mengidentifikasi ada tiga level kesenjangan digital: (1) akses, (2) penggunaan dan kecakapan, dan (3) keuntungan digital kapital. Riset saya di Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan ketiga faktor ini saling berkorelasi.

Untuk mencapai tujuan agar masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari internet dan teknologi digital, maka perhatian dan kebijakan perlu diarahkan kepada tiga level tersebut.

Kesenjangan pertama terkait akses baik dari sisi ketersediaan jaringan, seperti sambungan kabel pita lebar (broadband) pengirim dan penerima data atau 4G di darat, dan material (misal gawai, teknologi pendukung, biaya perawatan).

Memberikan akses semata belum bisa menutup kesenjangan pada level pertama. Karena ragam gawai akan memberikan kualitas yang berbeda. Pengguna internet dengan akses laptop tentu bisa lebih baik mencari informasi ketimbang yang berbasiskan telepon selular.

Data dari International Telecommunication Union (ITU) tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami kesenjangan akses jaringan internet dan juga material akses terhadap komputer. Hanya 53,7% penduduk yang menggunakan internet dan 18,8% memiliki akses laptop. Bandingkan dengan Malaysia yang 89,6% penduduknya menggunakan internet dan 77,6% punya komputer.

Selain itu kualitas jaringan yang stabil dari sisi kapasitas bandwidth dan sambungan berpengaruh terhadap keuntungan bagi pengguna. Seorang siswa yang mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan kapasitas sambungan terbatas dan tidak andal tentu akan termarginalisasi dibandingkan siswa lain yang tidak mengalami masalah serupa.

Pemerintah perlu memetakan ulang strategi terkait akses fisik internet, terutama sejauh mana Proyek Palapa Ring tidak bertumpang tindih dengan proyek 4G.

Secara kualitas, jaringan internet berbasis kabel optik lebih baik dari sisi teknis. Sementara sistem 4G teresterial atau di darat akan sangat mahal dan rentan dengan perubahan kondisi cuaca dan topografi. Selain itu biaya perawatan juga harus diperhatikan terkait kerusakan atau kendala yang mungkin terjadi.

Ketika akses semakin membaik, ternyata internet menciptakan kesenjangan baru level kedua, yaitu pada dimensi penggunaan dan kecakapan pengguna. Penggunaan atas internet bisa merupakan kegiatan produktif seperti pencarian informasi atau non-produktif untuk konsumsi hiburan. Kritik terhadap penggunaan non-produktif menjadi keprihatinan ketika pengguna internet menjadi pasif dan konsumtif. Sehingga internet lebih memberikan dampak negatif yang tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif melalui pengusaha berskala kecil dan menengah.

Terkait dengan dimensi kecakapan digital (digital skills) ada tiga hal yang perlu diperhatikan: keterampilan medium, literasi informasi, dan pemahaman atas keamanan digital.

Keterampilan dalam menggunakan medium seperti memahami cara menggunakan dan mengoperasikan perangkat digital (misal laptop, PC) menjadi prasyarat mendasar. Pengguna idealnya memiliki kemampuan untuk menggunakan beragam teknologi digital untuk ragam kepentingan berbeda. Pengguna yang memiliki keterampilan digital yang mumpuni tentu akan berkinerja lebih baik.

Selain itu, kecakapan dalam mengolah informasi (information literacy) akan membantu pengguna untuk memilih dan memilah informasi yang penting dan relevan. Kasus banyaknya misinformasi dan disinformasi yang terdistribusi di ruang daring, terutama ruang media sosial, menunjukkan literasi informasi perlu ditingkatkan.

Aspek pemahaman yang masih rendah atas keamanan untuk melindungi data dan informasi dalam media digital menjadi keprihatinan lainnya. Penggunaan third-party applications atau two-factors authentication bisa mencegah terjadinya pencurian data.

Untuk mengurangi kesenjangan digital pada level kedua bisa melalui pendidikan formal atau informal. Pemerintah perlu mengkomunikasikan kepada publik terkait strategi untuk menutup kesenjangan digital pada level kedua. Negara seperti Vietnam sudah menjadikan pembelajaran program komputer pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas.

Apabila pemerintah ingin mengejar bonus demografi dengan menciptakan sumber daya yang memiliki kecakapan digital yang baik dan mampu menggunakan internet secara produktif, maka strategi baru perlu diciptakan melalui pembuatan kurikulum digital ataupun penciptaan pelatihan-pelatihan informal.

Kesenjangan level ketiga mengidentifikasi keuntungan yang didapat, baik keuntungan ekonomi, sosial, budaya, maupun personal. Tidak semua pengguna internet bisa mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebagian besar pengguna internet masih menjadi konsumen baik dari sisi mengkonsumsi tayangan hiburan atau konsumen bisnis daring.

Dari aras sosial, meningkatnya polarisasi publik dan maraknya berita kebencian di internet, mereduksi sosial kapital dalam masyarakat. Warga negara semakin mudah terpecah dengan isu-isu primordial atas dasar misinformasi dan disinformasi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik ternyata menjadi katalis polarisasi publik ketika bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk meredam pluralitas opini publik.

Pemerintah perlu memiliki data yang akurat terkait keuntungan yang didapat oleh individu melalui internet. Badan Pusat Statistik bisa menjadi garda depan untuk mengumpulkan data publik terkait sejauh mana internet memberikan keuntungan ekonomi, sosial, budaya, dan personal kepada penggunanya. Sehingga apabila ditemukan efek bumerang yang tidak diinginkan, intervensi sosial bisa cepat dilakukan.

Masyarakat digital: kesenjangan sosial dan ekonomi makin dalam

Dengan memahami kompleksitas masyarakat digital dan pengidentifikasian terhadap elemen penting terkait kesenjangan digital, publik dan pemangku kebijakan bisa mendiskusikan kembali langkah kebijakan yang telah diterapkan pemerintah.

Apakah menekankan kepada investasi infrastruktur dengan penggunaan dana yang besar akan memberikan imbalan ekonomi setimpal? Terutama pada masa pandemi saat ini ketika keuangan negara memiliki keterbatasan.

Gambar 1: Kesenjangan digital, diadopsi dari Triwibowo (2020)

Kerangka berpikir kesenjangan digital (Gambar 1) memberikan peringatan bahwa menuju masyarakat digital mensyaratkan tiga lapisan yang berbeda namun saling berhubungan. Pun, pemberian akses fisik jaringan juga mensyaratkan adanya akses material pada saat bersamaan.

Apakah petani desa yang diberikan akses kepada internet akan bisa mendapatkan manfaat ekonomi? Ada elemen individu, seperti kemampuan ekonomi terkait material akses baik untuk membeli atau merawat perangkat digital yang harus diperhatikan.

Ada faktor akses material, individu pengguna (misal keterampilan dan ragam penggunaan), dan sosioekonomi yang berkontribusi dalam penciptaan kesenjangan.

Selain itu, pengetahuan dan pemahaman atas perangkat digital dan cara penggunaan yang produktif, bukan sesuatu yang otomatis didapatkan.

Asumsi bahwa generasi digital natives akan mendapatkan secara langsung keuntungan digital (digital dividend) tidak memiliki dasar empiris. Teknologi digital adalah teknologi eksperiensial. Pengguna perlu memiliki pengetahuan dasar dan melakukan praktik untuk bisa mengoptimalkan teknologi dan mendapatkan keuntungan.

Karena itu, pandangan bahwa teknologi internet memperdalam kesenjangan ekonomi tentu perlu mendapatkan perhatian. Platform ekonomi seperti Gojek dan Grab ternyata semakin mengeksploitasi pekerja paruh waktu (gig worker) yang semakin banyak jumlahnya saat ini. Pekerja paruh waktu menjadi kelompok marginal tanpa perlindungan asuransi, jaminan masa tua, dan karir.

Tentu pemerintah tidak ingin masyarakat digital justru menciptakan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas yang semakin lebar kesenjangannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now