Menu Close
(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Reformasi seleksi masuk perguruan tinggi ala Menteri Nadiem: terobosan yang baik tapi masih banyak PR

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengumumkan perubahan besar terkait mekanisme seleksi pada tiga jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia.

Ini mencakup perubahan kriteria seleksi pada jalur prestasi (SNMPTN), penggunaan tes tertulis yang fokus pada penalaran ketimbang hafalan mata pelajaran pada SBMPTN, dan penguatan transparansi pada seleksi jalur mandiri.

Beragam perubahan ini mulai berlaku pada tahun 2023.

Mendikbudristek Nadiem Makarim mengumumkan serangkaian perubahan terkait proses seleksi mahasiswa baru di Indonesia melalui kanal Youtube kementeriannya.

Menteri Nadiem memaparkan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan inklusivitas, kualitas, dan transparansi proses seleksi mahasiswa baru di Indonesia.

Selama ini, misalnya, tes mata pelajaran pada SBMPTN membuat banyak orang tua berlomba membayar jasa bimbingan belajar (bimbel) demi meloloskan anaknya – ini dianggap merugikan pelajar dari keluarga kurang mampu. Kampus juga rentan terhadap komersialisasi dan kolusi dalam seleksi jalur mandiri yang selama ini minim standardisasi, seperti yang terjadi pada Universitas Negeri Lampung (UNILA) beberapa waktu lalu.

Tetapi, apakah beragam perubahan ini akan cukup efektif menangkal masalah-masalah tersebut?

Meski patut diapresiasi, saya berpendapat bahwa paket kebijakan ini masih menyisakan beragam celah yang harus segera diselesaikan Kemdikbudristek demi benar-benar mewujudkan seleksi masuk perguruan tinggi yang baik dan berkeadilan.

1. SNMPTN lebih menghargai minat siswa, tapi perlu verifikasi prestasi

Kemdikbudristek mengubah kriteria seleksi jalur prestasi atau SNMPTN dengan harapan mendorong siswa SMA belajar dengan lebih menyeluruh, sembari memberi ruang bagi mereka mengejar minat (passion).

Dalam proses seleksi SNMPTN selama ini, program studi yang bisa dipilih siswa biasanya terbatasi penjurusan mereka selama SMA – IPA (sains), IPS (ilmu sosial), atau bahasa. Prodi kampus juga biasanya hanya mempertimbangkan nilai dari sejumlah mata pelajaran tertentu yang dianggap paling relevan dengan keilmuan prodi tersebut.

Tradisi ini cenderung membuat siswa minim ruang untuk mengeksplorasi minat dan aspirasi karier mereka begitu sudah ‘terjebak’ pada penjurusan tertentu di SMA.


Read more: Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?


Dalam regulasi baru SNMPTN, tiap prodi kini wajib mempertimbangkan nilai seluruh mata pelajaran dalam rapor siswa (minimal 50%). Mereka juga bisa menyeleksi berdasarkan komponen minat dan bakat seperti melihat prestasi atau portfolio seni (maksimal 50%).

Hal ini menawarkan fleksibilitas; siswa tak hanya terdorong untuk belajar seluruh bidang pelajaran, tapi juga lebih tenang mendaftar prodi tertentu karena tak lagi ‘dihakimi’ berdasarkan beberapa mata pelajaran saja. Selain itu, mereka lebih terdorong mengejar passion – misalnya lewat lomba, karya, dan konferensi – karena secara langsung berkontribusi pada peluang mereka dalam seleksi SNMPTN.

Akan tetapi, isu yang masih harus menjadi perhatian Kemdikbudristek adalah bagaimana melakukan verifikasi terhadap prestasi-prestasi tersebut.

Di berbagai kampus Amerika Serikat (AS), jalur prestasi untuk penerimaan atlet rentan terhadap pemalsuan dan persekongkolan.

Dalam skandal ‘Varsity Blues’ yang sempat heboh di AS pada tahun 2019, sebuah perusahaan konseling pendidikan tinggi membantu berbagai klien kaya – dari pebisnis hingga selebritas – memalsukan dokumen untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi terbaik.

Ini termasuk memalsukan profil dan prestasi sang anak, hingga partisipasi mereka dalam tim olahraga melalui foto rekayasa.

Ke depannya, ini menjadi PR bagi Kemdikbudristek dan dunia perguruan tinggi untuk mencegah praktik-praktik serupa.

2. Hilangnya tes mapel SBMPTN: benarkah menghapus kesenjangan dan budaya bimbel?

Pada SBMPTN tahun 2023, Kemdikbudristek memutuskan hanya akan memakai tes skolastik berbasis penalaran – mirip dengan Scholastic Assessment Test (SAT) di Amerika Serikat (AS) – dan menghapus tes mata pelajaran.

Selama ini, misalnya, tes mata pelajaran SBMPTN cenderung berbasis hafalan dan pemahaman yang dangkal, serta mendorong munculnya budaya bimbel. Ini tentu merugikan keluarga kurang mampu yang tak bisa membayarnya.

Tapi, beragam studi menunjukkan bahwa meski tes skolastik semacam SAT di AS memang bisa memprediksi potensi akademik di perguruan tinggi, akurasinya juga cukup bervariasi terhadap latar belakang ekonomi mahasiswa.

Sebagai contoh, semakin tinggi pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua mahasiswa, semakin tinggi pula skor verbal dan penalaran matematika mereka. Ini bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk menghadiri sekolah unggul dengan pendanaan yang baik, akses ke tutor pribadi, hingga mengikuti kelas persiapan tes yang berbayar.


Read more: Mengapa adanya jasa bimbel bisa sulitkan pemerintah ketahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah


Keinginan negara memberantas budaya bimbel dengan biaya mencekik juga belum tentu bisa tercapai.

Siswa memang bisa mempelajari tes skolastik secara mandiri. Tapi, sebagai satu-satunya ujian pada jalur SBMPTN, tes skolastik ini bisa kembali mendorong orang tua untuk membayar biaya tinggi bagi kursus anaknya – sehingga tetap menyediakan ruang munculnya berbagai jasa persiapan tes.

3. Penguatan transparansi pada jalur mandiri harus lebih menyeluruh

Kemdikbudristek juga berupaya memperkuat transparansi seleksi jalur mandiri PTN dengan mewajibkan kampus mengumumkan kuota penerimaan, metode penilaian, hingga besaran biaya jauh sebelum peserta menjalani seleksi. Selain itu, kementerian juga membuka sistem whistleblowing untuk masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran.

Hal in semakin jadi perhatian publik menyusul kasus suap jalur mandiri akhir-akhir ini, termasuk di UNILA.

Tapi, masalah seleksi jalur mandiri tak hanya pada minimnya transparansi kepada publik.

Di dalam internal kampus, ada praktik-praktik ‘transaksional’ lain yang sulit dideteksi. Ini termasuk rahasisa umum adanya ‘kuota dosen’ untuk jalur mandiri di beberapa kampus – meski belum ada riset yang bisa menggambarkannya dengan rinci.

Dalam artikel yang saya tulis untuk The Conversation bulan lalu, saya menyarankan reformasi sistemik untuk menutup ruang korupsi dan suap di perguruan tinggi.

Ini termasuk penguatan fungsi Majelis Wali Amanat (UI) untuk mengawasi jalur mandiri hingga penerapan kerangka kepatuhan anti-suap dan korupsi (Anti-Bribery and Corruption Compliance) bagi kampus.


Read more: Kasus suap Rektor Unila: korupsi penerimaan mahasiswa baru semakin subur di tengah kapitalisme akademik


Membangun sistem seleksi yang akurat dan berkeadilan

Selain beberapa masalah yang tersisa di atas, kampus juga perlu memahami bahwa esensi dari seleksi perguruan tinggi sebagai suatu sistem ‘penyaringan’, adalah menakar potensi akademik calon mahasiswa.

Riset dari College Board (lembaga ujian masuk kampus) di AS menunjukkan bahwa tes skolastik dan nilai rapor sekolah, secara akumulatif berpengaruh sebesar 13%-19% terhadap Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa di kampus. Jika tes skolastik saja, maka pengaruhnya hanya sebesar 6%.

Artinya, jika kampus ingin memastikan akurasi prediksi akademik dari calon mahasiswa, hasil tes sekolastik tetap memerlukan pertimbangan nilai rapor hingga prestasi mereka. Perlu sinergi yang lebih baik antara SMA/SMK/MA dengan perguruan tinggi untuk mewujudkan hal ini.

Sementara itu, untuk mewujudkan inklusivitas dalam seleksi mahasiswa baru, pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan pendamping.

Misalnya, untuk mencegah diskriminasi, pemerintah dapat memberikan persiapan tes skolastik yang berkualitas untuk siswa yang tidak mampu. Lebih baik lagi, pemerintah bisa mengintegrasikan materi berbasis penalaran ke dalam kurikulum pendidikan menengah seperti di banyak negara, sehingga siswa tak perlu lagi mempersiapkannya di luar sekolah.

Reformasi seleksi kampus ala Menteri Nadiem adalah terobosan baik. Tapi, pemerintah bersama dunia perguruan tinggi perlu menyelesaikan berbagai masalah yang tersisa guna mewujudkan sistem seleksi perguruan tinggi yang akurat dan berkeadilan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now