Menu Close
Pocong merupakan hantu yang paling banyak direpresentasikan di film Indonesia. MataMata.com.

Representasi pocong dan cerminan ketakutan masyarakat Indonesia

Tubuh yang terbalut kain putih dengan tali kafan terikat, berlumuran tanah, diisi belatung, melompat dan terbang menerjang, mencekik, menyemburkan cairan tubuh melalui mulut, mengeluarkan cahaya hijau dari mata, membalas dendam dan membunuh, menjadi elemen dari representasi pocong dalam film horor Indonesia.

Menurut riset yang kami lakukan sebagai dosen ilmu komunikasi dan media di Universitas Padjadjaran, representasi tersebut menjadi pantulan ketakutan yang tertanam di benak masyarakat Indonesia.

Menariknya, representasi pocong ini mengalami perubahan dari waktu ke waktu karena mengutip Sigmund Freud, ahli saraf dan ilmuwan psikologi asal Austria yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis, terkadang tubuh orang mati hanyalah mayat, namun di lain waktu, mayat menjadi mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari wacana sosial, ideologi gagasan, sikap dan ketakutan yang ada di masyarakat.

Sehingga, ketika situasi masyarakat berubah, representasi atas pocong pun berubah.

Representasi pocong sebelum era 90an: pelengkap dan sederhana

Berbeda dengan di Indonesia, masyarakat Timur Tengah tidak memercayai manusia dapat menghantui setelah kematiannya. Sehingga, film horor supernatural klasik Timur Tengah menempatkan jin dan variannya sebagai antagonis. Sementara horor supernatural Indonesia lebih banyak menempatkan manusia yang mati penasaran akibat pembunuhan dan menyimpan dendam sebagai hantu. Hal ini karena pocong dan banyak hantu lain di Indonesia berdiri di atas sistem kepercayaan sinkretik, kelindan antara kepercayaan atas ruh gentayangan, tempat keramat, momen-momen ngeri.

Pocong sendiri merupakan entitas spektral (terikat secara geografis) yang unik, karena walaupun representasinya berkaitan erat dengan ritual religi, namun pocong sebagai hantu tidak (pernah) benar-benar dominan mengisi layar sinema negara dengan mayoritas penduduk Islam lainnya. Bahkan, negara Timur Tengah tidak memiliki film horor pocong sama sekali.

Penelusuran yang kami lakukan juga menunjukkan bahwa hantu pocong di Melayu pada awal abad ke-20 disebut sebagai hantu bungkus, hantu golek atau hantu guling. Richard James Wilkinson, seorang administrator Kolonial Inggris, sarjana Melayu sekaligus sejarawan dari Inggris, dalam kumpulan makalah-nya yang berjudul Malay Beliefs” (1906), menjelaskan bahwa hantu kochonk yang terikat kafan hanya dapat berjalan berguling ke samping. Pocong dalam wacana awal abad ke-20 di Melayu memang direpresentasikan secara sederhana, yaitu sebagai hantu yang tergolek atau terguling.

Setan Kuburan (1975) adalah film horor yang paling vulgar menjadikan pocong sebagai hantu utama pada periode sebelum 1990-an. Setelah itu, terdapat film yang merepresentasikan pocong sebagai hantu, seperti Malam Satu Suro (1988), tapi pocong tidak mendominasi layar sinema kita pada periode 1970-1998. Pocong hanya menjadi elemen pembangkitan hantu yang kemudian termanifestasi menjadi hantu lain seperti sundel bolong dalam Malam Satu Suro (1988) atau sebagai pelengkap untuk menambahkan nuansa teror pada bagian akhir film seperti dalam Pengabdi Setan (1982).

Representasi pocong pascareformasi: tokoh utama di berbagai media

Pascareformasi, khususnya setelah tayangnya Pocong 2 (2006) yang disutradarai Rudi Soedjarwo, pocong berkali-kali ‘menghantui’ layar sinema Indonesia.

Berdasarkan catatan kami, pada periode 2000-2020, terdapat 37 film horor Indonesia yang merepresentasikan pocong sebagai hantu utama. Data ini sangat signifikan bila dibandingkan dengan representasi pocong di film horor sebelum 1998.

Kemunculan Pocong 2 (2006) yang disusul oleh serentetan film pocong lain merupakan indikasi terjadinya pergeseran wacana ketakutan masyarakat Indonesia. Penelitian kami mengungkap terjadinya peningkatan kuantitas film horor Indonesia secara signifikan terutama pada genre horor spiritual yang mengandalkan nuansa religi pascareformasi.

Studi Inaya Rakhmani, direktur Asia Research Centre Universitas Indonesia, tahun 2014, menunjukkan hubungan antara dinamika praktis televisi komersial dan peningkatan kesalihan baru masyarakat terutama pascareformasi. Hal ini mendorong lahirnya gelombang menuju “Islam arus utama”, yang mencerminkan simbiosis antara pengaruh Islam yang berkembang dan komersialisasi di industri televisi Indonesia.

Sinetron Jadi Pocong (2002-2003) yang merupakan referensi dari film Mumun (2022), menjadi bagian dari arus utama tersebut khususnya dalam genre horor dengan latar religi. Kehadiran hantu pocong menjadi semacam spiritual turn dalam wacana film Indonesia.

Spiritual turn yang dimaksudkan adalah adanya peningkatan secara signifikan horor spiritual dan semakin menipisnya horor dengan genre lain seperti monster, slasher atau jagal serta horor psikologis, terutama bila dibandingkan horor Indonesia tahun 1970-1980-an.

Periode 2000-an juga menandai banyaknya representasi pocong di berbagai media lain selain film. Media cetak yang memberikan visualitas dan narasi pocong secara masif adalah Hidayah, majalah dengan oplah paling besar pada periode 2000-2004 di Indonesia, dengan angka tertinggi 320.000 penjualan per-edisi. Hidayah adalah terbitan dalam bentuk majalah satu-satunya yang mengekspos visualitas pocong secara superlatif pada halaman sampul dan kontennya.

Representasi ini kemudian ‘diadopsi’ oleh media televisi melalui sinetron Jadi Pocong (2002-2003). Walaupun sutradara Jadi Pocong menyatakan bahwa sinetron tersebut berasal dari cerita rakyat yang telah ada bertahun-tahun, tapi kenyataan bahwa ia muncul setelah majalah Hidayah mengisi loper-loper koran dan majalah di seluruh Jakarta dan bahkan Indonesia, menunjukkan bahwa Jadi Pocong mendapatkan efek dari popularitas pocong yang sudah ada sebelumnya. Hidayah sendiri kemudian diadaptasi dalam format sinetron yang ditayangkan pada 2005-2007.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now