Menu Close

RI kirim nota diplomatik terkait penolakan Abdul Somad, bukti kuatnya pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri

Ustadz Abdul Somad usai memberikan kajian tausiyah di Gedung KPK.
Ustadz Abdul Somad. Reno Esnir/Antara Foto

Beberapa hari terakhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kasus penolakan pemerintah Singapura atas kedatangan Abdul Somad, penceramah Indonesia yang kini tengah naik daun, ke negara tersebut.

Kejadian ini memancing beragam respon dan sikap masyarakat, mulai dari yang menuntut pemerintah Indonesia untuk mencari tahu penyebab penolakan tersebut, mengecam Singapura, dan menyebutnya terkena Islamofobia. Ada pula pihak yang menuduh Singapura melecehkan ulama.

Namun yang cukup mengejutkan adalah tindakan pemerintah Indonesia untuk mengirimkan nota diplomatik kepada Singapura guna meminta klarifikasi perihal penolakan tersebut.

Ini merupakan sikap yang tidak lazim di dalam hubungan diplomatik. Setidaknya ada dua alasan mengapa tindakan itu sebenarnya tidak diperlukan.

Pertama, Abdul Somad berkunjung ke Singapura bukan sebagai utusan negara, melainkan sebagai warga negara biasa. Tujuannya ke Singapura pun hanya untuk berlibur, bukan menghadiri acara kenegaraan mewakili Indonesia. Jadi, tidak ada urgensi bagi pemerintah Indonesia untuk mempertanyakan penolakan tersebut.

Kedua, sebuah negara menolak kedatangan orang asing ke wilayahnya adalah hal yang umum dan terjadi setiap hari, bukan hanya di Singapura. Abdul Somad pun bukan individu pertama yang pernah mengalaminya.

Contoh, dari tahun 2000 hingga 2020, Prabowo Subianto, yang kini menjabat Menteri Pertahanan, ditolak masuk ke Amerika Serikat (AS) oleh otoritas negara tersebut. Namun, pemerintah Indonesia tidak pernah mengirimkan nota diplomatik ke pemerintah AS karena saat itu Prabowo hanya berstatus warga negara biasa.

Contoh di mana pemerintah pernah mengirimkan nota diplomatik, yaitu pada tahun 2017, ketika mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo ditolak masuk ke wilayah AS saat ia masih menjadi panglima.

Saat itu Indonesia mengirimkan nota diplomatik untuk menanyakan penolakan AS. Sebab, Gatot berkunjung sebagai utusan negara, yakni untuk memenuhi undangan Panglima Angkatan Bersenjata AS saat itu, Jenderal Joseph F Durford, Jr., untuk menghadiri acara Chiefs of Defence Conference on Country Violent Extremist Organizations (VEOs).

Lalu, apa yang membuat kasus Abdul Somad disikapi berbeda dari yang lain?

Tekanan politik viral dan upaya meredam kegaduhan politik

Salah satu alasan yang membuat kasus penolakan Abdul Somad berbeda dari yang lain adalah adanya tekanan ‘politik viral’ yang dialami oleh pemerintah.

Tekanan ini menyebabkan pemerintah cenderung responsif dan akomodatif terhadap isu apapun yang viral di media sosial.

Politik viral sendiri dapat didefinisikan sebagai dinamika politik yang dipengaruhi oleh atau terkait dengan isu yang sedang viral atau banyak diperbincangkan, biasanya di media sosial.

Saat ini, Abdul Somad merupakan figur populer di media sosial. Popularitasnya membuat apapun yang ia lakukan atau yang terjadi pada dirinya berpotensi viral dan menjadi perhatian publik. Kondisi ini membuatnya rentan menjadi komoditas politik di Indonesia.

Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, situasi politik Indonesia dan kebijakan pemerintah dipengaruhi oleh fenomena politik viral. Salah satu contohnya adalah kontroversi vaksin berbayar.

Awalnya pemerintah memutuskan vaksin COVID-19 yang disalurkan melalui Kimia Farma akan berbayar. Namun, setelah isunya viral di masyarakat, pemerintah menggratiskannya.

Di satu sisi, politik viral bisa digunakan untuk mendorong pemerintah maupun pihak terkait melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, seperti dalam hal kebijakan negara.

Di sisi lain, politik viral juga bisa digunakan sebaliknya, seperti mendiskreditkan pihak lain atau menciptakan instabilitas politik lewat penyebaran berita palsu.

Kuatnya pengaruh identitas Islam

Alasan berikutnya adalah terkait dengan pengaruh Islam dalam pengambilan kebijakan di Indonesia.

Status Abdul Somad sebagai penceramah membuatnya selalu terafiliasi dengan Islam. Dominasi nuansa Islam di dalam kasus ini bisa terlihat dari respon yang diberikan oleh sejumlah organisasi Islam dan munculnya narasi Islamofobia yang dilontarkan oleh sejumlah pihak pascapenolakan.

Di dalam politik Indonesia, isu-isu terkait Islam sering kali bersifat sensitif dan kontroversial, sehingga mudah menciptakan kegaduhan politik.

Ditambah lagi, selama ini banyak narasi-narasi yang menuding pemerintah tidak berpihak pada umat Islam. Contohnya penceramah Muslim Felix Siauw, melalui unggahan di media sosial, menuding pemerintahan Jokowi cenderung anti-islam.

Melalui pengiriman nota diplomatik ke Singapura, pemerintah terlihat ingin mencegah isu tersebut semakin viral dan, jika didiamkan, dapat memperkuat citra anti-Islam pemerintah.

Pemerintah, yang tidak mau citranya terusik, akhirnya menyerah pada tekanan publik mayoritas.

Bisa dipahami jika pemerintah berusaha meminimalisir sentimen negatif umat Islam terhadapnya demi menjaga stabilitas politik, terutama menjelang masa pemilihan umum 2024.

Keputusan mengirimkan nota diplomatik tersebut, dengan demikian, diharapkan dapat meredam berkembangnya ancaman dari kalangan muslim pendukung Abdul Somad dan kelompok-kelompok lainnya yang memainkan isu Islam untuk mencapai kepentingan politiknya.

Mempertimbangkan faktor politik domestik dalam pengambilan kebijakan luar negeri adalah sebuah keniscayaan. Namun, kecenderungan untuk selalu responsif dan akomodatif terhadap apapun yang viral juga bukan hal yang tepat karena tidak semuanya memberi manfaat bagi publik dan negara.

Pengiriman nota diplomatik pada akhirnya juga akan menciptakan standar ganda bagi masyarakat. Sebab, hal yang sama tidak dilakukan pemerintah ke warga negara Indonesia lainnya yang ditolak masuk ke sebuah negara.

Dari kejadian ini pula, kita bisa menilai bahwa Islam punya kemampuan yang kuat dalam memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Namun, pengaruh ini tidak berada di tataran ideologis, melainkan akibat dari tekanan kelompok Islam mayoritas.

Dalam bahasa Michael Leifer, pakar politik dan hubungan internasional dari Inggris, inilah yang dikatakan bahwa Islam “lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tekanan daripada motivasi positif”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now