Menu Close
Perempuan yang melakukan perjalanan solo menghadapi beberapa risiko. Kitzcorner/shutterstock.

Riset jelaskan cara mengatasi risiko yang dihadapi perempuan saat lakukan perjalanan solo

Penelitian tahun 2023 di Taiwan menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan perjalanan solo menghadapi berbagai risiko. Temuannya menyoroti tantangan keamanan dan keselamatan yang dihadapi oleh perempuan yang bepergian sendirian.

Penulis selaku peneliti di bidang mobilitas penduduk, geografi dan demografi sosial melakukan studi tentang tren, tantangan, dan peluang dalam mobilitas perempuan, guna menyoroti kebutuhan akan langkah-langkah yang lebih efektif dalam meningkatkan kesadaran, pendidikan, dan keamanan untuk melindungi perempuan yang melakukan perjalanan solo.

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melibatkan wawancara mendalam kepada 25 partisipan perempuan yang pernah melakukan perjalanan solo.

Untuk memperoleh data yang beragam, partisipan dipilih dengan mempertimbangkan berbagai faktor demografi dan sosial, termasuk usia, status perkawinan, dan pekerjaan utama. Proses wawancara dilaksanakan secara langsung dengan durasi 1-2 jam untuk setiap partisipan, dalam kurun waktu 2 bulan (September-Oktober 2023).

Risiko perjalanan solo bagi perempuan

Temuan studi penulis menunjukkan adanya 2 risiko yang dihadapi perempuan ketika melakukan perjalanan solo, yaitu:

1. Resistensi budaya

Peningkatan tren perjalanan solo, terutama di kalangan perempuan yang mencari jati diri, pemberdayaan, dan kebebasan menghadapi perlawanan dalam budaya tertentu, terutama di Asia, di mana nilai-nilai tradisional dan norma sosial tidak selalu mendukung perempuan untuk bepergian sendirian.

Meski dihadapkan pada resistensi budaya, pelancong perempuan tetap termotivasi oleh keinginan internal akan kebebasan. Mereka tetap memulai petualangan solo meskipun keputusan tersebut mungkin dianggap tidak konvensional dalam konteks budaya mereka.

2. Pelecehan seksual

Pelecehan seksual merupakan risiko yang menjadi keprihatinan serius bagi perempuan yang melakukan perjalanan solo. Hasil studi penulis menemukan 5 dari 25 narasumber mengalami pelecehan seksual, khususnya pelecehan verbal. Perempuan yang bepergian sendirian, rentan risiko pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender, terutama jika dibandingkan dengan pelancong pria.

Tindakan pelecehan verbal ini termasuk kata-kata merendahkan, ajakan untuk hubungan seksual, dan komentar seksual yang tidak diinginkan lainnya.

Pelecehan verbal dalam bentuk kata-kata tidak senonoh kerap dialami oleh perempuan di ruang publik. Rommel Canlas/shutterstock.

Pelecehan verbal tidak boleh dianggap enteng, karena meninggalkan dampak yang berkelanjutan dan dapat menyebabkan trauma pada korban. Penting untuk diakui bahwa catcalling , yang mencakup bersiul, komentar verbal yang tidak diinginkan, dan pujian yang tidak pantas, masuk dalam kategori pelecehan.

Respon dari para korban

Respons perempuan terhadap pelecehan verbal bervariasi. Studi penulis mengelompokkan respons mereka menjadi tiga kategori: mengabaikan, melawan tegas, dan mengambil tindakan hukum.

Perempuan yang memilih untuk mengabaikan pelecehan verbal berpikir bahwa menghindari pelaku dan menjauh dari situasi tersebut adalah strategi praktis. Pendekatan ini menghindari memberikan kepuasan reaksi dan memberikan prioritas pada keselamatan pribadi. Ini adalah cara proaktif untuk menghindari situasi yang tidak nyaman.

Bagi yang melawan, salah satu narasumber penelitian dengan tegas menyatakan kepada pelaku bahwa komentar tersebut tidak diinginkan dan tidak pantas. Pendekatan ini menegaskan hak individu untuk diperlakukan dengan hormat, dengan tujuan menyampaikan bahwa perilaku semacam itu tidak dapat diterima, serta mengajak untuk membangun dialog yang lebih konstruktif dan menghargai perbedaan pendapat.

Dalam kasus yang lebih serius, dokumentasi insiden dengan mencatat rincian seperti waktu, lokasi, dan deskripsi pelaku pelecehan dianggap sangat penting. Sebagai contoh, salah satu narasumber berbagi pengalaman ketika mengalami pelecehan verbal. Ia secara cepat mengumpulkan bukti dan mencari tempat yang aman. Setelah itu, narasumber tersebut melaporkan kejadian tersebut kepada petugas keamanan setempat. Proses pelaporan ini tidak hanya membantu memastikan tanggung jawab pelaku, tetapi juga berkontribusi pada upaya menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua orang.

Rekomendasi mitigasi risiko

Keberanian melakukan perjalanan solo meningkatkan kemandirian dan kemampuan adaptasi perempuan. Perjalanan solo juga dapat membangun tingkat percaya diri perempuan dalam mengatasi tantangan dan situasi yang memerlukan keberanian.

Namun, risiko perjalanan solo masih terus membayangi. Sebagai tindak lanjut dari temuan studi penulis, berikut sejumlah rekomendasi untuk mengurangi dampak risiko perjalanan solo bagi perempuan:

Pertama, perempuan perlu aktif mencari langkah-langkah keselamatan saat bepergian. Mengatasi masalah keamanan ini memperkecil risiko dan menjadi pencapaian penting bagi pelancong solo perempuan, yang berhasil mengubah hambatan awal menjadi aspek yang memberikan manfaat dalam perjalanannya.

Perempuan perlu rasa aman dan nyaman dalam melakukan perjalanan. L du Preez/shutterstock.

Kedua, perempuan perlu meningkatkan kesadaran melalui kampanye edukasi yang ditujukan baik kepada pelancong perempuan maupun masyarakat umum. Program pendidikan ini dapat membantu mengidentifikasi tanda-tanda pelecehan dan memberikan pengetahuan tentang cara meresponsnya.

Ketiga, perempuan perlu bersikap lebih responsif terhadap pelecehan seksual, apapun bentuknya. Sikap responsif ini mencakup mengabaikan, melawan tegas, atau bahkan mengambil tindakan hukum. Dukungan psikologis dan hukum kepada korban juga menjadi bagian krusial dari upaya menciptakan lingkungan yang aman.

Keempat, dokumentasi insiden pelecehan dan pelaporan ke pihak berwenang merupakan tindakan yang penting. Proses ini membantu memastikan tanggung jawab pelaku dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua pelancong.

Terakhir, sektor pariwisata, masyarakat lokal, komunitas pelancong dan pemerintah perlu bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi pejalan solo perempuan. Hal ini termasuk pelatihan bagi pelaku usaha pariwisata, peningkatan penegakan hukum, jaringan komunitas pelancong perempuan, dan pengembangan kebijakan yang mendukung keselamatan perempuan, sehingga tercipta ekosistem perjalanan solo yang lebih aman dan inklusif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now