Menu Close

Riset: Konsumsi rokok sembunyikan 8,8 juta penduduk miskin

Rokok dan kemiskinan
Dua anak bermain di tengah jalur kereta api Palmerah-Tanah Abang, Jakarta, Selasa (27/10/2022). Pemerintah telah mengucurkan anggaran Rp450 triliun guna merealisasikan penghapusan kemiskinan ekstrem yang mencapai 5,59 juta orang di Indonesia melalui sinergi program antar kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. ANTARA FOTO/SUlthony Hasanuddin/rwa

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 26,5 juta penduduk miskin di Indonesia pada 2021. Namun, angka sebenarnya lebih besar jika kita mengeluarkan komponen belanja tembakau dari pengeluaran rumah tangga per kapita. Apalagi diketahui bahwa enam dari sepuluh rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk membeli tembakau

Belanja tembakau menjadi bagian dari total pengeluaran rumah tangga per kapita (PPK) yang digunakan oleh BPS untuk mengukur tingkat kesejahteraan sebuah rumah tangga, termasuk untuk menentukan apakah suatu keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Saat ini, terdapat 67 garis kemiskinan di Indonesia yang terdiri dari dua garis kemiskinan (desa dan kota) di 33 provinsi dan satu garis kemiskinan (kota) di provinsi DKI Jakarta.

Dalam studi terbaru, kami menghitung ulang angka kemiskinan, menggunakan data SUSENAS tahun 2018-2021 dengan total sampel lebih dari 1.000.000 rumah tangga. Hasilnya, kami menemukan jika belanja tembakau dan biaya kesehatan terkait perilaku merokok dikeluarkan dari total pengeluaran rumah tangga pada periode terkait, maka angka kemiskinan di Indonesia akan naik sebesar 2,84 sampai 3,2 poin persentase. Ini setara dengan 7,5 juta sampai 8,8 juta orang atau 1,89 juta keluarga.

Kelompok ini tidak tertangkap oleh data nasional karena belanja tembakau dan biaya kesehatan terkait perilaku merokok telah membuat pengeluaran rumah tangga mereka seolah-olah di atas batas garis kemiskinan.

Belanja tembakau yang signifikan namun mubazir

Terdapat dua alasan mengapa belanja tembakau dianggap sebagai pengeluaran yang mubazir. Pertama, konsumsi rokok tidak berpengaruh terhadap pemenuhan nutrisi. Sebaliknya, belanja rokok mengalihkan sumber daya yang semestinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Kajian kami sebelumnya menunjukkan bahwa belanja rokok, sebesar 11% dari total pengeluaran**, terbukti mengurangi anggaran rumah tangga untuk barang dan jasa lain. Belanja rokok bahkan melampaui alokasi untuk beras (9,7%), buah dan sayuran (7,4%), atau daging (6,5%). Sementara, sebuah penelitian lain menyebutkan asupan protein harian pada rumah tangga perokok lebih rendah dibandingkan rumah tangga tanpa perokok.

Hal ini dapat berdampak buruk pada investasi sumber daya manusia, terutama anak-anak. Riset menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga perokok di Indonesia memiliki risiko stunting yang lebih tinggi dan dikhawatirkan berdampak buruk dalam jangka panjang.

Kedua, merokok meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan produktivitas akibat disabilitas dan kematian dini.

Kajian CISDI menunjukkan biaya perawatan untuk penyakit akibat rokok berkisar antara Rp 17,9 triliun sampai Rp 27,7 triliun per tahun. Belum lagi jika mempertimbangkan kesakitan hingga kematian dari seorang perokok yang menyebabkan rumah tangga kehilangan pencari nafkah utama dan berisiko mengalami guncangan finansial. Sebab, mayoritas perokok di Indonesia adalah populasi laki-laki (65,5%), yang notabene berperan sebagai tulang punggung keluarga di Indonesia. BPS mencatat bahwa 86% rumah tangga Indonesia dikepalai oleh laki-laki.

Dapat disimpulkan, merokok tidak hanya berdampak negatif pada perokok sendiri namun juga keluarga perokok, baik di masa kini maupun di masa depan.

8,8 juta penduduk yang tak terdeteksi miskin

Dari simulasi perhitungan kami lakukan, kami menemukan tingkat kemiskinan pada tahun 2021 naik 3,23 poin persentase dari angka resmi yang dirilis oleh BPS (10,41%), menjadi 13,37%. Jumlah tersebut setara dengan 8,77 juta jiwa dari 1,89 juta rumah tangga di Indonesia.

Estimasi serupa ditemukan pada tiga tahun lainnya yaitu tahun 2019 (bertambah 3,26 poin persentase, setara dengan 8,73 juta jiwa), tahun 2020 (naik 3,17 poin persentase, setara dengan 8,56 juta jiwa), dan tahun 2018 (naik 2,84 poin persentase, setara dengan 7,49 juta jiwa). Sebagian besar rumah tangga yang jatuh ke garis kemiskinan adalah mereka yang berada dalam kategori hampir miskin (berada sedikit di atas garis kemiskinan).

Temuan pada studi ini sejalan dengan riset di India dan Cina yang menemukan bahwa masing-masing negara ketambahan 12,1 juta dan 41,8 juta penduduk miskin jika belanja tembakau dan biaya kesehatan terkait dikeluarkan dari perhitungan total belanja rumah tangga.

Sebagai tambahan, studi kami juga menemukan bahwa kenaikan angka kemiskinan lebih signifikan pada populasi penduduk di pedesaan daripada perkotaan. Kami berargumen hal tersebut terjadi karena dua faktor.

Pertama, lebih banyak rumah tangga yang tergolong hampir miskin di daerah pedesaan sehingga lebih rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Kedua, prevalensi merokok di daerah pedesaan (30,8%) lebih tinggi dibandingkan perkotaan (18,99%). Akibatnya, rumah tangga di desa cenderung mengalihkan porsi belanja tembakau yang lebih tinggi (11,3%) dibanding mereka yang tinggal di kota (9,9%).

Tingginya konsumsi rokok di wilayah pedesaan salah satunya akibat harga yang lebih terjangkau. Perokok di pedesaan secara rata-rata membeli rokok dengan harga yang lebih murah (Rp 970) dibandingkan perokok di perkotaan (Rp 1,050).

Hal ini dapat terjadi karena besarnya variasi harga pada rokok-rokok yang dijual di Indonesia akibat dari kebijakan tarif cukai rokok yang bertingkat, tergantung pada jenis rokok (murni/putih atau mengandung cengkeh/kretek) dan metode produksi (mesin atau dengan tangan). Pada 2023 nanti, misalnya, pemerintah telah menetapkan variasi kenaikan cukai rokok dari 5% hingga 12%.

Rekomendasi kebijakan

Konsumsi tembakau di Indonesia perlu dikendalikan melalui kebijakan-kebijakan yang efektif untuk meniadakan atau meminimalisasi dampak negatif dari konsumsi tembakau. Kami menawarkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti bagi pemerintah demi menekan konsumsi tembakau secara signifikan.

Pertama, terapkan peningkatan cukai tembakau diiringi dengan peningkatan harga jual minimum.

Instrumen cukai merupakan strategi paling efektif untuk menekan konsumsi produk tembakau seperti rokok. Kenaikan cukai dapat mengurangi keterjangkauan rokok hingga perokok terdesak untuk mengubah perilaku konsumsinya, terutama pada perokok usia muda dan berpendapatan rendah.

Berkurangnya keterjangkauan rokok juga dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dalam jangka panjang seiring dengan pemangkasan biaya kesehatan dan peningkatan usia harapan hidup.

Kedua, pemangkasan jumlah kelompok (tier) tarif cukai yang ada saat ini. Kebijakan ini dapat mengurangi variasi harga rokok sehingga efektif dalam membatasi pilihan konsumen untuk beralih pada produk rokok yang lebih murah, yang menjadi determinan masih tingginya konsumsi rokok di Indonesia saat ini.

Ketiga, perketat pengendalian tembakau dengan strategi non-fiskal seperti pelarangan iklan dan sponsor rokok, pengawasan ketat terhadap kawasan tanpa rokok, dan memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar pada produk tembakau.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia tak hanya dapat mengurangi jumlah perokok namun juga memberantas kemiskinan terselubung.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now