Menu Close

Riset: literasi digital tak pengaruhi aktivitas orang tua berbagi informasi anak di media sosial

Aktivitas berbagi informasi tentang anak di media sosial adalah fenomena yang semakin marak, terutama di kalangan ibu-ibu. Ivan Marc/shutterstock.

Mengabadikan momen ketika anak pertama kali berjalan, atau pertama kali berulang tahun, adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para orang tua. Keberadaan media sosial, seperti Instagram, memudahkan orang tua untuk membagikan momen-momen tersebut melalui akun mereka. Bahkan, banyak anak yang sudah memiliki akunnya sendiri meski Instagram memiliki kebijakan usia minimal pengguna yaitu 13 tahun.

Penempatan informasi berupa foto-foto anak dan kegiatan mereka bersama teman dan keluarga di media sosial oleh orang tua disebut dengan istilah ‘sharenting’, yang umumnya dilakukan oleh orang tua tanpa seizin anak dan lebih sering dilakukan oleh ibu daripada ayah.

Aktivitas sharenting ini rentan risiko, di antaranya penculikan, pengambilan foto tanpa izin serta berpotensi melanggar hak privasi anak yang juga bisa berdampak pada risiko keamanan yang lebih berat.

Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua perlu memiliki literasi digital yang baik. Literasi digital merujuk pada kemampuan untuk mengakses, mengorganisasikan, memahami, menyatukan, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi dengan aman dan layak melalui teknologi digital.

Namun, benarkah literasi digital yang baik dapat mengurangi risiko sharenting?

'Sharenting’ adalah fenomena kota besar

Tahun 2022, kami melakukan survei kepada 385 ibu di Jawa Timur yang memiliki anak usia maksimal 12 tahun. Kami memilih Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi dengan skor keamanan digital paling rendah, walaupun Pulau Jawa adalah pulau dengan infrastruktur paling baik di Indonesia.

Responden kami paling banyak berusia 20an, dengan usia anak yang beragam dari 1 hingga 12 tahun. Domisili para ibu ini tersebar di 31 kota di Jawa Timur tetapi mayoritas tinggal di kota besar, yaitu Surabaya, Malang, dan Kediri seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa sharenting menjadi praktik umum di kalangan ibu-ibu urban.

Grafik kota tempat tinggal responden. (Puspita & Edvra, 2022)

Pendidikan para ibu yang menjadi responden kami mayoritas adalah lulusan sarjana sebanyak 63,8%, diikuti lulusan SMA/SMK sebanyak 29,3%. Sisanya berpendidikan magister (5,9%), doktor (0,5%) dan sekolah dasar (0,25%). Walaupun tingkat pendidikan dan usia responden beragam, namun aktivitas sharenting yang dilakukan relatif tidak berbeda.

Sadar risiko tapi tetap melakukan

Hasil survei kami menunjukkan bahwa para ibu di Jawa Timur memiliki persepsi risiko yang tinggi tentang privasi anak di Instagram. Artinya, mereka menyadari adanya kemungkinan pelanggaran privasi yang mengintai anak maupun perangkat mereka, seperti pencurian data dan foto, perundungan, atau hacking.

Namun, masih ada tiga indikator dari kompetensi keamanan (kemampuan penggunaan fitur-fitur keamanan di perangkat digital), yang diabaikan oleh para ibu. Indikator ini melingkupi: (1) tidak keluar dari akun Instagram, sehinggga masih memungkinkan risiko hacking dan pencurian akun, (2) menunjukkan foto anak, yang berarti mengabaikan risiko pencurian foto anak dan pengenalan identitas anak di bawah umur oleh orang asing, dan (3) masih mengaktifkan kolom komentar pada unggahan terkait anak yang membuka peluang perundungan dan risiko dampak negatif pada mental ibu dan anak.

Aktivitas ‘sharenting’ rentan risiko pelanggaran privasi. TarikVision/shutterstock.

Selain itu, masih ditemui normalisasi pembuatan konten yang abai terhadap privasi anak, misalnya secara bebas menyebutkan nama anak dan nama sekolahnya, atau membagikan informasi tentang anak tanpa memandang usia anak mereka. Responden kami tetap membagikan aktivitas anak mereka yang sudah berusia praremaja (12 tahun) tanpa bertanya terlebih dahulu, sehingga privasi anak menjadi privasi kolektif.

Privasi kolektif ini berarti bahwa privasi anak juga akan dimiliki oleh audiens dari Instagram Ibu, baik itu audiens yang melihat story, reels, maupun feeds. Hal ini menunjukkan bahwa ibu, secara sepihak memutuskan bahwa mereka adalah co-owner dari privasi anak, persis seperti yang dicirikan sebagai sharenting dalam kehidupan keseharian keluarga.

Riset kami juga menemukan, 42,7% responden ternyata mengizinkan anaknya untuk memiliki akun Instagram sendiri walaupun tidak sesuai dengan kebijakan Instagram (belum berusia 13 tahun).

Rekomendasi

Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara literasi digital dan aktivitas sharenting sangat lemah. Secara spesifik, survei kami menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi sebesar 14,4% dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak-anak.

Namun, temuan ini tetap membuktikan adanya hubungan di antara keduanya. Sehingga, rendahnya angka korelasi tersebut justru bisa dibaca sebagai pengingat, bahwa tingginya kekhawatiran orang tua tentang isu privasi tidak serta merta membuat kegiatan sharenting di Instagram menjadi lebih jarang terjadi.

Ke depan, manajemen risiko sharenting memerlukan riset lanjutan untuk memetakan solusi, serta gerakan sosial untuk semakin meningkatkan kesadaran para ibu bukan hanya atas risiko sharenting, tapi juga risiko pengabaian hak privasi anak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now