Menu Close

Riset: peneliti perempuan di Indonesia masih tertinggal dalam publikasi riset politik dan hubungan internasional

Artikel ini kami terbitkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus.


Kesenjangan gender di dunia kerja adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi hampir semua sektor, termasuk di pendidikan tinggi.

Selain ketimpangan jumlah pada komposisi gender dosen dan profesor, di mana profesor laki-laki jauh lebih banyak daripada perempuan, dalam publikasi akademik ternyata juga ada kesenjangan yang cukup signifikan.

Berbagai riset tentang gender dari segi akademik di negara-negara maju menemukan bahwa publikasi ilmiah, terutama di kalangan dosen dan peneliti ilmu politik, masih cenderung didominasi oleh peneliti laki-laki.

Kami pun tertarik untuk mencari tahu apakah hal serupa juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sebagai studi kasus, Indonesia adalah negara yang sangat patut untuk dicermati. Dengan populasi terbesar keempat di dunia, dan negara demokrasi terbesar nomor tiga setelah India dan Amerika Serikat (AS), khazanah ilmu politik dan hubungan internasional (HI) di tanah air memainkan peran sentral di kawasan Indo-Pasifik.

Bagaimanakah dinamika gender dalam riset HI selama 20 tahun terakhir? Apakah laki-laki dan perempuan menunjukkan produktivitas dan preferensi tema publikasi yang berbeda? Topik apa yang paling sering diteliti oleh ilmuwan HI laki-laki dan perempuan di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, riset kami yang terbit pada Juni 2022 menelusuri jurnal-jurnal HI yang telah terakreditasi pada tingkat tertinggi di portal publikasi Sinta kelolaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).

Dalam riset tersebut, kami melihat tujuh jurnal HI papan atas di Indonesia (Tabel 1) dan mendata 783 artikel yang terbit selama periode 2000-2019.

Tabel 1. Tujuh Jurnal HI Papan Atas di Indonesia. (SINTA), Author provided

Produktivitas, kolaborasi, dan bahasa: peneliti perempuan tertinggal tapi ada harapan

Pertama, kami mendapati pola di jurnal-jurnal HI Indonesia yang serupa dengan pola global, yakni dominasi laki-laki dalam publikasi ilmiah (Grafik 1).

Pola ini konsisten selama 20 tahun terakhir, kecuali pada 2009-2011, di mana jumlah publikasi penulis tunggal perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

Grafik 1. Jumlah publikasi berdasarkan gender dan tipe penulis selama 2000-2019. (Prihatini & Prajuli, 2022), Author provided

Kedua, penulis HI di Indonesia juga cenderung sedikit yang melakukan kolaborasi. Dari tujuh jurnal yang kami teliti, hanya satu yang memiliki persentase artikel ilmiah kolaboratif di atas 30%.

Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, mulai dari minimnya kebijakan yang mendorong kerjasama akademik, rendahnya keinginan untuk mengembangkan pendekatan transdisiplin, besarnya beban administratif dosen sehingga sulit meluangkan waktu untuk riset kolaboratif, hingga perbedaan mentalitas antara jurnal yang berumur muda dan tua.

Namun, dalam aspek gender, kami mendapati temuan yang sangat menarik: ternyata peneliti laki-laki lebih suka berkolaborasi dengan sesama laki-laki (Grafik 2).

Komposisi gender tim penulis yang paling dominan, misalnya, adalah tim penulis yang seluruhnya laki-laki (all-male authors), yakni sebesar 33% hingga 52%. Sebaliknya, tim penulis yang seluruhnya perempuan jumlahnya sedikit (all-female authors), yakni hanya 5% sampai 25%.

Grafik 2. Sebaran komposisi gender tim penulis berdasarkan jurnal ilmiah. (Prihatini & Prajuli, 2022), Author provided

Ketiga, kami juga mengamati kecenderungan bahwa artikel berbahasa Inggris lebih banyak ditulis oleh penulis laki-laki daripada perempuan.

Namun, peneliti perempuan terlihat berusaha mengejar ketertinggalan ini. Selama 10 tahun terakhir, misalnya, jumlah artikel berbahasa Inggris yang ditulis perempuan (Grafik 3) meningkat signifikan – bahkan menyalip artikel berbahasa Inggris dari peneliti laki-laki (Grafik 4) dalam 5 tahun terakhir.

Kecenderungan ini mengindikasikan bahwa pada masa yang akan datang, penulis HI di Indonesia – baik laki-laki maupun perempuan – akan lebih sering lagi menerbitkan karyanya dalam Bahasa Inggris. Hal ini sangat baik karena dapat meningkatkan cakupan pembaca serta peluang pengutipan karya ilmiah mereka.

Grafik 3. Jumlah artikel ilmiah berbahasa Inggris yang ditulis perempuan dalam 20 tahun terakhir. (Prihatini & Prajuli, 2022), Author provided
Grafik 4. Jumlah artikel ilmiah berbahasa Inggris yang ditulis laki-laki dalam 20 tahun terakhir. (Prihatini & Prajuli, 2022), Author provided

Perempuan hadir dalam isu keamanan, tapi laki-laki abai isu gender dan lingkungan

Keempat, kami mendalami pola preferensi tema riset HI di antara penulis laki-laki dan perempuan (Grafik 5).

Dari hampir 800 artikel yang terbit, judul karya oleh penulis perempuan dan laki-laki sama-sama mengindikasikan minat terhadap isu Indonesia, ASEAN, dan Cina. Mereka juga punya minat yang kuat terkait kebijakan, diplomasi, dan pembangunan.

Ada juga sejumlah perbedaan minat antara mereka. Meski peneliti perempuan tidak banyak menulis terkait isu maritim, mereka masih mendominasi judul-judul dengan tema lingkungan, perempuan, dan manusia.

Temuan ini menunjukan adanya kesamaan pola antara Indonesia dan negara-negara Barat, yaitu para penulis laki-laki tidak memiliki minat besar terkait isu perempuan dan lingkungan.

Dalam hal kata kunci, penulis perempuan juga ternyata paling banyak menggunakan kata-kata seperti “publik”, “hak”, “budaya”, “gender”, “perempuan”, “lingkungan”, “pekerja”, “identitas”, “migran”, “sosial”, dan “budaya”. Sementara, penulis laki-laki banyak menggunakan kata “global”, “pertahanan”, “teori”, “krisis”, dan “perdagangan”.

Uniknya, penulis perempuan dan laki-laki sama-sama suka meneliti tema terorisme, demokrasi, strategi, dan konflik.

Grafik 5. Preferensi kata kunci riset HI antara peneliti laki-laki dan perempuan. (Prihatini & Prajuli, 2022), Author provided

Terkait isu keamanan (security), penulis perempuan dan laki-laki ternyata memiliki minat yang sama-sama tinggi – bahkan menjadi topik favorit secara umum di bidang HI. Padahal, riset di AS sebelumnya menemukan bahwa peneliti HI perempuan tidak setertarik laki-laki dalam mendalami topik ini.

Bahkan, kami tidak menemukan kesenjangan gender dalam isu yang menyangkut Asia, militer, kerjasama, dan tata kelola (governance).

Selain itu, analisis kata kunci di atas juga menunjukkan bahwa cendekiawan HI di Indonesia, terlepas dari gendernya, masih memiliki perspektif ke dalam (inward-looking perspective). Hal ini tidak mengejutkan karena telah sejak lama Indonesia dikenal berfokus pada negara sendiri. Ini pun terlihat dalam aspek ekonomi, keamanan, maupun kebijakan luar negeri.

Konsekuensinya, jarak geografis (proximity) suatu negara dengan Indonesia mempengaruhi minat riset mereka. Di antara laki-laki maupun perempuan, topik seputar Asia, ASEAN, Cina, Jepang, dan Indonesia menjadi wilayah-wilayah paling dominan di dalam kajian HI yang muncul di jurnal-jurnal yang kami teliti.

Mendorong kehadiran peneliti perempuan dalam publikasi riset

Temuan riset kami menunjukkan bahwa publikasi akademik menjadi salah satu ruang yang masih sangat perlu ditelaah secara mendalam.

Ini penting demi mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang perkembangan khazanah keilmuan di Indonesia. Bidang HI yang kami dalami dalam riset ini, misalnya, menunjang peran krusial Indonesia di wilayah Asia-Pasifik.

Sayangnya, pemetaan kami terkait pola riset HI di Indonesia selama dua dekade terakhir menunjukkan produktivitas yang masih cenderung timpang antara peneliti laki-laki dan perempuan.

Dunia riset sosial di Indonesia perlu terus mencari strategi yang dapat mendukung peningkatan produktivitas serta kolaborasi, meningkatkan kehadiran buah pikir akademisi perempuan, dan mengokohkan perspektif yang memperkaya keilmuan HI Indonesia secara inklusif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now