Menu Close
Aktivitas penambangan nikel di Sulawesi Tengah.
Proses pemuatan bijih nikel ke tongkang di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Rafiq Pramudya/Shutterstock

Riset temukan bagaimana elit meraup cuan dari sengkarut tata kelola nikel Sulawesi Tengah

Di tengah ambisi pemerintah untuk menjadi sentra baterai kendaraan listrik, Sulawesi Tengah menikmati banyak ‘berkah’. Daerah kaya deposit nikel ini menjadi provinsi penerima investasi asing terbesar di Indonesia pada 2022. Pertumbuhan ekonominya moncer di angka melebihi 11% rata-rata selama satu dekade.

Namun torehan di atas tak betul-betul mendorong kesejahteraan masyarakat. Pada 2021, angka kemiskinan Sulawesi Tengah masih tinggi: 12,18% populasi atau termasuk 10 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Ini juga tercermin dari rasio gini (menunjukkan ketimpangan) dan pendapatan daerah yang rendah bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Korupsi ditengarai menjadi salah satu biang keroknya. Investigasi majalah TEMPO, misalnya, menceritakan bagaimana elit politik dan pengusaha pertambangan memperoleh izin usaha melalui praktik suap, dugaan pemalsuan dokumen, dan kemampuan berjejaring dengan penyelenggara negara.

Hasil penelitian terbaru kami, yang terbit di Jurnal Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperkuat dugaan korupsi. Ada selisih perhitungan produksi nikel selama 2011-2021 dan selisih ekspor nikel dari Indonesia ke Cina sejak 2014-2021 yang tak tercatat di kas negara. Angkanya diperkirakan sekitar US$10 miliar atau sekitar Rp153 triliun.

Sementara itu, ekspor bijih nikel ke Cina terus berlangsung meski pemerintah telah melakukan pembatasan.

Melalui artikel ini kami mendata bagaimana para elit mengantungi uang dari sengkarut tata kelola penambangan nikel di Sulawesi Tengah.

Marak korupsi di tengah ambisi eksploitasi nikel Indonesia.
Kejaksaan Agung baru-baru ini menetapkan Ridwan Djamaluddin, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww

Mendulang untung dari jejaring

Kami melakukan wawancara, observasi lapangan, dan studi pustaka terhadap dokumen pemerintah dan KPK. Kami mewawancarai 13 responden dari berbagai latar belakang–termasuk politikus, pebisnis, wartawan lokal, pemimpin lembaga swadaya masyarakat, ketua pemuda dan pelajar, pihak pemerintah, dan kepala desa. Observasi berfokus di tiga kabupaten–Morowali, Morowali Utara, dan Banggai–yang banyak memiliki cadangan nikel dan aktivitas pertambangan.

Berdasarkan pemetaan menggunakan social network analysis (SNA), kami menemukan adanya relasi ekonomi - politik dalam bisnis penambangan nikel. Jaringan ini melibatkan banyak pihak: mulai dari pejabat pemerintah daerah dan pusat, pengusaha, pengurus partai politik, aparat penegak hukum, aktivis, pengacara, pelaku industri pengolahan (smelter), hingga elit desa.

Para aktor tersebut berjejaring satu sama lain. Ada lima jenisnya: jaringan bisnis, jaringan keluarga, jaringan partai, jaringan pemerintah, dan jaringan organisasi massa (sosial dan agama).

Pada dasarnya, dalam sebuah jaringan, setiap aktor memiliki hubungan dengan aktor lainnya, kemudian membentuk berbagai subjaringan yang lebih kompleks. Keterlibatan para aktor umumnya terkait erat dengan kewenangan, posisi yang mereka miliki dalam aktivitas pertambangan nikel, dan ketokohan di masyarakat. Interaksi sosial antaraktor ini menjadi cikal bakal terbentuknya jaringan korupsi.

Modus operandi

Aktivitas penambangan nikel di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Aktivitas penambangan nikel di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Author provided

Berdasarkan temuan penelitian kami, jaringan-jaringan di atas menciptakan enam modus korupsi dalam aktivitas pertambangan nikel di Sulawesi Tengah.

Pertama, jual beli dan sewa lahan yang mengandung nikel. Praktik ini berawal dari penetapan wilayah izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah, kemudian memicu penggelembungan harga tanah oleh para spekulan. Penyewaan lahan juga merupakan modus yang digunakan untuk dapat mengeruk tanah yang mengandung nikel.

Praktik ini melahirkan tiga kelompok pengusaha tambang yaitu pengusaha tambang pemilik IUP tapi tidak menguasai lahan, pengusaha tambang yang memiliki lahan tapi tidak memiliki IUP, dan pengusaha tambang tanpa IUP tapi dapat menambang dengan menyewa lahan.

Pada 2022, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal mengungkap praktik jual beli lahan di Desa Bunta, Kabupaten Morowali Utara. Praktik ini disebut melibatkan mantan kepala desa, camat, perusahaan, dan pejabat daerah.

Kedua, pengajuan pendapat hukum (legal opinion) lembaga negara seperti kejaksaan dan ombudsman. Pendapat hukum ini marak digunakan para pemegang IUP yang pernah dicabut izinnya oleh pemerintah daerah berdasarkan rekomendasi KPK–karena tumpang tindih dengan izin usaha lain–supaya bisa kembali menambang.

Penggunaan legal opinion ini berawal dari terbitnya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018. Laporan majalah TEMPO menyebut, hingga Januari 2022, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menerbitkan 84 pendapat legal untuk 80 perusahaan. Salah satu perusahaan yang mendapatkan legal opinion diduga milik pejabat. Orang tersebut dikenal memiliki relasi dengan lingkaran kekuasaan dan beberapa lembaga negara.

Ketiga, jual beli dokumen IUP, persyaratan pengapalan, dan penggunaan bahan bakar bersubsidi.

Jual beli IUP terjadi ketika pemegang IUP aktif menjual izin yang dimilikinya kepada pihak lain. Bentuknya bisa dengan peralihan kepemilikan saham maupun perusahaan. Pembeli biasanya adalah pihak yang ingin segera menambang tanpa harus mengajukan izin yang membutuhkan waktu lebih lama.

Sementara, jual beli dokumen pengapalan adalah cara para penambang membersihkan nikel dari praktik penambangan ilegal. Di kalangan penambang, praktik ini dikenal dengan istilah “dokter”, singkatan dari dokumen terbang, yakni memakai dokumen pengapalan yang sah untuk mengemas dan menjual bijih dari penambangan ilegal.

Penangkapan dua kapal tongkang bermuatan nikel yang tidak dilengkapi dokumen yang sah di perairan Morowali pada April 2022, misalnya, menjadi indikasi praktik jual beli dan pemalsuan dokumen.

Selanjutnya, jual beli dokumen penggunaan bahan bakar bersubsidi. Aktivitas penambangan, sesuai regulasi, tak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Namun, BBM bersubsidi dapat ‘dilegalkan’ melalui jual beli dokumen. Praktik ini umumnya melibatkan para perusahaan penyalur BBM industri yang mendapatkan pasokan BBM bersubsidi dari para penimbun.

Keempat, kegiatan pengancaman dan pemerasan oleh aparat penegak hukum kepada para pemilik IUP dan penambang ilegal. Pemegang IUP kerap diancam ketika aktivitas mereka mendapat sorotan dari masyarakat, aktivis, atau menjadi perhatian media, misalnya karena dugaan kerusakan lingkungan.

Situasi ini menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki perusahaan-perusahaan yang tengah disorot. Padahal, dalam perjalanannya, penyelidikan ini tidak mengalami kemajuan tapi juga tidak dihentikan.

Contoh praktik ini: laporan dugaan penambangan ilegal di Desa Korolama, dugaan penggunaan dokumen perusahaan lain dalam melakukan aktivitas penambangan di Kabupaten Morowali Utara, serta laporan dugaan pemalsuan tanda tangan Bupati Morowali.

Kelima, shadow benefical ownership atau menyembunyikan kepemilikan IUP oleh para elit politik guna menghindari sorotan publik atas atas kepemilikan mereka dalam perusahaan tambang. Caranya, mereka memasukkan nama orang lain–seperti keluarga, rekan satu organisasi, atau rekan bisnis–sebagai pemilik perusahaan.

Hasil penelusuran dokumen dan observasi lapangan mengungkap bahwa sebagian pemilik perusahaan yang tercantum dalam data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berbeda dengan pemilik sebenarnya di lapangan. Dari 91 IUP di Sulawesi Tengah, sekitar 35 IUP atau 43% tidak mencantumkan nama pemilik saham. Kami juga menemukan 2 IUP yang kepemilikannya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Informasi kepemilikan yang tak transparan memungkinkan terjadinya kejahatan penghindaran pajak, pencucian uang, dan potensi penyalahgunaan pendanaan terorisme.

Keenam, penambangan ilegal. Ada dua pemahaman terkait hal ini. Pertama, mereka yang tidak memiliki dokumen legal, tapi dapat melakukan aktivitas penambangan. Kedua, penambang yang legal tapi menambang di luar wilayah izin mereka seperti wilayah milik perusahaan lain, wilayah yang masih dalam proses sengketa, dan wilayah koridor atau antara. Istilah terakhir kerap disebut sebagai “pelakor” (penambang lahan koridor).

Rekomendasi

Indonesia memerlukan langkah-langkah yang lebih konkret melalui perbaikan tata kelola pertambangan nikel dan penegakan hukum.

Pertama, perlunya penyelidikan lebih mendalam atas temuan potensi kerugian negara, dan melakukan penegakan hukum secara tegas.

Kedua, penambahan personel pengawas dan perlunya membangun sistem mekanisme pengawasan yang transparan, terintegrasi dan responsif.

Ketiga, mendorong transparansi pemegang IUP dan pabrik pengolahan (smelter) baik menyangkut aktivitas penjualan dan proses penambangan. Aktivitas penambangan perlu memasang papan informasi perusahaan, guna memudahkan identifikasi pengawasan dan tindakan pencegahan korupsi dan pencurian lahan milik perusahaan lain.

Keempat, perlunya meningkatkan pengawasan lalu lintas kapal pemuat bijih nikel dengan membentuk satuan tugas.

Jika hal ini tak diatasi, investasi asing dan dan kekayaan nikel Indonesia hanya akan mengenyangkan segelintir orang dan tak pernah bisa menyejahterakan masyarakat.


Nadhira Afdalia, M. Kafrawi, dan Moh. Nutfa berkontribusi dalam penelitian yang menjadi dasar artikel ini. Ketiganya adalah staf pengajar di Universitas Tadulako.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now