Menu Close
Pixabay

Saat kita sibuk menghadapi wabah COVID-19, Bumi bisa saja menghadapi kepunahan massal berikutnya

Pada titik tertentu dalam sejarah planet kita, peningkatan level karbon dioksida di atmosfer telah menimbulkan pemanasan global ekstrem dan mempercepat kepunahan banyak spesies di Bumi.

Di masa lampau, pemicu aktivitas seperti ini adalah erupsi volkanik yang besar atau dampak dari asteroid. Kini, Bumi menghadapi sekali lagi kepunahan massal akibat aktivitas manusia.

Saya adalah peneliti Bumi dan Paleo-ikim (ilmu yang meneliti iklim di masa lalu) yang sudah meneliti hubungan antara dampak asteroid, vulkanisme, perubahan iklim dan kepunahan massal spesies.


Read more: Here's what the coronavirus pandemic can teach us about tackling climate change


Penelitian saya menunjukkan laju pertumbuhan emisi karbon dioksida saat ini lebih cepat daripada kejadian dua kepunahan massal sebelumnya, termasuk peristiwa yang memusnahkan dinosaurus.

Dunia saat ini sedang fokus pada penanganan COVID-19. Namun, risiko pemanasan global akibat perbuatan manusia terhadap alam, serta kewajiban untuk segera bertindak, tetap jelas.

Kadar emisi CO2 saat ini adalah yang paling tinggi sepanjang sejarah Bumi. EPA

Kepunahan massal di masa lalu

Banyak spesies bisa beradaptasi dengan perubahan yang lambat hingga cepat. Namun, sejarah Bumi menunjukkan perubahan yang ekstrem pada iklim bisa menyebabkan banyak spesies akhirnya punah.

Misalnya, ketika asteroid menghantam Bumi pada 66 juta tahun yang lalu.

Pecahan batu dan kebakaran yang luas melepaskan karbon oksida dalam jumlah besar selama 10.000 tahun.

Suhu global meningkat, permukaan laut naik dan laut menjadi asam.

Lebih dari 80% spesies, termasuk dinosaurus, punah.

Sekitar 55 juta tahun yang lalu, suhu global kembali tinggi. Ini berlangsung selama lebih dari 100 ribu tahun.

Belum jelas penyebab kejadian yang dikenal dengan Paleocene-Eocene Thermal Maximum ini.

Satu teori, dikenal sebagai “hipotesis sendawa metana” atau (methane burp), menduga sebuah erupsi gunung api besar-besaran memicu pelepasan metana secara tiba-tiba dari sedimen laut, membuat lautan menjadi lebih asam dan membunuh banyak spesies.

Jadi, apakah kehidupan di Bumi kini menghadapi nasib yang sama?

Membandingkan tingkat gas rumah kaca

Sebelum masa industri dimulai pada akhir abad ke-18, karbon dioksida di atmosfer mencapai sekitar 300 bagian per juta. Artinya, ada 300 kandungan CO2 untuk setiap satu juta molekul gas di atmosfer.

Februari tahun ini, karbon dioksida di atmosfer mencapai 414,1 bagian per juta.

Total gas rumah kaca, –karbon dioksida, metana dan dinitrogen oksida–, mencapai hampir 500 bagian per juta bagian karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Author provided/The Conversation, CC BY-ND

Karbon dioksida saat ini terlepas ke atmosfer sekitar dua hingga tiga bagian per juta setiap tahun.

Berdasarkan catatan karbon terekam dalam fosil dan bahan organik, saya yakin bahwa emisi karbon saat ini berada dalam situasi ekstrem sepanjang sejarah Bumi.

Penelitian saya menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida tahunan lebih cepat dari ketika asteroid memusnahkan dinosaurus (sekitar 0.18 bagian setiap satu juta CO2 setiap tahun) dan suhu maksimal 55 juta tahun lalu (sekitar 0.11 bagian CO2 per tahun).

Sebuah asteroid yang memusnahkan dinosaurus 66 juta tahun lalu. Shutterstock

Kepunahan massal selanjutnya sudah dimulai

Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer saat ini belum mencapai level yang terjadi pada 55 dan 65 juta tahun yang lalu.

Namun, arus karbon dioksida yang besar menunjukkan iklim berubah lebih cepat dari kemampuan adaptasi mayoritas tumbuhan dan hewan.

Laporan PBB tahun lalu telah mengingatkan bahwa lebih dari satu juta spesies hewan dan tumbuhan terancam punah.

Perubahan iklim adalah satu dari lima penyebab utama.

Laporan tersebut menyatakan bahwa dampak negatif dari perubahan iklim telah mempengaruhi 47% dari distribusi mamalia yang tidak bisa terbang dan 25% burung yang terancam.


Read more: Curious Kids: What effect did the asteroid that wiped out the dinosaurs have on plants and trees?


Banyak peneliti mengkhawatirkan bahwa sistem iklim kini mencapai ambang batas, sebuah kondisi di mana perubahan yang cepat dan tidak dapat diubah dapat terjadi.

Hal ini bisa menciptakan sebuah dampak yang menghancurkan.

Sudah ada tanda bahwa kita sudah mencapai titik kritis ini. Misalnya, meningkatnya suhu di Artik yang menjadi penyebab mencairnya es, dan melemahkan Arctic jet stream atau pergerakan angin kuat dari arah barat.

Diagram yang menunjukkan melemahnya aliran udara dari Artik serta pergerakan udara hangat dan dingin. NASA

Hal ini membuat pergerakan udara hangat menuju utara, melewati batas kutub dan batas udara dingin bergeser ke arah selatan menuju Siberia, Eropa dan Kanada.

Pergeseran zona iklim juga menyebabkan daerah tropis meluas dan bermigrasi ke kutub, dengan kecepatan sekitar 56 hingga 111 kilometer per dekade.

Jejak taifun tropis dan ekstra tropis ini juga ikut menuju kutub. Australia sangat rentan terkena dampak dari perubahan ini.

Iklim masa depan

Penelitian tahun 2016 menunjukkan besarnya dampak bagi manusia di Bumi.

Saat Bumi yang secara alamiah memasuki zaman es dalam jangka waktu 20.000 tahun, panas yang dihasilkan oleh karbon dioksida bisa menghasilkan kondisi super tropis. Akibatnya, zaman es selanjutnya bisa mundur hingga 50.000 tahun dari sekarang.

Selama periode ini, kondisi badai energi tinggi bisa melanda sebagian besar Bumi.

Riset saya menyarankan manusia cenderung bertahan hidup paling baik di daerah sub-kutub dan berlindung di lembah-lembah pegunungan, di mana kondisi cuaca yang lebih dingin memungkinkan flora dan fauna bertahan.

Kepunahan massal Bumi selanjutnya dapat dihindari, jika emisi karbon dioksida secara diatasi dan kita mengembangkan serta menggunakan teknologi untuk menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer.

Tapi saat ini, aktivitas manusia bisa membuat sebagian besar wilayah Bumi tidak dapat dihuni, sebuah tragedi yang kita buat sendiri .


Read more: Anatomy of a heatwave: how Antarctica recorded a 20.75°C day last month



Nashya Tamara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now